Heru Sanjaya

259 11 1
                                    

Judul : Santet Online.

By : Eka Wahyu Manduri

#SO_1

====

Sekali lagi Titin mengangkat kedua lengannya, memerhatikan ketiak dengan seksama di depan cermin yang menggantung di dinding, siapa tahu ada bulu yang belum tercabut. Setelah yakin kedua ketiaknya bersih, ia membuka handuk yang melilit di tubuh, lantas berganti daster tanpa lengan yang panjangnya tak sampai lutut. Ketika ingin memakai celana dalam, gawainya berbunyi. Ada nama Heru di layar. Titin melirik sekilas panggilan video call melalui aplikasi WhatsApp tersebut tanpa ingin menerimanya. Tiga kali panggilan video call itu baru berhenti. Semenit kemudian gawainya berbunyi kembali. Kini melalui panggilan telepon WhatsApp. Seraya menerima panggilan tersebut, Titin menuju tempat tidur dan merebahkan tubuh. Ia mengatur pita suara dahulu sebelum menggeser icon telepon yang warna hijau ke atas.

"Halo, Kak."

"Halo, Neng Tamara, lagi ngapain? Tadi Kakak video call gak diterima."

"Maaf, Kak, tadi saya lagi mandi."

"Begitu, ya? Sekarang video call yuk. Kakak matikan dulu ...."

"Tunggu, Kak!" penggal Titin cepat. "Kan saya sudah sering bilang bahwa enggan video call, wajah saya hanya untuk suami kelak bila udah menikah."

"Kan Kakak sebentar lagi jadi suamimu, Neng."

"Belum sah, kan?"

"Please, Neng. Sekali aja."

"Kalau Kakak maksa, kumatikan nih teleponnya."

"Eh, tunggu! Oke deh kita telepon aja, ya? Padahal Kakak lagi pengen, Neng."

"Kan biasanya juga phone seks."

"Ya sih. Oke kita phone seks aja deh. Neng mau kan?"

Titin cekikikan. "Sesiang ini?"

"Kakak baru bangun, Neng, jadi masih pagi bagi Kakak. Kan Neng tahu sendiri kalau cowok baru bangun, juniornya ikut bangun juga."

Keduanya tergelak. Titin mempertahankan pita suaranya agar tak terdengar aslinya.

"Ayo, Neng."

"Ayo, Kak. Neng udah rebahan loh."

"Duh, jadi pengen rebahan di atas Neng."

"Kan sebentar lagi kita menikah, Kak. Makanya Kakak rajin-rajin ya melaut untuk biaya pernikahan."

"Pasti dong. Ayo, Neng, mulai phone seksnya. Kakak udah tinggi banget nih. Neng pakai headset?"

"Gak, Kak. HP di telinga, dipegangin."

"Pakai headset dong. Biar tangan yang satu di dada dan tangan lain ngelus-ngelus."

"Ya udah tunggu, Neng cari headset sebentar, ya?" Titin segera beranjak dari tempat tidur. Ia menuju meja riasnya, mengambil headset yang tergeletak di antara lipstik dan bedak. Lalu ia kembali merebahkan tubuh, memasang headset di telinga sebelum bersuara. "Udah, Kak."

"Ayo mulai, Neng. Mainkan dadanya ya? Pejamkan mata Neng, bayangkan itu tangan Kakak yang lagi bergerilya."

"Ya, Kak." Mata Titin terpejam rapat. Sosok pelaut muda dan tampan nampak jelas sedang tersenyum ke arahnya. Kedua tangan kekar itu meraba dadanya lembut.

"Neng ...."

"Hmmm ... terus, Kak ...." Tangan Titin kian kencang memainkan dadanya.

"Ya, Sayang." Suara Heru mulai memburu. "Jarinya masukin, Neng."

Titin patuh. Ia menyelipkan jemarinya di balik kain segitiga di antara paha. Mencari goa di antara rumput liar yang tumbuh rimbun.

"Udah, Kak." Titin menggigit bibir bawah kencang - kencang saat jemarinya mulai menelusuri kedalaman goa.

"Sayang?"

"Hmmm ...."

"Enak?"

"Banget, Kak." Tubuh Titin mulai menggelinjang. Mulutnya menceracau tak jelas. Peluh membanjiri tengkuk.

Sang surya telah beranjak tinggi. Namun cahayanya terhalang nimbostratus. Mega berstektur tebal tersebut pertanda tak lama lagi hujan akan turun. Riuh suara jangkrik berlomba dengan celoteh bocah-bocah yang timbul tenggelam di sisi kamar, tak mengganggu Titin yang kian asyik memainkan jemari di dalam lubang yang pekat. Erangan Heru yang sesekali terdengar membuat peluhnya kian luruh.

             🌷🌷🌷

"Nek, minta uang, Ella mau jajan."

"Memangnya ibu kamu gak kasih jajan?" Mata Titin mengecil memandang bocah berusia enam tahun itu.

"Cuma dua ribu, udah Ella beliin permen. Sekarang Ella mau jajan cireng. Bagi uang dong, Nek." Telapak tangan Ella menjulur.

Nyaris saja Titin menggeleng karena ia kesal dengan cucunya yang sering meminta jajan. Padahal tiap ingin berangkat kerja, ibunya Ella tak pernah lalai memberi uang saku. Berpikir sesuatu Titin urung menggeleng.

"Nenek kasih dua ribu, tapi dengan syarat cabutin uban Nenek. Oke?"

Ella manggut-manggut ceria. Dengan uang dua ribu dia sudah dapat empat cireng.

"Ella beli cireng dulu baru cari uban Nenek, ya, soalnya abang yang jual mau pergi."

Titin membuka dompet, mencari receh seribuan. Dua koin diserahkan ke Ella yang langsung berlari keluar. Titin ikut keluar kamar setelah sebelumnya mengambil sisir dan pinset yang tadi ia gunakan untuk mencabut bulu ketiak. Kemudian ia duduk di ubin teras yang sudah banyak retak, menunggu Ella.

"Cabutin uban Nenek sebentar baru makan cireng. Udah gatel banget," ujar Titin seraya menggaruk-garuk kepalanya pakai sisir kala melihat cucunya datang dengan menggenggam plastik berisi cireng.

Ella manut. Ia menaruh cirengnya di meja teras. Lalu dengan lincah bocah itu duduk di kursi kayu di belakang neneknya. Kemudian mencabut satu persatu uban neneknya pakai pinset dengan cekatan.

"Banyak gak uban Nenek, El?"

"Yang di dalamnya banyak banget, Nek. Kalo di luar sih lumayan juga, panjang-panjang pula."

"Cabut yang di luar dulu kalo begitu."

"Nenek malu ya kelihatan orang-orang udah ubanan." Ella cekikikan tapi tak lama sebab kakinya ditepuk  neneknya yang seraya melebarkan mata.

"Aduh, pagi-pagi udah nyabut uban nih nenek Ella," tegur bu RT tiba-tiba yang berdiri di luar pagar bambu.

"Eh, ya, Bu, baru tumbuh ubannya, pendek-pendek. Gatel. Dari pasar, Bu?" Titin melirik kresek yang dipegang bu RT.

"Ya, nih. Si bungsu minta sop daging."

"Wah kok sama, ya? Saya juga hari ini menunya sop daging."

"Loh, tadi Ella sarapan pake ikan asin kok bukan sop daging ...."

Titin segera menyikut kaki cucunya seraya memandang tajam. Ia gemas sekali dengan celetukan Ella. Beruntung jarak dari tempat ia duduk ke pagar sekitar delapan kaki. Suara Ella yang halus membuat Titin sedikit yakin tetangganya tidak mendengar.

"Wah, hebat ya Nenek Ella, tanggal tua bisa masak sop daging juga," bu RT mencebik samar.

"Saya mah gak kenal tanggal, Bu, ibunya Ella kan gajinya besar," cetus Titin pongah.

Bu RT kian mencebik. "Bagus dong kalo begitu. Saya permisi dulu, Nek, mau lanjut masak."

"Monggo."

Bersambung.

(Cerita ini udah jadi novel, yang minat japri aja 085849080228)

Santet OnlineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang