NLAD|11| Reinkarnasi

66 5 0
                                    

Warning! Strong language.

-----------

"Jam sembilan, di tempat biasa." Om Hendro menutup kembali pintu kamarku setelah menginformasikan jadwal kerja yang membuatku mendesah berat.

Masih pukul setengah tujuh malam. Aku menyambar jaket hitamku, bergegas turun. Ada Tante Ira di ruang tamu yang tengah melipat pakaian. Mau tidak mau, aku berpamitan padanya padahal aku sama sekali belum menyiapkan alasan.

"Frega mau ke luar, Tan."

"Lagi?"

Aku mengangguk setelah menyalami Tante Ira.

"Jangan pulang malam-malam, ya."

Sambil mengangguk tipis, aku berlalu. Dalam hati, aku menggumamkan permohonan maaf. Setelah menggunakan memesan ojek daring, aku membuka ruang obrolan dengan Kak Jess, mengetik pesan singkat.

Lo ke kafe Bang Ben gak hari ini?

Kak Jess membaca dengan cepat, membalas beberapa detik berikutnya.

Ada masalah apa sekarang?

Pertanyaan itu. Kak Jess tahu benar. Aku akan repot-repot menghubunginya untuk membahas sebuah masalah.

Gak ada. Lagi kangen aja.

Kak Jess membalas dengan emoticon memutar mata. Aku menyeringai. Bukan salahku. Ia sendiri yang menyuruhku merepotkannya dalam hal apa pun.

"Frega, ya, Mas?"

Aku menghentikan gerakan jariku. Wajahku mendongak pada seseorang yang duduk di sepeda motornya. Rupanya, ojek daring pesananku sudah sampai. Pengemudi yang terbilang masih muda itu memberikan sebuah helm yang dengan segera kukenakan. Segera aku naik ke jok belakang. Begitu tegap duduk, aku melanjutkan ketikan pesan singkat untuk Kak Jess.

Kak Jess ternyata sudah lebih dulu di kafe itu. Ia bahkan sudah memesankan minuman untukku. Senyumnya merekah melihat aku berjalan mendekat ke mejanya. Kak Jess hari ini mengenakan celana kulot hitam dan sweater lengan panjang berwarna biru pastel. Rambutnya diikat kuncir kuda. Wajahnya hanya dipulas bedak tipis dan lip gloss, menandakan hari ini Kak Jess tengah meliburkan diri. Meski dengan tampilan yang lebih santai, Kak Jess tetap terlihat manis.

"Gue ngerti, ya, lo gak peduli-peduli banget sama fashion," Kak Jess membuka pertemuan kami dengan sesi berceramah begitu akumenempati bangku kosong di depannya. "Tapi, ya seenggaknya itu rambut disisir, Gam!" Kak Jess menunjuk rambut berantakan yang belum sempat kurapikan. Belum lagi, dalam perjalanan ke sini, aku mengenakan helm yang pasti menambah berantakan rambutku.

Dengan malas, aku menyisir rambutku ke belakang dengan jari.

"Muka lo asem banget. Kenapa lo? Kena semprot bokap tiri lo? Atau diajak 'main' aneh-aneh."

Aku memutar bola mata. Kak Jess tetap saja Kak Jess. Suka sekali menyinggung hal-hal yang bagiku sangat menyebalkan. Kukatakan lagi, aneh yang kian aneh, aku justru semakin nyaman berteman dengan Jess. Perempuan itu, walau bicaranya kadang tak melewati penyaringan di otaknya, ia betulan baik. Kepedulian Kak Jess bukan buatan. Dan, yang paling penting, Kak Jess pendengar yang baik. Aku leluasa mengobrolkan apa pun dengan Kak Jess tanpa canggung dan malu yang berlebihan sebab nasib menempatkan kami pada situasi yang mirip. Kak Jess mendengarkan, mengerti, dan Kak Jess tidak akan menghakimi.

Aku menyedot americano yang dipesankan Kak Jess. Spontan, aku menjulurkan lidahku oleh sebab rasa pahit yang terkecap. Selagi Kak Jess menertawai reaksiku, aku menggelengkan kepala. Bisa-bisanya ada yang menyukai minuman sepahit ini.

No Light After DarkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang