6.Yuda

228 57 10
                                    

Bab.6
Yuda

Yulia membuka pintu kamarnya perlahan-lahan, berharap Denzel belum bangun tidur. Hari masih gelap dan dia berharap dia bisa memasak segera dan menyelesaikan

"Apa yang kau lakukan, mengendap-endap seperti pencuri di sana?"

Deg!

"Eh, tidak." Yulia gelagapan berusaha mencari alasan. Pagi ini Denzel terlihat baik-baik saja dengan wajah bantalnya dan juga tak ada yang nampak aneh.

Merutuki dirinya, Yulia seolah terlalu naif. Mungkin hanya dirinya yang terlalu memikirkan ciuman semalam itu. Mungkin bagi Denzel yang terbiasa hidup bebas, ciuman seperti itu bukanlah hal tabu dan aneh. Mungkin juga ciuman bagi Denzel seperti halnya minum air mineral yang hanya dianggap sambil lalu.

Menekan rasa malu dan juga kenaifannya, Yulia hendak beranjak pergi ke dapur.

"Eh,"

Yulia terkejut saat tubuhnya mendadak ditarik dan kemudian terhempas ke dalam pelukan hangat Denzel.

"Wangi." Denzel mengendus kepala Yulia dan kemudian memeluk erat perempuan itu.

"Hei. Denzel ... lepaskan. Apa yang kamu lakukan? Aaa ...."

"Terima saja gadis nakal. Siapa yang menyuruhmu melukai saudaraku?"

"Saudaramu yang mana? Aku tidak tahu kau punya saudara." Yulia panik dan kebingungan. Dia tidak merasa pernah bertemu saudara yang Denzel maksud.

"Benarkah? Bagaimana bisa kau sudah lupa ingatan. Semalam kau memukul saudaraku hingga kesakitan. Pagi ini saja rasanya masih terasa. Aku akan membalaskan dendamnya padamu."

"Aaa ... tidaaak!" Yulia memekik merasakan geli di pinggang dan menggeliat mencoba melepaskan diri. Tapi tenaganya kalah besar dengan tenaga laki-laki. Dengan tidak tahu malu, Denzel terus membelitnya seperti ular.

"Lepas."

Setelah puas, Denzel melonggarkan pelukannya dan melihat Yulia lemas karena terlalu banyak memberontak. Dengan kesal, Yulia menginjak kaki sang majikan dan melarikan diri begitu sang majikan kesakitan.

Sukurin!

***

Di lain tempat Yuda menemani Asih berbelanja dengan kedua anak Asih. Wanita itu tadi merengek ingin ditemani mencarikan baju seragam sekolah anak-anaknya ke pasar. Dengan agak berat hati, Yuda menuruti permintaan Asih.

Bagaimana tidak berat jika dia sudah tidak memegang banyak yang lagi. Masak iya nanti Asih minta sesuatu dia tidak bisa membelikan.

Aih!

Apa dia minta kiriman Yulia saja? Tapi kemarin itu Yulia sudah mengatakan jika dia belum gajian. Coba dia chat saja Yulia siapa tahu masih punya simpanan.

"Assalamualaikum, Dik. Maaf adik masih ada simpanan tidak? Ini Mas lagi pusing, Laras minta dibelikan baju seragam sekolah baru. Kalau adik tidak punya pasti bisa kan pinjam ke majikan adik dulu." Yuda membawa nama adiknya sendiri sebagai alasan.

Yuda tersenyum membaca ulang pesan teks yang baru dia ketik. Tanpa menunggu lagi, Yuda mengirim pesan itu ke nomor Yulia, berharap istrinya bisa segera membalas dan juga mengirim uang.

"Mas ...." Yuda tergagap menerima tepukan di lengannya. "Mas lagi ngapain sih dari tadi malah sibuk main hape. Ini lho Asih tanya cocok nggak bajunya sama Sisi?"

"Maaf Sih, ini ada pesan dari temenku. Ngajak nongkrong."

"Nongkrong kok ngajak-ngajak, nongkrong ya sendiri dong di WC. Gimana sih temennya Mas Yuda ini."

"Bukan nongkrong yang itu, Sih. Kumpul-kumpul itu lho."

"Oh, kirain." Asih mengangguk mengerti. "Ini gimana, Mas?" Asih kembali bertanya.

Yuda menoleh dan melihat putri Asih mengepaskan baju putih ke badannya. Pasar yang mereka kunjungi termasuk pasar tradisional dan tidak ada kamar pas seperti yang ada di mall. Jadi pembeli harus puas dengan menempelkan baju ke tubuhnya tanpa mencoba.

"Lumayan." Yuda berkomentar santai. Sebenarnya tidak terlalu antusias.

"Yah kok cuma lumayan sih, Om? Sisi suka lho bajunya."

"Berapa ini, Sih harganya?" Yuda mengabaikan Sisi dan bertanya kepada Asih.

"Seratus tiga puluh ribu, Mas."

Yuda terbelalak. Cek, di pasar tradisional saja kenapa mahal sih? "Nggak beli online saja, Sih?" bisik Yuda gelisah.

Asih melotot tidak suka. Sudah jauh-jauh datang ke pasar kenapa malah ujung-ujungnya laki-laki ini menyarankan beli online?

"Mas lihat tadi di aplikasi belanja murah-murah lho." Yuda kembali berbisik pada Asih.

"Tapi kan kalau belanja online belum tentu barangnya seperti yang dipajang di gambar, Mas. Ini Sisi juga sudah suka. Repot kalau anak itu ngambek." Asih memicingkan matanya mengamati gerak-gerik Yuda yang mulai aneh. Ciri-ciri saat Yuda tengah kehabisan uang.

Yuda berdecak. "Tawar lah, Sih. Biasanya kan perempuan itu pintar nawar barang. Kalau bisa jangan lebih dari tujuh puluh ribu lah."

Ha! Asih tak percaya mendengar komentar Yuda. Ini laki-laki kenapa jadi pelit begini sih? Apa jangan-jangan benar dugaannya?

"Mas kenapa sih? Ini sudah Asih tawar lho. Tadi awalnya seratus lima puluh."

Yuda merebut baju seragam dari tanggal Sisi dan mengajar mereka semua ke tempat parkir di mana dia memarkir mobilnya.

"Mas lagi mepet ini uangnya." Sambil mengamati sekeliling, akhirnya Yuda mengaku juga. Sebenarnya dia malu karena memang terdengar tidak gentle. Tapi mau bagaimana lagi.

"Mas kan punya toko, istri Mas juga tiap bulan kirim uang. Kok bisa Mas nggak ada duit?"

"Kan ini baru pertengahan bulan, Sih. Yulia belum gajian, toko juga sekarang tidak begitu ramai. Banyak saingan." Yuda meremas kepalanya frustasi.

"Bu, jadi nggak ini sisi beli baju?" Di sisi lain, anak perempuan asih yang pertama bertanya. Dia sudah kesal karena tidak jadi membeli baju yang tadi dia lihat padahal dia sudah suka.

"Nanti, Si." Asih menoleh sejenak lalu kembali menatap Yuda. "Mas, Mas kan sudah janji katanya bakal membahagiakan aku dan anak-anak."

"Iya, Sih. Iya ... tapi ...."

"Udahlah, kita pulang aja daripada malu." Asih menggandeng tangan Dimas, si kecil berusia tujuh tahun ke arah mobil Yuda. Begitu juga Sisi yang mengikuti langkah ibunya dengan wajah gelap karena marah.

"Aduh ... Sih." Dengan frustasi, Yuda mengacak rambutnya. Yuda melirik ponselnya yang masih sepi, kembali dia merutuki Yulia karena belum juga membalas pesannya.

Baru saja Yuda hendak membuka pintu mobil, ponselnya berbunyi. Terpajang nama istrinya yang kini ada di negri seberang.

"Wa'alaikumussalam, Mas. Yuli tidak punya uang lagi. Yang kemarin adik juga belum bayar. Malu Mas. Memangnya Mas tidak jaga toko hari ini?"

Ini perempuan kenapa malah banyak tanya sih? Yuda semakin kesal karena tidak punya banyak uang lagi. Apa yang harus dia lakukan kini?

***

Beloved Thief Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang