keterpaksaan dan Harga diri hancur

4.9K 505 19
                                    

Terdengar suara ketukan pintu yang sangat kencang, Neji menggerutu. Ia membuka matanya dengan sangat berat dan melihat pada sosok istrinya yang bergelung dalam dekapannya. Ia berdehem dengan serak.

"Siapa Nej?"

"Eh, kau sudah terbangun? Aku tidak tahu itu siapa. Padahal ada bel kenapa harus menggendor. Diamlah disini biar ku buka pintunya." kata Neji. Tenten melepas pelukannya dan mengangguk. Ia terduduk dan menatap pada suaminya yang berjalan ke arah pintu depan.

Sambil menyeret langkah dengan kepala yang terasa hampir pecah, matanya mengerjap berkali-kali. Memfokuskan pandangan matanya dan menatap pada pintu coklat di depannya. Ia membuka kunci dan seketika ia melihat pada sosok Hinata yang berdiri di sana. Dengan bersimbah air mata.

Panik. Neji menarik gadis itu masuk dan mendekapnya, "Ada apa Hinata? Ada apa? Kenapa kau menangis?"

"Hiks... kau jahat Neji-nii. Kau jahat."

"A-apa maksudmu? Kenapa? Lelaki tadi menyakitimu?" tanyanya khawatir.

Hinata memeluk tubuh kakaknya. Menyelesakkan wajahnya di dada sang kakak yang berbalut kain sutra lembut. Bahunya gemetar. Dan Neji membiarkan gadis itu menangis sampai puas. Ia hanya mengelus puncak kepala Hinata dengan sejuta sayang yang ia punya. Sakit di kepalanya benar-benar hilang. Ia hanya ingat. Ini tangisan pertama sejak Hinata memaksa pindah rumah sakit sepuluh tahun silam saat ia mempunyai gejala penyakit jantung. Matanya menatap pada Tenten yang mendekat dengan raut wajah sedih. Tenten mengusap kepala Hinata dan Hinata mendongak. Ia bergerak melepas Neji dan berpindah memeluk Tenten. Sahabat sekaligus istri kakaknya.

Setelah gadis itu membaik. Neji membawanya ke ruang tengah. Menidurkan kepala Hinata di pangkuannya dan ia mengusap terus rambut Hinata. Wajah gadis itu merah, matanya sembab. Hidungnya berair dan bibirnya sedikit bengkak. Neji menyipit, ia memperhatikan lagi dengan seksama bibir Hinata. Saat Tenten menaruh segelas air di meja. Neji memaksa Hinata bicara.

"Apa pria itu hampir memperkosamu?" tanya Neji.

Tenten kaget, begitupun Hinata. Ia bangun dan duduk. Matanya menatap pada Neji. "Tidak. Bagaimana bisa Neji-nii berkata seperti itu?" tanyanya sambil meraih selembar tisu.

"Bibirmu bengkak sayang, apa dia memaksa menciummu? Atau melakukan hal lain? Katakan padaku. Maka aku akan membatalkan pertunangan kalian dan mengembalikan semua uang yang sudah di berikan keluarga Uzumaki itu."

Bahu Hinata menegang, "Uang?"

"Ya. Aku bisa menjual beberapa hal untuk melunasinya. Asal kau terlepas dari genggaman pria brengsek itu."

"Apa maksudmu Neji-nii?" tanya Hinata tak sabaran.

Neji menatap mata Hinata dalam-dalam dan menghembuskan napasnya dengan sangat pelan. Ia menatap pada Tenten yang mengangguk perlahan.

"Sejujurnya, selama ini Tou-san mendapat sokongan dana yang besar. Makanya Tou-san bisa mendapat fasilitas terbaik di rumah sakit. Mereka memang berniat membantu Tou-san saat mengetahui Bisnisku hancur dua bulan lalu Hinata, maaf tidak membicarakan ini terlebih dahulu." kata Neji. Ia dapat melihat Hinata menegang, "Tapi setelah dua bulan mereka meminta untuk mempertemukan anak mereka dengan adikku, hanya pertemuan. Merekapun tak memaksa, jika tidak ada kelanjutan di sini. Tapi melihat kau yang seperti sangat sakit hati. Aku menyesal. Seharusnya aku tidak menerima bantuan itu."

"Berapa?" bisik Hinata.

Neji diam. Ia menggigit bibirnya sendiri, bingung harus berkata jujur atau tidak pada adiknya.

"Berapa Neji-nii? Berapa yang dia keluarkan untuk membantu Tou-san? Pasti semua fasilitas itu mahal. Bahkan di rumah sakit di desa, mereka berkata Tou-san hanya tinggal menunggu mati. Tapi di sini, di Tokyo. Kita bisa melihat Tou-san membuka matanya, tersenyum, dan tertawa bersama kita. Katakan Neji-nii. Berapa harga untuk semua itu?" teriak Hinata. Air matanya menggenang dan meluber dengan deras mengingat kesehatan Tou-san-nya yang membaik sedikit demi sedikit.

I Got You, Baby! ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang