NLAD|1| Tersesat

277 16 10
                                    

Nasib, baik dan buruknya tergantung yang menjalani. Tapi, aturan itu tidak mutlak. Akan selalu ada yang mencurangi. Katakanlah dia bernama keberuntungan, yakni si licik yang tak tanggung-tanggung, mampu mengubah hubungan berbanding lurus itu menjadi sebaliknya. Satu usaha keras tidak serta-merta mendatangkan kesejahteraan yang diharapkan. Seperti sebuah permainan yang ditentukan oleh dadu. Besarnya tenaga yang dikerahkan untuk mengocok tidak pasti menghasilkan muka dadu berjumlah enam. Jadi, aku lebih suka menganggap, nasib tak lebih dari sebuah perjudian.

Lantas, untuk apa aku memperjuangkan yang tidak pasti?

Adalah penolakan, alasan itu. Pada nasib yang tak dapat diterima, naluri manusia ialah memberontak. Menyerah berada di urutan terakhir. Ada setidaknya satu tindakan yang dilakukan sebelum itu, sebuah usaha mengubah nasib. Manusia mau berjuang lebih dulu karena punya harapan. Tak perlu tahu seberapa rapuhnya harapan itu, asalkan terasa ada, pengaruhnya nyata.

Aku fasih menetapkan kematianku, yang faktanya tak menjadi jaminan aku patuh. Jiwaku masih bersemayam dalam tubuh ini. Pikiran dan nuraniku masih bekerja. Aku tidak dapat sepenuhnya tunduk pada arah nasib yang disetir orang lain, tidak menuju kehidupan yang enggan kudatangi. Andai aku yang sekarang adalah hasil reinkarnasi, reinkarnasiku tidak mengubah caraku berpikir dan merasa, hanya simbol dari perubahan nasibku.

Akan tetapi, selalu begini. Tindakanku tak pernah terlaksana. Usahaku sebatas kata-kata. Tak cukup kuat untuk melawan arus. Betapa pun keras aku menolak, aku berakhir di persinggahan yang sama. Mengatasnamakan pasrah dan menjalankannya dengan keterpaksaan, di sinilah aku berada. Dalam pelukan pria pemuja nafsu. Percayalah, sebelum kalian, aku orang pertama yang merasa jijik pada diriku sendiri.

"Tinggallah sebentar lagi!" Om Yohan melangkah dari kamar mandi dengan jubah mandinya. "Sebentar lagi makanannya datang. Kamu pun pasti lapar setelah menghabiskan energimu."

Memilih fokus mengikat tali sepatu, aku mengabaikan ucapannya.

Om Yohan mendekatiku. "Saya baru melihatmu setelah dua minggu, Gamal. Beri saya tambahan waktu untuk melepas rindu."

"Waktu ekstra dihargai tiga kali lipat."

"Saya akan membayar lima kali lipat."

Aku menarik napas dalam. Menyesal telah kubiarkan lidahku bersuara. Walau hanya kupelajari dari ekspresinya, aku tahu perkataanku memanggil kembali hasrat Om Yohan. Maka, lekas aku bangkit. Om Yohan turut melangkah, untuk memalangiku di depan pintu. Kukira dia akan menahanku. Aku sudah menyalurkan tenaga ke kedua lenganku agar aku dapat melawannya. Namun, Om Yohan hanya menatapku selama tiga detik. Setelahnya, dia mengangkat tangannya yang menggenggam beberapa lembar ratusan ribu, memasukkan rupiah itu ke dalam saku kemejaku. Lalu, dengan tenang membukakan pintu.

"Sampai jumpa secepatnya, Gamal!"

Aku menggerakkan kakiku. Seorang pelayan rupanya sudah berada di luar. Dia hati-hati menatapku dan Om Yohan bergantian. Tatapannya menghakimi meski dia menyamarkan dengan senyuman. Perih rasanya menyadari begitulah aku dipandang oleh orang-orang yang mengetahui kebusukanku.

:::

Suasana hati yang buruk menahanku tetap di sini, di sebuah kelab malam yang biasa kudatangi untuk mengantarkan pesanan rekan-rekan Om Hendro dulu. Sudah sepuluh menit aku menempati salah satu kursi bulat di depan meja panjang tempat memesan minuman. Hanya duduk tanpa melakukan apa pun. Tidak ada niatku mencicipi minuman beralkohol yang dua kali ditawarkan bartender. Aku malah benci aromanya. Mengherankan diriku sendiri yang memilih berada di dekat orang-orang yang mungkin sudah mabuk setelah meneguk bergelas-gelas bir.

Lantai dansa yang riuh itu pun tak tertarik kudatangi. Aku tidak suka dengan kencangnya musik disko yang harus diterima pendengaranku. Dan, lampu redup yang berkedip-kedip itu membuat mataku sakit. Belum lagi harus kusaksikan beberapa pasangan yang menari seirama musik sambil tak segan bermesraan. Tidak perlu diperdebatkan, kelab malam bukanlah tempatku. Aku bahkan tidak tahu alasanku bertahan. Seharusnya, seseorang yang berjaga di pintu itu tidak tertipu oleh kartu identitas palsu yang kudapatkan dari Om Hendro!

No Light After DarkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang