Pertemuan

12K 686 106
                                    

Hinata memandang pada ponselnya dengan alis berkerut tidak suka. Bibirnya mengerucut sebal. Dengan hentakkan kuat ia menekan keypad ponselnya dan menelpon seseorang. Napasnya terdengar kuat.

"Aku tidak menyukai acara perjodohan gila ini. Neji-nii," kata Hinata tajam saat dering panggilan tersambung. Terdengar helaan napas dari seberang telepon. Hinata tau, apapun itu. Saat ini Nii-san-nya telah menjadi orang yang paling kepala batu di muka bumi.

"Kau harus menuruti kata-kata ku. Selama kau masih menganggapku walimu. Kecuali jika kau merasa sudah bisa melakukan semuanya sendiri dan tidak membutuhkanku lagi. Maka jangan datang ke pertemuan itu."

Hinata menahan napasnya, tangannya yang menggenggam ponsel mengerat, "Aku... bisa mencari suamiku sendiri Neji-nii. Kau tidak perlu turun tangan. Aku bukan gadis kecil lagi. Usiaku sudah 27tahun!" teriak Hinata kesal.

"Justru karena kau sudah berusia segitu dan tidak membawa satu teman pria pun ke hadapanku. Maka aku mengkhawatirkanmu! Kau hampir kehilangan waktumu menjadi bunga ranum yang menguarkan harumnya."

"Maka aku senang mencium bau bangkai dari tubuhku," sengit Hinata. Ia melihat pada layar laptopnya dan sebuah email masuk.

"Bukan maksudku menghinamu sayang, percayalah kau hanya perlu datang. Jika tidak cocok. Kau bisa menolaknya. Jangan buat aku kehilangan muka."

"Aku muak membayangkan lelaki yang menatapku lapar dan memiliki perut buncit!"

"Tidak ada lelaki tua atau berperut buncit! Yang aku sodorkan lelaki baik-baik dengan tinggi mencapai seratus delapan puluh enam sentimeter, berambut pirang, bermata biru dan memiliki tubuh sixpack kesukaanmu. Dia lelaki luar biasa tampan. Kau tidak akan menyesal. Sekali ini saja. Ya?" ujar Neji masih berusaha membujuk.

Hinata menghela napas. Tangannya menyentuh mouse laptopnya dan mengklik email yang masuk, "Baik. Hanya sekali dan mulai sekarang jangan memaksaku. Oke?"

"Oke. Kau tidak akan menyesal."

****

Langkah kakinya bergerak lebar, tangan besarnya membuka pintu kaca sebuah kafe yang menguarkan aroma cinamon roll yang begitu manis, kafe yang disiapkan Karin begitu terkesan feminim. Di dominasi warna pastel dan sebenarnya sedikit tenang saat musik klasik berputar dan memasuki gendang telinganya.

Langkah kaki lelaki itu memasuki kafe lebih jauh. Mata biru safirnya melirik pada sekitar, mencari seseorang dengan ciri-ciri yang di sebutkan Uzumaki Karin. Sepupunya. Gadis bar-bar dengan rambut merah dan kaca mata tebal.

Ketika ia hendak menelpon Karin untuk menanyakan detail gadis itu, safirnya menangkap seorang gadis yang sedang duduk di pojok dekat jendela besar. Matanya terlihat melamun, dagunya ia topang dengan tangan kiri. Sementara jari tangan kanannya mengetuk irama mengikuti alunan musik yang terdengar. Naruto mendekat, ia dapat melihat gerakan bibir gadis itu. Dia sedang bernyanyi pelan.

"Um... Hyuga-san?" tanya Naruto.

Hinata mendongak dan menoleh, ia tertegun. Bahunya menegang kuat. Safir biru itu masih sama seperti dulu, hanya saja terlihat lebih tajam dan lebih menantang. Hinata berdehem pelan dan mengerjapkan matanya. Saat Naruto bergerak duduk meraih kursi di hadapannya, bahu gadis itu kembali tersentak kaget. Dia mendongak dan pandangannya bertemu dengan safir Naruto. Mata biru yang mengingatkannya dengan luka masa lalu, hingga ia menjadi gadis yang paling anti cowok.

"Tunggu... sepertinya aku mengenalmu," kata Naruto dengan mata menyipit. Sedangkan Hinata menahan napasnya dengan begitu kuat.

"Kau... Hinata kan? Hinata yang sempat dalam pengawasanku di rumah sakit Tokyo?" tanya Naruto. Ia tersenyum cerah. Safirnya membentuk bulan sabit.

Hinata mendongak memaksa diri menatap lelaki yang menjadi cinta pertamanya, juga lelaki yang telah menghancurkan hidupnya, "Ya. Dokter Uzumaki."

Naruto tersenyum, ia menatap pada pelayan aken itu pergi Naruto tersenyum lagi, "Bagaimana kabarmu? Sepuluh tahun kita tidak pernah bertemu. Kau menghilang begitu saja saat itu. Kenapa tiba-tiba kau meminta untuk pindah rumah sakit? Jantungmu sudah sehat?"

Hinata menatap dalam pada safir biru yang masih menatapnya itu, bibir lelaki itu tersenyum lebar dan wajahnya menjadi lebih rupawan, lebih dewasa dan sangat... maskulin? Gadis itu berdehem pelan dan meminum milkshake yang berada di tangannya, "Bukan apa-apa dokter. Hanya saja saya merasa jenuh di sana. Setelah tiga bulan menjadi pasien tetap. Saya hanya ingin menghirup udara baru."

Naruto mengangguk perlahan, "Padahal. Kau hanya menunggu tes terakhir dan akan sehat seperti sekarang. Aku tidak menyangka. Kita akan bertemu disini. Dalam perjodohan ini."

Jantung Hinata terasa berdetak semakin kuat, retinanya masih menatap diam dalam beberapa detik sebelum berucap, "Ya. Dokter Uzumaki. Tapi sepertinya... aku tidak menyukai perjodohan ini. Biar aku yang berkata pada Neji-nii."

Alis Naruto terangkat, "Sedari tadi kau memanggilku Dokter Uzumaki. Tidakkah kau lupa nama kecil ku? Kau sering mengatakannya dulu."

Itu hanya kesenangan anak berumur tujuh belas tahun yang kau hancurkan!

"Bagaimana pun... dulu aku masih kanak-kanak. Tak sopan memanggilmu, pria yang lebih tua sepuluh tahun dariku dengan nama kecil. Itu sangat tidak pantas," sahut Hinata.

Naruto tertawa ringan, tangan lelaki itu meraih garpu dan memakan cinamon roll itu dengan perlahan. Sambil mengunyah ia menatap lagi pada Hinata, "Kenapa aku merasa kau... memberi jarak padaku?" tanyanya.

Hinata tertegun, dengan cepat ia mengalihkan emosi dalam wajahnya, lalu mengulas senyum yang entah mengapa menjadi sangat susah terkendali, "Hanya perasaanmu. Dokter."

"Hinata. Tatap aku," bisik Naruto.

Hinata menahan napas dan menatapnya. Menatap mata yang semakin ia lihat semakin menyakitkan. Kenangan sepuluh tahun lalu dalam kesehariannya dengan dokter di hadapannya berkelebatan. Juga tentang bagaimana dokter ini menghancurkan hati gadis berusia tujuh belas tahun yang sedang jatuh cinta hanya dengan beberapa kalimat.

"Maaf. Aku sudah tidak menyukaimu. Dokter dan akan menolak perjodohan ini," kata Hinata tegas.

Naruto diam. Bibirnya tertarik lurus tapi matanya menatap tajam pada Hinata. Ada rasa tak rela saat ucapan itu keluar begitu lancar dari gadis yang dulu ia kenal begitu malu-malu dan sedikit tergagap bila di dekatnya. "Kau pikir aku mau dengan suka rela bertunangan denganmu? Kau hanya gadis kecil yang naif sayang, meski kau menjadi wanita yang cantik dan dewasa saat ini. Kau tetap kekanakan seperti dulu," dengus Naruto. Ia sengaja berkata seperti itu untuk membalas ucapan terang-terangan dari Hyuga Hinata yang berkata seolah ia sangat tidak menarik.

Hinata menggigit bibirnya dan mengangguk lalu menatap pada piringnya, "Ya. Baguslah. Tidak ada yang saling menginginkan diantara kita. Jadi, kita sudahi saja semuanya disini," sahut Hinata. Ia meraih tasnya dan mengeluarkan sejumlah uang di meja lalu berdiri. Saat kakinya hendak melangkah. Tangan Naruto menangkap tangannya, membuat langkah kaki gadis itu berhenti dan ia menatap pada mata Naruto. Getaran lelaki itu, kehangatan dari tangan lebarnya membekas kuat di ingatannya, dan saat Naruto menangkap tangannya seolah ada ribuan rasa rindu yang mengalir kuat. Hingga memecah hatinya.

"Apa yang kau lakukan dokter?" tanya Hinata dan ia berusaha melepas tangannya. Tapi Naruto tetap dalam diam dan menatap pada gadis itu. Mencari rona merah yang dulu selalu ada setiap ia menyentuh Hinata.

"Tidak ada yang selesai Hinata. Tidak seperti dulu, tidak juga sekarang. Aku tidak akan membiarkan kau pergi lagi... Tanpa sepengetahuan ku."

*****


I Got You, Baby! ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang