Pada umur 9 tahun, aku menyaksikan bagaimana jiwa nenekku melayang pergi dari raganya. Saat aku berumur 13 tahun, aku menyaksikan bagaimana partikel-partikel nyawa seseorang perlahan naik menuju angkasa saat ia sekarat setelah ditabrak kendaraan. Ketika umurku menginjak 17 tahun, aku sadar itu bukan nyawa, itu warna.
"Baik-baik di sana. Jangan merokok!" ujar ibuku, Mary, yang menghisap sebatang rokok kemudian menginjak pedal dalam mobil tuanya. Warna kelabu yang membumbung bersama kepulan asap hitamnya membuatku khawatir pohon-pohon itu akan layu sebab polusi dan kesedihan tidak berujungnya.
Walau wujudnya disembunyikan pepohonan dan jalanan yang mengarah ke kota, telingaku masih dengan jelas mendengar erangan minta tolong mobil itu.
Lumpur mengendap di sepatu dan roda koperku. Seharusnya aku tahu jangan turun di sini. Namun, apa kata bajingan-bajingan kaya itu kalau aku turun di depan gerbang sekolah?
"Lihat bagaimana ia menyiksa mobilnya?"
"Ibunya ternyata seorang lacur."
Setidaknya, aku tidak pernah berharap kapten basket menghampiri dan menawari kencan semalam. Menjijikkan.
Bangunan sekolah itu menjulang tinggi menantang langit kelabu di antara pepohonan rimbun. Jalan setapak ini satu-satunya tuntunanku saat menyebrangi hutan yang menyembunyikan kegelapan dan kejahatan di setiap batangnya.
Awan mulai bergemuruh pelan, burung-burung gagak terbang meninggalkan ujung batang tempat mereka bertengger sembari berkaok-kaok memperingati yang lain.
Panggil aku tolol, namun gerombolan burung itu tidak lagi berwarna hitam arang mengkilap, tapi putih pucat. Ada yang membuat burung-burung itu terbang terburu-buru dan ketakutan sampai warna mereka pucat begitu.
Angin yang bertiup membawa hawa panas kepadaku. Di kejauhan, aku mendengar dua bilah pedang diasah bersamaan. Lalu, muncul suara-suara mengerikan yang mengelilingiku.
"Laswell!" panggilan itu terkesan berat dan dipaksa. Samar-samar, aku melihat warna cerah pakaian Hawai dan pelantang suara.
"Laswell, aku akan membunuhmu!" Dari pengulangan itu, aku sadar ia belum mengetahui kalau aku sudah menangkap basah mereka. Yah, saatnya membalikkan meja.
Aku berusaha terlihat panik dan seakan menghalau suara-suara itu dengan koperku.
"Pergi! Pergi!" Kemudian, mataku nyalang sembari menunjuk-nunjuk kekosongan yang berdiri di belakang mereka. "Harimau! Harimau!"
Tidak butuh waktu lama aku mendengar jerit seorang pria dan gadis yang menyatu mengalahkan kesunyian hutan. Mereka berdua lari dari semak-semak dan berlindung ke belakangku. Arthur dan Charlotte memegangi satu dari setiap bahuku. Warna kelabu dan jingga bercampur juga menguar dari tubuh mereka. Warna-warna itu menari dan menghindari setiap lekuk tubuhku.
Salah satu misteri yang tidak pernah kutahu tentang warna. Mereka sama sekali tidak mau menyentuhku dan aku tidak bisa melihat warnaku sendiri.
"Usir dia, Laswell, usir!" Suara Charlotte meninggi dan jelas sekali ke mana itu mengarah. Tapi tatapan mata sehijau zamrudnya liar dan siaga entah kemana.
"Ya, Laswell, usir dia!" jerit Arthur, atau biasa dikenal sebagai Flicker. Aku akan cerita nanti kenapa ia di namai begitu.
Aku menoleh bergantian pada mereka. Yah, aku memang ahlinya mengerjai. Mengirim dua kelinci kepada seekor singa? Ya ampun konyol.
"Kalian sadar kan tidak mungkin ada harimau di Kanada?"
"Tentu saja ada. Di kebun binatang Toronto," balas Flicker singkat, lalu Charlotte melanjutkan, "Atau seseorang melepasnya."
Dahiku berkerut memikirkan kemungkinan kedua itu.
"Masa?"
"Intinya, selamat datang di upacara penyambutan Laswell di tahun keduanya!" Warna yang menyelubungi Flicker jadi jingga sempurna, begitu cerah dan menyilaukan. Begitu pun Charlotte, hanya saja, ada sedikit awan kelabu di antara matanya.
Charlotte selalu seperti itu. Tidak peduli warna apa yang selalu menyelimutinya, selalu ada warna abu-abu. Meski hanya sekilas layaknya senyum singkatnya. Setidaknya, sebagai teman sekamar, dia selalu baik padaku. Tidak seperti saudaranya yang suka pamer, Jeremy.
Warna merah menyala-nyala selalu berkobar di orang itu. Kurasa, dia tidak hanya sangat nekat, tapi juga bernafsu luar-biasa. Yang kutafsirkan, nafsu itu tidak hanya ... kau tahu. Seks dan sebagainya. Tapi yang lain juga.
Bulir pertama jatuh di atas kepalaku, saat aku menoleh ke atas, hujan sudah menyerbu kami.
"Lari!" Lalu kami berlari kegirangan menghindari hujan dan juga lumpur licin. Flicker sudah jauh di depan, sementara kami cewek-cewek harus berkali-kali mengambil udara. Ia pun menoleh ke belakang.
"Ayolah, lambat!" Nyatanya, semesta benci ejekan itu juga. Flicker yang lengah tidak sadar akan apa yang ia pijak, kemudian kakinya selip dan tubuhnya terjatuh juga meluncur selama beberapa inci.
Kami terbahak melihat kemeja Hawai kesukaan Flicker harus 'dikotori' kesombongannya sendiri. Seakan tidak peduli pakaianku sudah mulai basah, aku terlalu menikmati momen ini dan tidak akan kubiarkan hujan merusaknya barang sedikit saja.
"Charlotte!"
Oh sial, aku kenal nada tinggi itu.
Kami semua menoleh pada sumber suara itu, pria tegap berambut pirang lebat. Seperti kubilang sebelumnya, warna merah di Jeremy selalu menggila dan menjilat-jilat di bawah payungnya. Tidak ada yang mengalahkan tatapan sinis mata hijau itu bila dibandingkan Mrs. Tayrell--nanti kuceritakan juga. Celana denimnya basah, dan kurasa, itu juga yang membuatnya geram.
"Kau lupa dengan apa yang kubilang dengan orang-orang ini?" Bibirnya tidak mampu tersenyum kecuali dalam keadaan sinis, rapat, tapi anehnya digilai orang-orang.
Charlotte menunduk. Hujan membuat rambut emasnya layu dan tipis, warna kelabu di antara kedua matanya menyebar dan mendekap erat gadis malang itu. Yang diinginkannya hanya teman-teman yang sungguh-sungguh menyayanginya. Ia sendiri bilang kalau ia benci keluarganya dan segala tetek-bengek soal kesempurnaan yang dimiliki keluarga mereka.
Charlotte menghampiri kakaknya dengan enggan, menuju lindungan payung yang digenggam Jeremy.
"Nah, kalian, terutama kau homo ..." Jeremy menunjuk ke arah Flicker yang geram dan siap menyerang. Aku yang melihat itu langsung mengunci Flicker dan membisikkan kata-kata menenangkan. Dari bawah ini, tatapan sinisnya seratus kali lebih buruk dari dagu lancip hasil operasi plastiknya. Itu dugaanku ngomong-ngomong.
" ... jangan mendekati adikku lagi atau kalian tahu akibatnya. Ayo, Charlotte!"
Jeremy menyeret Charlotte yang meminta maaf pada kami melalui gerakan mulut, kemudian mereka menghilang di antara pepohonan dan bangunan beton sekolah.
Aku membantu Flicker bangun, dan walau tangannya licin sebab air hujan juga keringat, aku berhasil membuatnya berdiri.
"Charlotte yang malang."
"Ya, Charlotte yang malang," timpalku. Aku menoleh padanya yang tiba-tiba saja membisikkan kata-kata cinta pada Charlotte saat matanya menerawang jauh ke depan. Warnanya bercampur-campur tidak jelas tetapi menjadi indah sebagaimana lukisan abstrak.
Senyumku tidak bisa ditahan lagi, waktunya menggoda dia yang sedang kasmaran.
"Hei! Lihat siapa yang sedang jatuh cinta!"
"Laswell!" Pipinya merona merah sekali sehingga hampir mengalahkan warna-warna yang mengelilinginya. Aku menepuk pundaknya keras.
"Begini, bung, perjuangan cintamu akan sangat keras sekali."
Mengingat betapa keluarga Jenskin menjaga sekali "kemurnian" darahnya. Aku ragu cinta Flicker bisa direstui orang tua Charlotte.
KAMU SEDANG MEMBACA
Colorful
FantasySiapa yang bisa menduga Laswell akan bersekolah di sekolah paling bergengsi di Kanada? Siapa sangka, ternyata lingkungan sekolah bisa lebih berbahaya dari dunia luar. Namun, Laswell bersyukur memiliki kemampuan di luar nalar manusia yang memungkink...