Suara gemerisik langkah kaki membangunkanku. Kupejamkan mataku menahan diri hingga kurasakan sudut meja menghantam tubuhku, aku terkesiap. Seorang anak perempuan dengan behel ungunya menatapku penuh rasa bersalah, ingin rasanya kuhujani ia dengan cacian jika saja ia tak segera meminta maaf.
"M-maafkan aku.. aku ingin buru-buru ke koridor aula. Maafkan aku Ivy" Ujarnya dengan maaf, terlihat dari matanya bahwa ia sungguh-sungguh. Aku tersenyum dan mampu mengubah ceria wajahnya, walaupun aku tak menyangkal betapa sakitnya pinggangku.
"Sudahlah, aku tak apa. Kau bilang buru-buru? Ada apa di koridor aula?" Tanyaku penasaran akan hal yang mampu membuatnya se-ceroboh itu menyenggol meja yang kemudian menghantamku.
"Mereka bilang ada pertarungan sengit di sana. Entah mengapa anak-anak lelaki itu berkelahi, kau tahu Dwi Kornel? Gosipnya, semua itu ulahnya, cepatlah atau kau akan tertinggal informasinya" Jelas si behel ungu itu atau yang bisa kau sebut Tina, kemudian ia bergegas pergi bak angin muson timur.
Dasar tukang gosip, pikirku. Aku hanya heran, mengapa anak laki-laki jaman sekarang memiliki pikiran yang pendek dengan rela berkelahi demi memperebutkan seorang gadis? Apalagi gadis seperti Dwi Kornel. Ku akui dia memang sangat menawan dengan tubuh yang ideal dan tinggi, rambut hitam panjang, kulit putih, serta mata yang besar. Banyak yang mengatakan bahwa ia keturunan Persia dari garis keluarga ibunya, tak banyak pula yang menyangkalnya dengan mengatakan ayahnya seorang korea-turki. Mereka yang begitu mengaguminya membuat paradoks aneh tentang seorang dewi yang turun dari surga dan memberkatinya dengan kemilau embun serta permata saat hari kelahirannya. Aku masih memaklumi perdebatan tentang silsilah keluarganya, tetapi mengenai dewi surga? huh sungguh pemikiran yang konyol.
Aku mengedarkan pandangan ke seluruh sudut kelas, hanya ada aku dan beberapa anak gamers introvert yang sedang mabar, meskipun begitu mereka tetap tak bersuara. Berbicara dengan saling melemparkan senyum, kurasa ikatan batin diantara mereka sangat kuat dengan kemampuan komunikasi secara telepati. Tak kusangka, perkelahian diluar sana mampu menarik seisi kelas, bahkan Anna juga tak ada. Jika seperti ini, tidak ada lagi alasan bagiku untuk tetap bertahan di kelas. Kurasa sedikit menonton pertandingan tinju akan lebih baik, tak ada salahnya mengikuti perkembangan tren, bukan?
Aku melangkahkan kaki di koridor aula, sangat riuh melebihi konser nostalgia. Hura-hura bersahutan satu dengan yang lainnya. Aku melihat keberadaan Anna yang sibuk dengan ponselnya dikeramaian itu, aku menghampirinya dengan gesit.
"Hei! dasar kau, bisa-bisanya meninggalkanku dikelas" Seruku kepadanya yang membuatnya terperangah.
"Haha.. maafkan aku, aku terburu-buru setelah mendengar ada perkelahian, tentu saja aku tidak boleh ketinggalan informasi. Kau tahu? Dwi Kornel yang memulainya, kudengar ia menyukai Reon dengan gila sehingga pacarnya, Alvin, memukul Reon hingga babak belur" Jelas Anna dengan penuh gairah. Aku tahu Reon, anggota tim basket sekolah, sama seperti Dareen dan mungkin mereka dekat lebih dari hanya sebagai partner tim, aku pernah mendengar mereka sudah satu sekolah mulai dari taman kanak-kanak. Reon sangat tampan dan berkarisma, wajar saja banyak yang menyukainya, tak heran mengapa seorang Dwi Kornel juga suka padanya.
Seseorang di tengah kerumunan itu terjatuh hingga membuat beberapa penonton mundur memberi ruang, entah itu Alvin atau Reon. Aku memicingkan mataku, aku tersentak, bukan Alvin maupun Reon yang kulihat, tetapi Dareen! Seseorang dibelakangnya, Reon, terlihat memar tepat di tulang pipi, membantu Dareen berdiri atas pukulan Alvin. Dareen membalas pukulan Alvin dengan tendangan di perut serta hantaman yang dilayangkan pada wajah Alvin, ia seperti orang yang berbeda dengan Dareen yang di kedai kopi maupun Dareen yang mengembalikan novelku. Ia yang kulihat sekarang sangat beringas dan kejam, tak dibiarkannya Alvin membalas sedikitpun, ia menghujani pukulan bertubi-tubi bahkan ia tak peduli saat kepala sekolah dan guru keamanan datang. Reon terlihat berusaha memegangi Dareen dan menariknya agar berhenti memukuli Alvin dengan liar. Seseorang lainnya meraih Alvin yang sudah terkapar di lantai, ia meringis, hidungnya berdarah dan wajahnya memar. Disampingnya, terlihat Dwi Kornel berwajah sangat pucat dan ketakutan, aku mengerti bagaimana ia harus menghadapi situasi seperti itu akibat nafsunya yang tak terkendali. Anna menarikku pergi ketika kepala sekolah dan guru keamanan membubarkan kami.
Sudah 2 jam pelajaran berlalu dan tidak ada guru. Beberapa siswi membentuk lingkaran kecil di bagian belakang kelas, mereka bukannya sedang melakukan ritual pemanggilan arwah atau semacamnya, melainkan lebih ke hal sederhana seperti membicarakan sesuatu atau seseorang, singkatnya bergosip. Ketua kelas bahkan sedang bermain bola bersama siswa-siswa lainnya dibagian depan papan tulis yang semakin jelas menunjukkan bahwa tidak akan ada guru yang akan datang hingga jam pelajaran berakhir. Masih ada satu jam sebelum pulang, aku memutuskan untuk mengisinya dengan membaca novel terjemahanku yang belum sempat habis kubaca waktu itu. Suara berisik kelas membuyarkan fokusku, aku tak dapat berkonsentrasi dengan suasana seperti ini. Kurasa membaca di rooftop akan sangat menenangkan, jika saja tidak ada orang yang mengganggu tempat itu. Aku tak tahan lagi, kuputuskan untuk memeriksa rooftop, aku akan pergi jika ada orang lain disana. Aku menelusuri koridor menuju rooftop. Sangat sepi, wajar saja karena pelajaran sedang berlangsung di kelas-kelas lainnya, dengan begitu sudah dipastikan bahwa tidak akan ada orang di rooftop. Aku melangkahkan kaki pada tangga terakhir, aku memastikan tempat itu kosong, tapi ternyata aku salah. Ada seseorang disana, ia duduk dengan bersandar pada tepian rooftop. Kepalanya menunduk, penampilannya sangat kacau, aku berpikir ia butuh waktu untuk sendiri dan kuputuskan untuk pergi.
"Kau ingin pergi?" Sapa seseorang sesaat setelah aku membalikkan tubuhku. Aku memalingkan wajahku, anak lelaki itu mendongak, ia seseorang yang kukenal.
"I-iya" Ucapku terbata-bata, "Kupikir kau butuh waktu sendiri, jadi aku akan mencari tempat lain saja" Ujarku lagi. Ia tersenyum simpul dan berdiri seraya membersihkan pakaiannya yang kotor akibat debu lantai rooftop. Kulihat sudut bibirnya terluka, sepertinya hadiah dari perkelahian tadi pagi.
"Kau tetap disini, aku akan pergi. Lagipula, ini sudah menjadi tempatmu bukan? Aku tak akan merebutnya" Ujarnya. Aku merasa sekumpulan rudal ditembakkan ke arahku, aku tak pernah mengklaim tempat ini, apakah kelakuanku membuat orang menjadi salah sangka? Tidak, aku akan mengubah pemikiran itu.
"Apa? konyol, tetaplah disini jika kau mau. Duduklah" Ucapku sembari berjalan ke arahnya, aku duduk tepat disebelahnya. Ia menatapku dengan heran kemudian kembali duduk dengan kaki yang disejajarkan dan tangan kanan diatasnya, tangan kirinya mengacak-acak rambutnya sendiri. "Kau tak apa? Bibirmu sepertinya buruk" Ujarku seraya membalikkan halaman novel.
"Ini hanya luka kecil, aku bahkan pernah mendapat yang jauh lebih buruk dari ini" Ujarnya meremehkan.
"Kudengar kau memukul Alvin dengan keras" Ucapku lagi.
"Kau melihatnya? Harusnya aku mengirimnya dengan cepat ke neraka" Ujarnya terkekeh, dari nada bicaranya aku tahu ia bersungguh-sungguh.
"Hanya karena seorang gadis?" Tanyaku tak menyangka. Ia menatapku seolah-olah aku salah bicara.
"Kau pikir aku melakukannya karena pacarnya menyukai Reon?" Ia menghela nafas panjang, "Bukan, bukan hanya itu. Lebih dari itu, aku membencinya" Ujar Dareen, ia berbicara sangat tenang namun gejolaknya tak dapat ditutupi. Aku tahu ia sangat kesal, siapa yang tidak sakit hati saat sahabatnya dipukul babak belur oleh orang lain. Namun sepertinya ada hal lain yang membuatnya sangat liar, sesuatu yang tak dapat didefinisikan olehnya, sesuatu yang sangat rapat terkunci didalam dirinya, bahkan matriks dan algoritma tak dapat membuktikan keberadaannya.
"Kau pandai melukis bukan?" Tanyanya dengan bersemangat. Aku terkejut, aku menatapnya dengan heran seolah tak percaya bagaimana ia mengetahuinya. Bahkan ibuku saja tidak mengetahui bakatku.
"Aku melihat banyak sekali lukisan kecil di belakang novelmu waktu itu, aku ingin kau membantuku. Ayolah, ini sangat mudah" Ujarnya lagi penuh semangat, aku benci saat ia mulai menatapku berbicara, aku hanya tak dapat mengendalikan kemerahan diwajahku.
Hmm, aku sangat bingung dengan kepribadian anak ini, ia mampu mengubah image-nya hanya dalam beberapa detik saja. Entah mengapa aku merasa begitu akrab dengannya padahal baru sekitar dua pekan yang lalu kami mulai berbicara satu sama lain, tentunya sejak pertemuan tak terduga di kedai kopi waktu itu. Lagipula, apa yang ia harapkan dari anak perempuan aneh sepertiku membantunya? Dia, benar-benar tak dapat diprediksi.
KAMU SEDANG MEMBACA
I (don't) need u
Random[SORRY AUTHOR STUCK] Ivy, seorang gadis remaja labil yang tak pernah mendapatkan perhatian. Hanya tinggal berdua dengan ibunya yang bisa dibilang workaholic membuatnya melalui berbagai hal sendirian, hingga ia bertemu dengan seseorang yang mampu men...