Ruang Ramai, Menyepi.

609 12 0
                                    

Ini mungkin sudah hampir satu bulan semenjak aku meninggalkan si bajingan itu. lelaki yang meski berat untuk mengatakannya. Namun sungguh masih kusayang. Dia yang kupikir akan menjadi pasangan hidup selepas banyaknya hal yang sudah aku lewati. Sudah hampir satu bulan aku hidup di dalam kegalauan, aku telah memutus segala akses yang bisa kembali menghubungkan aku dengan dia.
Meskipun dia sudah begitu jahat. Bersikap seenaknya, namun tetap saja sesekali bahkan seringnya, aku masih memikirkan hari-hari baik yang pernah kami lalui bersama. Memang tidak mudah untuk melewati waktu yang sebelumnya dipenuhi oleh perasaan yang masih saling sayang dan memiliki.
Dia sempat menjadi bagian paling inti dari isi hati, yang selalu berhasil menciptakan tawa pada hidupku yang hampa.
Kehadirannya sempat membuatku yakin kalau cinta itu memang masih ada, hidup diantara pendatang yang punya niat ingin serius.

Waktu terus berjalan dan berdiam diri di rumah tidak akan menghasilkan apa-apa, maka aku memutuskan untuk ikut pada ajakan teman-teman seprofesi yang mengadakan sebuah acara di tempat yang cukup terkenal di kalangan pekerja seni. Aku yang awalnya ragu akhirnya mau, kupikir dengan keluar rumah selain tentang pekerjaan, akan bisa membuatku lupa dengan segala permasalahan yang ada. Ya meski hanya sementara. Tapi kupikir sementara lebih baik daripada tidak sama sekali. Setidaknya juga, aku berusaha untuk melewati ini semua dengan tidak memeluk diriku sendiri.

Aku sampai di sebuah tempat yang cukup ramai yang padahal sering aku hindari. Aku benci tempat ini, dulu dia pun sering ke tempat ini dan setelahnya kami pasti bertengkar. Bukan yang saling meneriaki melainkan aku yang akan diam seribu bahasa ketika tau kalau dia sempat berbohong. Pamit untuk tidur yang padahal berlanjut ke klub yang bahkan sampai menginap, tidak pulang berhari-hari. Membayangkan dia yang bersama siapa ketika melewati beberapa malam tanpa menghubungiku, dulu sempat membuatku seperti orang tolol. Kalau dipikir-pikir hubungan kami memang tidak sehat. Aku yang terlalu iya-iya saja sementara dia sering bersikap seenaknya. Tapi ya sudah, sekarang aku sudah di sini, di tempat yang kalau menyetel musik itu kencang sekali. Dengan memakai pakaian serba hitam aku menyalami semua temanku, kami berbincang seadanya menanyakan kabar satu sama lain. Aku lebih banyak diam memang, meski biasanya aku juga sering melakukan ini. Menghindari ramai dan lebih sering diam dan menjawab seadanya jika ditanyakan ini itu.

Waktu lagi-lagi berjalan dengan cepat dan beberapa teman sudah pamit duluan, tinggal beberapa diantara kami. Sudah selarut ini dan aku enggan pulang, kudengar musik yang malah semakin tidak karuan, membuat perasaanku tidak tenang. Maka bingung kalau masih banyak yang menganggap dengan berpergian ke klub bisa menggagalkan kesedihan. Mungkin berlaku untuk mereka tapi tidak dengan aku. Karena sudah sangat mual dan muak, aku memutuskan untuk pergi keluar, mau cari angin meskipun jam sudah menunjukkan pukul 12 belas. Aku menuruni banyaknya anak tangga dengan kepala yang sedikit berputar. Melihat mereka yang malah semakin asik dan larut pada suasana yang ada.

"Hei?" Seseorang terdengar menyapa aku yang sedang duduk di sudut tempat itu, aku sendirian dari ramai yang ada.
"Eh kok turun?" Tanyaku sesaat tau yang menghampiri adalah salah seorang temanku juga, kami tidak terlalu akrab tapi sesekali ngobrol untuk kepentingan pekerjaan.
"Ngeliat kamu nggak ada, i wonder, where are you? Kirain pulang taunya di sini"
Aku senyum dan bergeser dari sebuah bangku yang mungkin bisa di duduki oleh dua orang. "Sini duduk" pintaku melihat seorang pria yang tingginya menjulang berdiri dihadapanku.
"Kenapa nggak di dalam?" Ia menyalakan sebatang rokok. "Ramai bukan sahabatku" pekerjaan kami sebagai seniman agaknya membiasakan kami untuk memakai kata-kata yang sedikit baku ketika mengobrol.
"Kalo aku boleh kan jadi temanmu?" Ia tertawa setelahnya. Aku memukul bahunya pelan "apa sih" ucapku. "Kalo ramai bukan teman kamu, berarti sepi ya?" Hah? Aku mengernyitkan dahi, bingung sama pertanyaannya.
"Iya sahabat kamu itu sepi? Kesepian? Tipe-tipe kamu memang lebih nyaman kalau sendirian. Nggak membaur sama ramai. Kamu yang benci sama tempat ramai tapi kamu juga orang yang nggak bisa bilang enggak sama apa pun pertanyaan yang mengajak"
Sial, aku seperti dibacakan oleh lelaki satu ini.
"Emang aku tipe yang gimana? Sok tau" aku mendengus sebal mencoba untuk meraih sebatang rokok yang digenggamnya. "Eh kamu merokok?" Dia malah mengalihkan, atau aku yang duluan. "Sesekali" setelah hisapan pertama selesai aku memberikan sebatang rokok itu lagi. "Udah segitu aja?"
"Iya"
"Aku nggak terpaksa datang ke sini, aku suka minum, ngeliat keluar lebih jauh. Tapi aku nggak suka sama musik-musik itu, terlalu berisik untuk aku yang gampang panik"
"Kamu gampang panik? Kupikir kamu orang paling tenang yang pernah aku kenal"
"Sok tau lagi ni orang" aku tertawa kecil dan kemudian melihat ia berkali-kali. Umurnya aku tidak tau pasti, yang jelas dia lebih tua kalau dilihat dari wajahnya. Aku tidak pernah benar-benar tau tentang teman-temanku di sini. Aku ini tipe yang sehabis kerja ya sudah, pulang. Aku krisis percaya dengan orang-orang baru. Maka, sendiri memang sebaik-baiknya berkawan.
Dengan sendirian aku bisa lebih mengenal diriku.
"Kamu lagi galau? Habis putus?" Dari pertanyaannya aku tau betul kalau dia ini punya mulut yang lancang atau sederhananya, terlalu mau tau banyak.
"Heiiiii" jawabku kesal.
"Hahahha. Santai. Pas kamu masih sibuk-sibuknya kuliah, aku udah kesana kesini, udah banyak ketemu sama orang. So, ya... i know people like you"
"People like me???" Aku meninggi.
"Tuh kan. Mudah tersinggung. People like you yang kalau ada masalah milih lari dan yaudah akhirnya iya-iya aja"
"Terus????"
"Kamu nggak bisa tegas sama kemauan kamu. Jangan begitu"
Aku diam untuk kemudian merenungi tiap-tiap kata yang diucapnya. Aku sedang mumet dan berusaha untuk membaur dengan mereka dan saat sedang menyepi begini, ada dia yang datang lalu seenaknya menebak. Meski sedikit tersinggung tapi aku tidak juga bisa menyalahkan. Semua yang diucapnya itu benar, tapi dibacakan dengan seseorang yang kupikir sebatas teman? Sungguh, aku mulai risi.
"Sok tau. Udah sana kamu balik ke atas, sedikit lagi aku pesan taksi online mau pulang." Jawabku ketus tapi tidka juga melihat wajahnya.
"Pulang? Baru jam dua belas mau pulang?"
Aku masih diam dan mau tau, dia ini mau bilang apa lagi? Oh ya, setauku dia punya cukup banyak followers, lebih dariku. Tapi apakah mereka tau kalau panutannya ini sedikit menyebalkan?
"Gini deh, aku temenin kamu, sampai jam berapa aja aku temenin dan janji aku nggak akan ngapa-ngapain kamu"
Aku berdeham. Sialan. Dia itu minum alkohol, apa ada jaminan kalau dia nggak akan melakukan apa-apa?
Aku cuma diam, diam dan diam. Kupikir dia akan bosan sampai akhirnya dia tetap di situ selama hampir lima belas menit. Tanpa bersuara, tanpa adanya jawaban dariku.
"Sial" aku menggerutu dan langsung masuk ke dalam.

Sudah hampir satu jam kami berkeliling kota Jakarta, iya, akhirnya aku memutuskan untuk mengiyakan ajakannya yang katanya mau menemani aku. Aku yang dipikirnya bosan.
Dia memang tidak melakukan hal-hal aneh. Atau, tepatnya, belum. Aku meliriknya sesekali, pria ini lumayan dan kenapa aku baru sadar kalau dia ini lumayan saat kami sedang dalam keadaan setengah mabuk. Takutnya ketika sudah sepenuhnya sadar, dia tidak benar-benar manis. Wajahnya keindoan, kulitnya putih yang jelas lebih putih dariku dan alisnya cukup tebal. Di sepanjang perjalanan aku dan dia, namanya Vincen dan katanya sih dia ini keturunan Belanda juga. Tidak heran kalau melihat tampilannya yang begini. Sepanjang perjalanan kami mendengarkan lagu-lagu Pamungkas sampai akhirnya berganti ke radio, kupikir semua lagu Pamungkas sudah disetel sampai habis.

"Aku punya ide"
"Apa?" Jawabku yang masih ketus-ketus sedikit.
"Gimana kalau kita ke kantor?"
"Kantor? Udah jam dua malam gini?? Ngapain?"
"Di sana ada kamar"
Aku langsung melotot sampai akhirnya ia menggenggam tanganku. "Nggak yang kayak kamu pikirin ya!"
"Ya terus????"
"Kamu terlalu mabuk untuk sampai ke rumah. Yaudah, mending kamu tidur di sana"
Aku tertawa geli. Sialnya aku malah jadi minum sedikit banyak. Tidak bisa dipungkiri kalau bayang-bayang wajah si brengsek masih melekat kuat. Belum lagi kuingat kalau dia punya hutang yang belum sempat dibayarkan. Rasanya mau ikhlas tapi kenapa susah sekali ya?
"Kalau kamu macem-macem sama aku. Nggak ada ampun! Aku laporin ke boss!"
"Well, aku ini bossnya????"
Aku tertawa dan menjerit "NGIMPIIII!!!"
Dia menepuk-nepuk pipiku. Oh ini sudah pukul dua malam dan setelah itu aku tidak tau betul apa yang terjadi seketika aku sudah ada di kamar, ruangan kosong yang banyak bantal-bantalnya di kantor kami.
"Aku bilang jangan dekat-dekat"
Mulutnya bau alkohol meskipun badannya cukup wangi. Ya aku tau, pasti parfum mahal yang dipakainya.
"Pas di jalan, kamu megang tangan aku." Dia ketawa kencang sekali, seperti puas kalau aku duluan yang pegang tangannya.
"Megang tanganmu nggak berarti apa-apa. We both drunk. Please just deal with it"
Kami diam sampai akhirnya aku tertidur, setauku aku tertidur cukup pulas sampai sadar kalau sesuatu terjadi. Sesuatu yang tidak mengenakkan baru saja terjadi.

Sesuatu terjadi dan pikirku ini akan lebih menyakitkan dan akan membuatku semakin terpuruk. Luka yang kemarin itu masih terbuka lebar, lalu sudah ditimpa lagi oleh luka baru yang lebih menyakitkan. Kami tidak punya hubungan apa-apa selain rekan kerja. Aku tidak punya ketertarikan yang lebih juga. Meskipun dia tampan namun bagiku dia belum cukup menarik. Dia sangat biasa dan untuk mendambanya aku pun tidak punya kerelaan. Setauku dia juga sudah punya pasangan.
Pagi datang dan satu-satunya hal yang ingin kulakukan adalah kembali memutar waktu. Aku bahkan tidak ingin berada di sebuah kantor di mana banyak sekali diimpikan para pekerja seni seperti kami.
Aku ingin sekali memukul siapa pun yang ada.
Sementara itu dia tetap mengirimi pesan, memohon maaf sebesar-besarnya. Aku ingin menangis tapi rasanya untuk menjatuhkan airmata untuk seseorang yang begitu asing, aku tidak rela.
Memang laki-laki itu setauku bangsat. Iya, setidaknya itulah yang nampak di dalam kamusku.
Perihal esoknya lagi, entahlah mungkin akan sangat menyakitkan.

Ayu, sungguh malang sekali nasibmu. Kataku pada layar telepon. Aku menangis dan yang bisa kujadikan teman sampai saat ini hanyalah buku harianku sendiri.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 18, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Satu RuangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang