01. Mendung

44 4 0
                                    

Narekha mendongak, menatap ke atas langit. Awan abu-abu perlahan bergerak menyelimuti langit. Mendung, mungkin nanti malam akan ada hujan.

Ramai orang berlalu-lalang di koridor kampus lantai dua. Narekha dan yang lain baru saja selesai mengikuti kelas terakhir untuk hari ini. Gadis itu membuka ponselnya, melihat notifikasi yang tidak sempat ia lihat saat berlangsungnya kelas tadi. Hanya ada pesan dari Ardika, yang isinya memberi tahu bahwa nanti malam akan mampir ke indekos Narekha.

Hidup sendirian di kota besar adalah sebuah tantangan bagi seorang Narekha Januar. Tidak, Narekha bukan dari kampung. Ia berasal dari Kota Kembang yang memiliki banyak keindahan dan kenyamanan—setidaknya untuk beberapa orang. Narekha menghabiskan 18 tahunnya sebagai anak rumahan. Selalu berada di zona nyaman di bawah atap keluarganya. Walau anak sulung dengan satu saudari, Ayah Narekha seringkali memanjakan Narekha. Hingga akhirnya gadis itu mendaftar kuliah di kota besar agar mendapatkan ilmu dan melatih bagaimana cara bersosialisasi di dunia yang luas ini. Namun, sifat yang sudah tertanam lama tentu sulit untuk ditinggalkan. Terlebih karena Narekha adalah perantau, banyak hal yang ia tidak ketahui.

Beruntung Narekha punya Ardika. Ardika adalah pengusaha properti yang baru memulai karir sejak lulus tahun ini. Keduanya mengambil jurusan Manajemen di universitas yang sama. Bedanya, Narekha masih menjalani semester 5 sekarang.

Pemuda tersebut bak berlian langka yang tidak sengaja Narekha temukan. Narekha bertemu Ardika dulu, ketika mereka masih di bangku sekolah menengah atas. Di kota Narekha, saat Ardika sedang liburan. Di sebuah danau tenang, tempat Narekha duduk di bawah pohon sembari menggambar di buku sketsanya. Karena ada Ardika, Narekha berani memutuskan untuk menimba ilmu di kota ini. Ardika sangat berharga bagi Narekha. Ardika yang mencarikan tempat tinggal Narekha, menyiapkan segala hal yang Narekha butuhkan, menjadi sosok yang Narekha datangi saat ia kebingungan di kota ini.

"Ikut gak, Na? Billiard dulu ntar malem minum bentar." Kathrine menghampiri Narekha yang sedang berdiri di ujung balkon.

Narekha menoleh, menatap gadis berambut bob pendek dengan pipi gemuk menggemaskan itu. Kathrine adalah salah satu teman angkatan terdekatnya. Narekha berpikir sejenak. Ia ingin ikut, tetapi dirinya harus hemat untuk pengeluaran bulan ini. Satu kali pesta kecil lumayan bagi Narekha.

Narekha menggeleng, "Nanti malem Ardika mau ke kos," jawabnya sembari tersenyum, menggunakan nama Ardika agar Kathrine mengerti. Padahal Ardika sendiri pasti tidak masalah jika Narekha hendak bergaul, malah akan Ardika antar-jemput jika bisa. "Kalian ajaa, nanti aku ikut yang besok-besok." 

"Oh gitu~" Kathrine memasang wajah menggoda. "Yah, kalau urusan kak Ardika serem, kita gak ada yang berani, haha." Teman-teman Narekha memang sudah tahu sosok Ardika.

"Dia gak serem, Kath." Balas Narekha terkekeh. 

"Iya kalau ke kamu, ke orang beda lagi! Ya udah, aku sama yang lain duluan ya."

Kathrine pergi menyusul yang lain di bawah. Narekha melihat ke arah jam tangan yang tertaut di tangan kirinya. Ia baru ingat tadi siang ia melewati makan siang karena sibuk mengerjakan tugas. Sekarang perutnya meronta-ronta minta diberi asupan. Di sekitar kampus banyak kedai, Narekha akan makan terlebih dahulu sebelum pulang.

Narekha melangkahkan kakinya keluar kampus. Untung tadi pagi sarapan dua butir telur rebus dan onigiri dari supermarket yang lupa ia makan kemarin. Jadi bisa menahan lapar sampai sekarang. 

Jarak yang ditempuh tidak begitu jauh namun Narekha merasa lelah. Dadanya kembang kempis. Akhirnya, gadis itu tiba di sebuah warung bakso mie ayam terbuka karena tidak mau berjalan lagi. Tadinya ia merasa kuat, saat dijalani ternyata Narekha tidak sanggup.

"Mie ayam pake bakso 1, Bu. Makan di sini, yaa." Setelah memesan Narekha duduk di ujung dekat jalan, agar tidak gerah.

Angin alam yang dingin berhembus menerpa tubuh Narekha. Langit masih mendung, Narekha harap tidak turun hujan dulu sebelum ia sampai di indekos. Ia duduk membelakangi jalanan, menundukkan kepalanya ke meja, menenggelamkan pandangan, bertumpu pada kedua sikunya.

NilakandiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang