Part 1 - Caramel Macchiato

21 1 1
                                    

Aku berada di sebuah hutan yang sangat asing dengan pepohonan menjulang tinggi serta ranting yang dipenuhi oleh dedaunan yang rindang, hampir sulit bagi sinar matahari untuk menjangkau dasarnya. Sekelilingku dipenuhi oleh semak-semak yang hampir setinggi diriku dengan jalan setapak hanya selebar pundak. Aku menelusuri jalan setapak itu berharap menemukan tempat keluar dari hutan ini. Perasaan cemas serta bingung menyelimuti pikiranku, aku mendongak dan menatap sela-sela langit yang mulai petang. Suasana yang sangat sunyi tiba-tiba riuh tertutupi oleh suara lolongan yang sepertinya adalah serigala. Jantungku seketika berdegup kencang tak karuan, aku berlari sekencang mungkin tak tentu arah. Aku menatap ke belakang dan melihat tidak hanya satu, tetapi segerombolan serigala mengejarku dengan mata merah menyala dan lolongan yang mengerikan. Aku terus berlari hingga tiba-tiba saja kakiku terantuk akar pohon yang sangat besar. Tubuhku melayang dan membentur tanah. Serigala-serigala itu semakin mendekat, aku pasrah dan memejamkan mataku. Aku tak menyangka bahwa hidupku berakhir di perut serigala hingga aku mulai menangis.

Saat aku sudah diujung kematian, tiba-tiba suara serigala-serigala itu tak terdengar lagi, aku tergumam,

'Sepertinya aku sudah mati' pikirku. Jadi begini rasanya kematian, sangat sunyi dan sepi serta hampa. Aku mulai menikmati kematian ini hingga seseorang menggoyang-goyangkan tubuhku.

'Hei, kau tidak apa-apa?' tanyanya

Aku tersentak, ternyata aku belum mati. Kubuka mataku perlahan, silau lentera menembus pupil mataku. Samar-samar terlihat seorang pria muda dengan pakaian bagus lengkap dengan pedang yang terpatri rapi serta sebuah lentera berada tepat didepanku. Aku tak dapat melihat wajahnya dengan jelas akibat sinar lentera yang menyilaukan. Dia membuka mulutnya seakan ingin mengucapkan sesuatu, tetapi kenapa suaranya terdengar seperti dering ponsel. Aku memicingkan telingaku, tetap saja suara pria itu terdengar persis seperti dering ponselku yang langsung memenuhi gendang telingaku.

Aku terbangun dan mulai menyadari bahwa itu hanyalah mimpi, mimpi yang buruk. Kuraih ponselku yang berdering sedari tadi dan mematikan penyetel alarmnya, waktu menunjukkan pukul 6.15 pagi. 'Siapa pria itu? Apa yang ingin dikatakannya?' gumamku seraya merapikan tempat tidur.

'Hm sudahlah' pikirku melupakannya, toh itu hanya bunga tidur.

Aku beranjak dan menuju kamar mandi, jika bukan hari senin tidak akan aku bangun sepagi ini. Aku tidak ingin menambah daftar terlambat lagi sejak guru bimbingan konseling memberi peringatan bahwa ia akan menemui ibuku sendiri jika namaku tercatat lagi untuk yang kesembilan belas kalinya semester ini. Aku bukannya tidak mau ibuku datang kesekolah, tetapi aku tahu bahwa ibu tidak akan datang karena waktu untuk pekerjaannya lebih berharga. Ibu pasti akan menyuruh bibi Letty untuk datang dan aku sudah pasti akan pusing mendengar ocehan bibi tentang betapa menyebalkannya guruku karena ia harus meninggalkan kelas kecantikan yang hampir setiap hari ia hadiri dimanapun itu.

Setelah bersiap dan mengenakan seragam bertuliskan SMA Alpha, aku meraih tas dan mengisinya dengan sebuah binder, pena, powerbank, USB, ponsel, earphone serta topi upacara. Kemudian aku menuju ke dapur dan melahap roti lapis ukuran besar di atas meja yang sudah ibu siapkan. Seperti biasa, ibu sedang sibuk berkutat dengan laptopnya bahkan diatas meja makan sekalipun. Aku melanjutkan dengan meneguk segelas air putih hangat untuk melancarkan perjalanan roti lapisku bersamaan dengan ibu menutup perangkat pintarnya.

'Ayo pergi jika sudah selesai' Ajak ibu seraya memasukkan laptopnya ke dalam tas dan berlalu dengan aku di belakang mengikutinya.

Jalanan kota ini begitu padat dan sibuk, orang-orang berlomba-lomba untuk menjadi yang terdepan. Seorang laki-laki paruh baya memasuki sebuah toko roti dan keluar dengan sekantong penuh croissant, ia berjalan menemui wanita berpakaian lusuh bersama kedua anaknya yang juga berpakaian lusuh, memperlihatkan dengan jelas bahwa mereka adalah pengemis. Laki-laki itu memberi sekantong penuh croissant yang dibawanya kepada wanita pengemis yang terlihat sangat bahagia menerimanya. Anak-anaknya langsung melahap beberapa potong croissant tersebut. Wanita pengemis itu terlihat berbincang-bincang seraya terus menerus menganggukan kepala dan mengatupkan kedua telapak tangannya kepada laki-laki paruh baya itu seakan mengucapkan terima kasih yang tiada habisnya. Sungguh pemandangan pagi yang indah, gumamku.

Tak berselang lama, mobil kecil kami sudah tiba didepan gerbang sekolah yang penuh sesak. Aku menarik gagang pintu seraya mengambil uang saku dari ibu yang sibuk menerima telepon sepanjang perjalanan. Kemudian ibu berlalu tepat setelah aku menutup kembali pintu mobilnya. Aku berjalan santai ke kelasku yang berada di lantai 2 sebelah kanan. Anna, teman sebangku ku sedang sibuk dengan ponselnya, segera setelah melihatku ia langsung antusias, entah hal menarik apa yang akan diceritakannya hari ini jika bel tanda upacara tak membuatnya menggerutu.

Sepulang sekolah, aku dan Anna berencana untuk mengunjungi kedai kopi langganan kami. Anna memesan Iced Americano ukuran grande sedangkan aku memesan Caramel Macchiato dengan extra krimer ukuran tall. Anna mengatakan bahwa ia harus ke toilet sebentar sehingga aku yang menunggu untuk pesanan kami. Seorang anak laki-laki memasuki kedai kopi dan berdiri disampingku, ia mengenakan seragam sekolah yang sama denganku tetapi entah mengapa aku tidak mengenalnya.

'Ed, seperti biasa ya!' serunya kepada barista yang sepertinya sudah akrab.

Tak lama kemudian, minumanku sudah jadi, aku memberi uang kepada kasir dan menunggu untuk kembalian.

'Caramel Macchiato itu akan lebih enak jika diminum tanpa diaduk, rasanya tidak akan tercampur sehingga kau akan lebih menikmati rasa kopi dan caramel nya' Tegur anak laki-laki itu sesaat setelah ia melihat minumanku.

'Oh ya? Bagaimana kau tahu?' Balasku, ia hanya tersenyum kecil yang menampilkan lesung pipi yang berada dikedua bagian pipinya.

'Bagaimana aku tahu? Bahkan absenku disekolah lebih sedikit daripada absenku pada kedai kopi ini' Ucapnya sembari tertawa yang membuatku tak dapat mengelak betapa manisnya dia bahkan dari Caramel Macchiato extra krimer milikku.

Aku mengambil kembalian uangku dan berlalu meninggalkannya, menghampiri Anna yang sudah keluar dari toilet.

'Kau mengenal anak itu?' Tanyaku kepada Anna seraya memberikan Iced Americano miliknya. Anna melirik ke arah anak laki-laki yang sedang berbincang kepada barista itu,

'Tentu saja, si konyol mana yang tidak tahu jika itu Dareen' Jawab Anna sembari menyeruput minumannya.

'Aku si konyol itu' gumamku, bagaimana bisa aku tidak mengenalnya, bahkan Anna saja tahu dia siapa, kurasa aku harus lebih sering berjalan-jalan keluar kelas mulai detik ini.

Aku melihat Caramel Macchiato-ku dan mencoba meminumnya tanpa diaduk, benar saja rasa kopi dengan takaran yang sempurna mengalir melalui trakea meninggalkan kesan caramel di lidahku. Aku merasa tak dapat berhenti menyeruputnya hingga tidak begitu mendengarkan ocehan Anna sepanjang perjalanan. Kurasa cara meminum Caramel Machhiato ini akan menjadi favorit baruku.

I (don't) need uTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang