Waktu menunjukkan pukul lima pagi dan tiba-tiba telepon berbunyi. Oh itu kamu. Yang memang sudah biasa begitu. Kamu yang boleh kubilang biasa bertingkah seenaknya. Mau apa pun harus dituruti. Bukan, bukan soal hubungan saja tapi hal-hal lainnya. Seperti kedudukan yang kamu punya sekarang. Yang bisa kamu dapatkan dari hasil keegoisanmu. Segala cara kamu lakukan sampai akhirnya kamu berhasil menjadi pemilik sebuah perusahaan. Darimu kadang aku belajar kalau menjadi egois memang diperlukan. Agar jalan menuju apa yang dimau, bisa didapat tanpa harus memikirkan perasaan orang banyak. Tapi beruntungnya, aku tidak ikutan.
Pagi buta kamu menelepon dan bilang kalau kamu kangen dan mesti ketemu saat itu juga. Aku tidak ada kuasa untuk menolak. Sebab ketika denganmu, bahkan hanya dengan perintah dari suaramu itu, aku pasti menurut. Kamu melemahkan aku. Entah apa namanya, mungkin seperti budak cinta yang kalau diberi skala 1 sampai 10 aku sudah sampai skala tertinggi mungkin 10,1111.
Kamu mau bertemu katanya tidak bisa kalau dinanti-nanti. Sialan, batinku.
Kenapa sih? Kenapa pagi buta begini?
Dia malah merengek selayaknya anak kecil.
"Tolong datang ke tempatku sekarang juga. Aku kehilangan daya. Nggak ada kamu di sini bikin aku lemah begini"
Sialan, kataku lagi. Kok bisa-bisanya seperti sedang mengolok. "Nggak lucu! Besok, sore-sore kan bisa?"
"Nggak! Aku maunya sekarang"
Dasar lemah, aku tidak lagi bisa menolak. Sampai ia nge-switch dari telepon biasa ke video call WhatsApp. Kulihat dengan jelas wajahnya yang memelas, dan sialnya tampan. Memang aku ini beruntung sebab sering dipacari dengan lelaki tampan. Banyak yang iri padahal aku jauh dari cantik apalagi sempurna. Sangat jauh.
"Please sayang.." ia memohon dan seketika aku jadi mau menemui ia saat itu juga. Baiklah, batinku. Aku bergegas membereskan baju-baju, akhirnya memesan taksi online, alasan mau ada pekerjaan yang memang dimaklumi oleh orang rumah sebab menjadi pekerja seni tidak punya jam kerja yang seperti orang-orang kebanyakan.
Sesampainya di sana kamu langsung memeluk. Pikiranku langsung kemana-mana. "Ah kamu" kataku lalu tersenyum, agak kesal. Kalau mau aneh-aneh kenapa harus alasan kangen? Kadang keki sendiri padahal sudah berkali-kali begitu."Nggak sayang, aku cuma mau ditemenin kamu"
"Iya" aku masuk ke dalam apartemennya, jaraknya cukup jauh dari tempat tinggalku. Ia menyalakan tv di ruang tamu sementara aku duduk di sofa super empuk yang suka ia banggakan. Ia lelaki yang kupacari ini memang sombong. Ia sering memamerkan sesuatu ke orang banyak. "Aku mau cerita" aku senyum dan memasang telingaku dengan baik. Aku senang mendengarnya bercerita. Suaranya yang berat, ditambah dengan penyampaiannya yang santai cukup membuatku senyum-senyum setiap kali kami bertemu ataupun bercakap meski sekadar lewat telepon.
Ia bercerita panjang lebar, tentang apa pun itu. Mulai dari temannya yang kebanyakan nakal dan berduit, sampai cerita tentang Ibunya. Padahal dulu ia enggan untuk menceritakan tentang keluarganya. Katanya butuh kepercayaan yang besar untuk sampai menceritakan tentang keluarga dan temannya. Aku tidak pernah memaksa sampai hari itu ia bercerita selayaknya aku satu-satunya yang dipercaya. Aku duduk di kursi dan dia tidur dipangkuanku. Aku mengusap kepalanya yang pelontos, ia membentak "jangan disentuh" aku tersentak dan langsung menghentikan.
"Aku sayang kamu" lanjutnya, aku sedikit gemetar dan bingung. "Sayang, aku mau kita menikah. Aku nggak mau kamu menikah sama yang lain" untuk kali pertama aku mendengar ia bilang begitu "tapi..." aku sedikit takut untuk meneruskan. "Iya aku juga mau" akhirnya aku bilang begitu. Semenjak menjalani hubungan dengannya aku memang seperti yakin kalau ia akan menjadi yang terakhir. Usiaku sudah 24 dan ia dekat dengan kepala 3. Kami bertemu ketika sedang tidak lagi mencari kekasih tapi pasangan yang untuk sampai menua.
Kami masih ngobrol panjang lebar sampai akhirnya aku ingin ke kamar kecil.
"Aku mau ke toilet" ia tidak bergerak sedikit pun. "Hey? Sebentar ya? Boleh kan?" Dia ini suka meledak-ledak, emosinya cukup labil maka untuk izin ke toilet saja aku mesti hati-hati. "Ngapain? Mau nelepon siapa?" Aku kaget. Kenapa dia sampai berpikir begitu? "Hah? Aku mau pipis, emang nggak boleh?"
Ia berjingkat dari pangkuanku, menatapku dengan tatapan sengit. "Gih sana" aku berdiri sembari membawa tasku. "Eh nanti dulu" ia menghentikan langkahku.
"Kenapa?" Aku bingung, mau pipis saja susah begini. "Tas nya taro sini, hp kamu matiin"
aku kikuk. "Apa sih? Emang mau ngapain? Aku cuma mau ke toilet kenapa mesti matiin hp?" Ada banyak pertanyaan yang melintas. Sebab niatku hanya ingin pakai lipstik dan buang air kecil. Kenapa dia berpikir terlalu jauh.
"Terserah" ia menatapku dengan bengis dan langsung merebahkan tubuhnya di sofa.
Di dalam toilet perasaanku jadi tidak enak. Ada sedikit ketakutan meski aku yakin dia tidak akan melakukan hal-hal aneh. Dia memang pemarah, tapi denganku tidak pernah. Dia suka membentak, tapi sesekali dan setelahnya pasti minta maaf. Kami sudah sering pergi bersama, meski baru kali ini aku mendatangi tempatnya.
Setelah selesai aku kembali ke ruang tamu dengan santai. "Kamu tuh kalau sampai aneh-aneh dibelakang aku, awas aja" tiba-tiba ia bilang begitu tanpa melihatku. Pandangannya menatap lurus ke tv yang menyala. "Aku nggak aneh-aneh. Wong cuma pipis kok" kemudian aku mendekat. Ia mengenggam tanganku. Aku menyandarkan kepala ke dadanya. Kini ia yang mengelus rambutku meski dibagianku, aku tidak marah.
"Aku nggak mau kamu selingkuh" ia bilang begitu lagi. "Nggak lah apaan sih kamu, ada-ada aja" kini aku menatap wajahnya, ada syukur di situ. Salah satu lukisan indah Tuhan, ada disampingku. Aku memegang hidungnya. Ia tertawa lalu mengelus pipiku lembut.
Waktu yang ingin sekali aku bekukan, meski yang ku tau, semua berjalan dan untuk menghentikannya kita harus siap untuk mati dalam keterpaksaan.
Tanpa terasa sudah hampir dua jam kami di ruang tv, tidak melakukan banyak hal. Hanya bercakap seadanya sembari nonton tv. Sampai akhirnya teleponku berbunyi. Saat kulihat, ternyata bossku yang telepon. Meski bekerja sebagai freelancer di bidang seni namun pada waktu tertentu pasti ada saja pekerjaan yang ditawarkan. Aku hendak mengangkat dan tiba-tiba dia mengambil teleponku. Mematikannya lalu melempar ke sudut sofa. Aku menganga. Mau marah tapi takut. Di saat yang bersamaan, aku juga kesal.
"Hey???? Ada apa ya? Kamu tau kan ini soal kerjaan?"
Aku memberikan tatapan sebal yang tanpa ku sangka ia malah tambah marah. Ia membanting teleponku ke ubinnya. Meski ada karpet namun berhasil meretakkan layar teleponku.
"Kamu kenapa sih?" Aku bingung. Sangat bingung. "Aku tau kamu pasti ada main sama lelaki lain. Aku yakin itu" matanya menyala, seperti sudah siap untuk memangsa aku. Jantungku berdebar sangat kencang. Aku takut. "Aku nggak pernah bisa selingkuh, apalagi dalam kerjaan? Aku nggak gila!" Aku berusaha membela diri. Tanpa kusangka ia malah menarik tubuhku, kemudian mengeluarkan benda tajam. Yang enggan untuk kusebutkan namanya. Ingin sekali kabur namun tentu tidak mudah. Mau membantah tapi malah percuma. "Gila kamu!" Aku berteriak, tidak ada hal lain yang bisa kupikirkan. Ia semakin marah. Sangat marah. Sampai rela mendorongku dan menarik bajuku sampai robek. Aku sangat terkejut dan akhirnya menangis.Ia menodongku lagi dengan benda itu sampai aku kehabisan kata. Batinku teriak, aku pasti mati hari ini. Dan jika iya, ia sudah kumaafkan. Aku berusaha untuk tenang tapi tidak bisa sampai akhirnya aku menjatuhkan diri ke lantai. Ini seperti yang pernah kulihat di cerita orang lain meski kenyataannya ini benar-benar terjadi di dalam ceritaku. Yang sedang kusayang dengan tega memaki dan melukai. Tidak hanya hati namun fisikku juga. Ia memberikan tanda yang terlihat jelas. Lenganku membiru. Ia mendekat dan berusaha mendekap. Mau menolak tapi takut ia semakin marah. Ia ikut menangis dan memohon maaf. "Aku nggak mau kehilangan kamu" katanya. Dan dadaku sakit sekali. Entah ini apa namanya. Yang jelas begitu sakit. Dan melihatnya memohon begitu, aku malah menjadi muak.
"Aku mau pulang" kataku sambil terisak. Tatapanku kosong, melihat wajahnya aku seperti sudah tidak sudi. "Aku mau pulang" aku mengulang. Ia menciumi keningku sembari minta maaf. "Maafin aku sayang" berkali-kali dan aku hanya membalas dengan tersenyum. Aku memang mencintainya. Sangat. Tapi melihatnya berubah hanya dalam hitungan detik, membuatku sadar kalau cinta mesti dikalahkan oleh nalar. Aku mencintainya, tapi tidak lebih besar dari cinta dengan diriku sendiri.
Ia mau mengantar pulang tapi aku enggan, kubilang orang rumah akan curiga kalau dia yang mengantar. Sebenarnya ini hanya alasan, selain aku takut, aku juga tidak mau mengenalkannya dengan Ibu dan Ayah. Sekalipun Ibu sudah beberapa kali bicara dengannya.
Sesampainya dirumah aku merebahkan tubuh yang sudah cukup lemas. Jarak apartemennya sampai kerumahku cukup jauh. Ongkos taksi online sampai 250ribu yang menandakan kalau aku sudah berhasil menjadi budak cinta. Menurutku tidak ada yang salah dengan menjadi salah satunya. Meski di dalam ceritaku, pemeran utamanya tidak bertingkah selayaknya manusia yang penyayang. Ia jauh dari kata lembut, tidak seperti hari-hari sebelum itu.
Hanya karena satu dua hal tidak dituruti, ia marah sampai akhirnya berusaha menggenggam lenganku dengan sekuat tenaga. Ia menciptakan lebam pada lengan sebelah kanan. Yang kemudian lukanya bisa hilang dalam dua tiga hari, namun ceritanya akan tetap tinggal sampai selamanya.
Aku masih ingat sorot matanya yang begitu menakutkan. Suaranya yang membentak dan gerakan tubuhnya yang sangat menyiksa.
Malam itu aku menangis terlalu banyak. Meratapi diri dan dia yang ketika habis menyakiti malah bertingkah seperti tidak ada apa-apa. Ia mencium lembut keningku sebelum aku pulang kerumah. Pada saat itu aku langsung tersadar kalau saat itu sedang mencintai orang gila.
Malam itu aku menangis, sampai akhirnya memblokir semua akses untuknya.
Tidak ada lagi kita. Tidak ada lagi jatuh cinta dengan dia yang padahal sedang kubanggakan. Yang kupikir dalam beberapa bulan kita mungkin akan bertunangan.
Ini sangat menyedihkan. Kita selesai meski dari bibirnya tidak pernah mengucapkan kata selamat tinggal.Hari-hari setelah aku memutuskan untuk kembali sendirian adalah apa yang membuatku semakin kuat. Aku mulai menata segala meski hatiku masih sangat sakit. Hanya dalam satu hari, bahkan tidak sampai seharian, ia berhasil mengubah bahagiaku menjadi sebuah ketakutan. Sampai hari ini aku masih ingat akan segalanya. Meski untuk kembali menyapanya aku sudah tidak mau. Aku sudah tidak mau mengenalnya lagi.