18. Klarifikasi

20.5K 2.2K 210
                                        

Happy reading 🤗
.
.
.

"A-aku kayaknya lembur. Nggak bisa pulang cepet."

"Bisa ditunggu, kok."

"Mm ... kayaknya aku mau nginep sini aja. Kita ngomongnya lain kali aja, boleh?"

"Kamu lembur aja dulu. Jam berapa pun kamu selesai, Abang tunggu. Nanti kita kelar ngomong, Abang pulang."

"Jangan. Abang kan baru selesai operasi. Pasti capek. Mending–"

"Nginep di sini nggak buruk juga. Ya udah Abang–"

"AKU NGGAK JADI LEMBUR! Nggak jadi nginep juga. Pulang sekarang bisa, kok. Bisa. Okay, AYO!"

"Itu bentak?"

"ENGGAAK! Mm ... enggak, itu semangat, Abang. Okay?"

"Hahaha. Okay, ayo pulang. Abang nebeng mobil kamu."

"Hah?!"

"Apa?"

"Mo-motor ... Abang?"

"Dititip sini aja. Aman, kan? Ada satpam, kan? Besok Abang ambil. Okay, yuk pulang."

Pusing. Aku itu pusing sama Bangcat yang apa-apa itu selalu maksa, dan bodohnya aku tidak bisa melakukan apa-apa untuk melawan. Bahkan sekadar pulang lebih dulu dan kabur sebelum dia sampai butik pun, aku gagal. Iya, aku sudah berusaha kok. Setelah gagal kabur juga usaha biar dia pergi, tapi ternyata dia jauh-jauh lebih tangguh dariku yang bisa menciutkan dua wanita sok dewasa yang sikapnya macam bocah. Bangcat selalu mengubahku jadi kelinci penakut. Aduh makin pusing kan!

"Mampir makan dulu?"

Aku menoleh, bertatapan dengan Bangcat yang tetap menatap ke arah jalan. "Enggak."

"Tadi katanya belum makan, kan?"

Aku menggeleng. "Nggak apa-apa."

"Diet?"

Aku diam.

"Ngapain diet segala sih, Dek? Badan kamu udah kecil."

Aku mencibir dalam hati. Persis ceramahnya Bangbi! Mereka jelas tidak tahu rasanya diejek karena punya badan berisi. Ya iyalah, mereka kan sejak lahir sudah diberi anugerah berupa tubuh ideal dan bagus yang jadi pujaan para wanita.

Bangcat tidak bicara lagi, dia kembali mengemudikan si Miko dengan kecepatan sedang. Hanya lagu dari radio yang mengisi keheningan. Kupikir kami akan langsung pulang, nyatanya Miko malah diberhentikan di depan sebuah warung bakmi.

"Ayo turun."

Aku menggeleng. "A-abang aja kalau mau makan."

"Kamu?"

"Aku nunggu di sini."

Kedua alis tebal bertaut. "Nggak ada! Ayo turun."

"Enggak."

Dia berdecak. "Abang nggak malu kalau harus gendong kamu masuk."

"Nggak mau, Abaang."

Aku membuang muka. Biar saja kali ini aku merengek. Aku sebal. Dia itu jujur tidak, sih? Katanya suka aku. Katanya naksir. Tapi kok tetap saja jadi pemaksa? Harusnya ngomongnya juga yang lembut, seperti tadi siang. Malah balik galak lagi. Sukanya mengancam!

"Okay." Aku mendengar dia menghela napas berat. "Abang turun dulu."

Pintu terbuka dan aku bisa melihatnya melangkah masuk ke warung yang tak terlalu besar itu. Sebenarnya aku juga sedikit heran sih, kenapa Bangcat tidak mendebat seperti biasa. Tapi ya sudah, malah itu bagus kan. Tak sampai sepuluh menit menunggu, Bangcat sudah kembali ke mobil dengan bungkusan plastik yang langsung ditaruh di jok belakang. Aku menatapnya bingung.

Aww-dorable You (REPOST)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang