Setelah ayahku meninggal di akhir aku kelas I SMA. Entah mengapa perekonomianku yang bisa dibilang cukup mapan tiba-tiba jatuh sampai hampir bisa dibilang miskin. Ibuku akhirnya terpaksa memindahkanku dari pondok ke SMA negeri di kotaku. Meski terpaksa, aku tetap pindah. Dua adikku tetap melanjutkan pendidikannya di pondok karena mendapatkan beasiswa penuh berkat kepintaran mereka. Berbeda dengan aku. Sangat berbeda. Adik-adikku unggul di otak, aku di fisik. Aku sangat menyukai pertarungan.
Hari rabu. Hari pertama aku menginjakkan kaki di sekolah baruku. Ketika aku datang ke sekolah dengan sepeda ontelku, seorang guru telas siap menyambutku dan segera mengantarkanku ke kepala sekolah. Sepanjang perjalanan aku memperhatikan bangunan - bangunan sekolah ini yang dibuat saling berhubung. Semua siswa yang kulewati memperhatikanku dengan heran, maklum wajah baru." Perkenalkan, nama saya Pak Bion. Kepala sekolah disini. Sebenarnya saya bingung. Ini pertama kalinya ada murid pindahan dari pesantren. Mungkin nak... Maaf,siapa namanya, Nak?" Pria kurus yang telah beruban itu tersenyum kepadaku.
" Sion, Pak. " Jawabku singkat.
" Baik, Sion. Kamu akan memulai sekolah di kelas C. Akan ada perpindahan kelas setiap tahunnya. Setiap kelas di kelompokkan sesuai prestasi akademiknya. Karena kami belum tahu kemampuanmu. Maka tidak masalahkan kami meletakkanmu di kelas II C?" . Tanpa basa - basi dia menjelaskan sistem dengan cukup singkat.
Aku tersenyum, menggeleng. Tidak masalah.
" Baiklah, bagaimana kalau kamu segera ke kelas. Sekalian
Melihat – lihat bagaimana?”Aku mengangguk. Tersenyum tipis
" Bu Siti akan mengantarmu kesana. Silahkan, Sion.” Pak Bion tersenyum kepadaku.
Ketika aku berdiri dan membalikkan badanku. Di pintu telah berdiri seorang wanita muda dengan seragam guru. Dia tersenyum kepadaku. Aku berjalan mendekatinya,sampai di dekatnya dia mengajakku berjalan bersamanya.
“ Namamu Sion, kan?” Dia membuka pembicaraan
“ Iya” Aku melihat beberapa siswa – siswi yang berbisik sambal sesekali melirikku.
“ Kamu bisa panggil ibu dengan panggilan Bu Siti. Yang lain memanggil seperti itu juga. Katanya, Sion dari pesantren ya? Gimana pengalaman disana?” Kami berbelok lantas menaiki tangga.
“ Ya, begitulah. Kemandirian dan konsekuensi akan benar – benar terlatih disana bila bertahan sampai akhir.” Aku menoleh ke Bu Siti.
“ Kata – kata yang bagus, Sion. Kamu suka menulis?”
Kami mulai menyusuri koridor – koridor lantai 2.
Sesekali beberapa gadis melewatiku sambil tersenyum kecil.
Aku hanya melihat mereka dengan tatapan datar.“ Tidak. Aku lebih suka berkelahi.” Sekali lagi aku menatap datar gadis yang tidak terlalu cantik tersenyum kecil sambal melambai kecil kearahku.
Bu Siti menghentikan langkahnya. Aku pun juga, Dia menoleh kepadaku. “ Maksudnya, Sion hobi beladiri, begitu? Bagus sekali itu. Di perpustakaansekolah ada beberapa buku dengan tema beladiri. Jika kamu tertarik bisa datang ke perpustakaan sewaktu istirahat atau habis pulang sekolah . Sekolah ini sempat menjuarai turnamen bela diri. Kebetulan anaknya satu kelas denganmu, Sion. Kamu bisa sharing – sharing dengannya.” Bu Siti membalik badannya membuka pintu kelas II C
“ Masuklah, Sion. Teman – teman sudah menunggumu. Ibu menyuruh mereka supaya datang lebih awal.” Ibu Siti tertawa kecil.
Aku melangkah masuk perlahan. Ruangan kelas yang gaduh segera berubah hening ketika aku dan Bu Siti memasuki kelas. Hanya sesekali terdengar suarabisik – bisik. Aku berdiri bersama Bu Siti di depan. Inilah saat- saat perkenalan. Aku akan menjadi bagian dari Sekolah ini. Seperti ketika di Pesantren, akan kuhadapi semua tantangan di sekolah ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Boy
RandomBagaimana kehidupan ini berjalan menurutmu?. Cukup adilkah?. Kalau tidak adil, apakah penjelasanmu bisa dibenarkan?. Bagaimana kau menjelaskan kehidupan berjalan yang benar dan adil?. Yah, jika kau diposisiku akan menyebalkan sekali membahas kehidup...