3. Awan

28 9 1
                                    

Upacara senin ini berjalan dengan lancar seperti biasanya. Setelah upacara berakhir, siswa siswi di berikan waktu sepuluh menit setidaknya untuk beristirahat sebelum memulai pelajaran pertama.

Rara kini sedang duduk di bangku kantin sambil mengkipas-kipaskan topi kearahnya, merasa gerah. Kemudian mengacungkan tangannya.

"Bu Ratih, es teh manisnya satu dong. Es batunya banyakin ya, biar dingin, Rara haus banget soalnya, hehe." Katanya memesan minuman kepada ibu kantin.

"Oke neng gelis." Balas bu Ratih dari dalam warungnya kemudian  mengacungkan jempol, lalu membuat teh manis pesanan Rara.

Rara menopang dagu. Mengamati murid-murid yang berlalu lalang. Ia melihat beberapa murid dikantin yang sedang berpacaran.

Ia menghela napas panjang. Mulai merasa bosan melihat pemandangan seperti ini tiap harinya.

Karna dari dulu hingga sekarang Rara tidak pernah tahu rasanya berpacaran itu seperti apa. Tapi dari yang ia dengar, katanya pacaran itu untuk mereka yang saling mencintai.

Ia kerap bingung seperti apa perasaan cinta yang orang orang bicarakan. Apakah rasa cinta itu seperti ia mencintai mama dan papa? Jika benar, lalu mengapa banyak dari mereka yang berpacaran memilih untuk putus? Apakah perasaan saling mencintai mereka kian memudar hingga mereka memilih berpisah? Jika ia mengapa tidak mereka pertahankan dan coba memperbaiki? Kenapa justru banyak yang memilih berhenti?

Tapi untuk Rara, rasa cintanya kepada orangtuanya tidak akan pernah pudar, dan akan selalu abadi.

Rasa cintanya kepada sang mama dan papa bukan hanya sekedar main- main.

Sekali lagi, bagaimana cara kerja cinta yang sesungguhnya?

"Duh neng gelis ngelamun aja." Suara bu Ratih membuat Rara terkejut yang  kemudian mengendalikan ekspresinya. "Ini es teh manisnya neng. Sesuai pesanan, es batunya banyak, biar seger." Kata bu Ratih sambil menaruh es teh pesanan Rara kemeja.

"I-iya bu, makasih ya. Ini uangnya." Rara mengeluarkan selembar uang kepada bu Ratih. "Oke neng, sama sama." Balas bu Ratih mengambil uang yang Rara berikan lalu kembali melangkah kewarungnya.

Rara meminum es tehnya sambil memejamkan mata. Ketika ia membuka mata, tanpa sadar ia menatap seorang pemuda yang baru saja memasuki kantin.

"Eh eh, itu si Awan anak IPA 1 bukan sih?" Tanya seorang siswi yang sedang duduk dibangku dekat Rara bersama satu temannya. Membuat Rara kian memdengarkan pembicaraan mereka. Jika tidak salah nama salah satu siswi itu adalah Reyna, pernah satu ekskul mading dengan Rara dulu ketika kelas 10. Dan siswi yang satu lagi Rara tidak mengetahui namanya, hanya pernah berpapasan beberapa kali.

"Iya, Awan Sanjaya anak 11 IPA 1. Temennya si Gilang mantan lo." Jawab si perempuan berambut lurus sambil memakan baksonya.

"Masa sih? Tapi gue engga pernah liat Gilang sama tuh orang deh kayaknya." Kata Reyna mencoba mengingat.

"Emang orangnya misterius gitu. Susah di deketin. Engga pernah keliatan punya pacar, padahal ganteng sih menurut gue." Ucap si rambut lurus sambil terkekeh. "Dari rumor yang gua denger, katanya si Awan itu anak orang kaya. Rumahnya gede kayak istana presiden. Keluarganya punya banyak cabang perusaan. Pokoknya hidup serba mewah gitu deh. Dan dia engga punya adik ataupun kakak, otomatis dia jadi pewaris satu satunya keluarga Sanjaya. Makanya dia engga pernah keliatan, karna dia engga punya waktu luang buat main kaya kita kita.  Kasian amat ya, pasti hidupnya di kejar kejar materi mulu." Lanjut si rambut lurus panjang lebar.

Rara kembali melihat pemuda bernama Awan itu. Ia kemudian merasa kasihan. Pasti sulit menjalani hidup penuh tuntutan. Tidak bisa bergerak bebas mengikuti kemauan diri sendiri.

Awan itu, pasti kesepian.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 08, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

AKARUI KUMOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang