Prolog

71 5 2
                                    

Kendaraan bermotor itu menghampiri gubuk ku pada Hari yang di langit bercurahan Air Hujan ini, berhenti dalam keheningan dengan suara bising motor nya, Pak Rahmat bergegas mengetuk pintu gubuk rumah.

"Mbak,  Mbak.  Mbak darmi" Dengan keras dan wajah yang resah.

"Iya mas, Ono opo mas?."

"Nganu, Mbak.  Suami,  Mbak!!" Jawab  Pak Rahmat dengan gugup.  Tak kuasa memberitahu Mamakku.

"Nopo, Mas?" Kata Mamak mulai gelisah.

"Nganu,  Suami Mbak di bawa ke Rumah Sakit. Di tusuk karo pisau. Di Kampung sana,  ada Perampokan,  Mbak! Aku liat Suami, Mbak. Tergeletak" Jawabnya dengan cepat, wajah yang risau dan terlupa dengan rasa gugup.

Wajah Mamak sangat pucat,  lemas tak berdaya. Aku yang mendengarnya terasa sesak menangis mendengar itu.
Panci yang di bawa Mamak jatuh.  Mamak berlari dengan menangis,  tersedak-sedak.

"Bapaaa.. Astaghfirullah Gusti.."
Tubuhnya tersungkur,  lalu bergegas keluar untuk menemui Bapa di kampung sana. Tak karuan,  isak tangis menghampiri suasana hati yang senang menjadi menangis.  Mengiris sanubari yang awalnya indah menjadi tak tentu arah.

Aku terdiam terpana,  wajahku sangat pucat tak berdaya. Dada semakin terisak sesak. Nafas tak beraturan dengan semestinya. Air mataku pecah berjatuhan tak kuat menenangkan keadaan. Aku tak punya harapan lagi. Di iringi suara hujan di luar gubuk. Mengerti keadaanku saat ini.  Menemaniku dalam tangis mengais yang teriris.

Memori ku hampir habis untuk mengemis,  muak tak bergeming untuk manis. Aku tersungkur ke permukaan gubuk yang masih setengah tanah ini,  merekam kepedihan hati dan kehidupan ini. 

"Bila saja waktu mampu mengizinkan Aku untuk memiliki segalanya.  Aku akan menggapai cita-cita ku sekuat tenaga dan secepatnya. Bila saja waktu mampu mengizinkan  Aku untuk memperbaiki semuanya.  Aku akan menjadi Anak yang selalu rajin dalam menempuh pendidikan untuk memperbaiki kehidupan keluargaku yang pahit ini. Allah,  begitu sangat baiknya Engkau. Kuatkanlah Aku dalam keadaan ini. Bila makan saja kita tak mampu,  bagaimana untuk menggapai tujuan yang mewah ini.  Sungguh tiada Kekuatan kecuali Engkau yang turunkan kepada kita."

Dalam isak tangis ku,  bergumam secarik kata-kata.  Pahit sekali untuk Aku alami. Banyak sekali mereka yang tak mampu mengerti keadaan hidupku,  mencaci dan memperjelekkan dengan seenaknya tanpa teori dan materi.  Banyak hantaman dari luar dengan kekerasan   yang melukai.  Merubuhkan gubuk tempat tinggal yang tersisa ini,  harta kita.  Bapa,  Mamak,  Aku,  dan Zahra. Subtansi hidup yang begitu sulit.  Siklus hidup yang sangat terbatas karena inflasi.

Bisakah Aku untuk menggapainya dengan usahaku.

LA TAHLA [Innallaha Ma'ana] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang