04

19 1 0
                                    

Pertemuan dengan Raja dan  para petinggi kerajaan membuat Ro Tien lelah, walau ia memiliki jabatan yang tinggi bahkan setelah dirinya diberi anugerah penghargaan berupa sekotak emas batangan yang berjumlah 30 batang sebagai rasa terima kasih sang Raja terhadapnya, atas jasanya yang telah menyelamatkan nyawa putra mahkota dan Putri Han yang merupakan putri satu-satunya yang amat di sayangi oleh sang Raja. Akan tetapi ia tidak bahagia akan hal itu, ia cukup terkejut karena hal ini tidak pernah ia alami di kehidupan sebelumnya.

Ro Tien bergegas menuju Paviliun Utara, tempat yang dikatakan oleh putri Yun Xi bahwa ia di minta untuk datang. Beruntung ia tidak harus bertemu kembali dengan manusia itu, seseorang yang sangat ingin ia lenyapkan. Ia tersenyum ketika melihat siluet gadis ceria yang saat ini tidak tenang di tempat duduknya, tampak seseorang yang belum pernah ia temui selama ia kembali bernapas.

"Kau datang, panglima!" seru Yun Xi riang. Ia beranjak dari duduknya dan menghampiri pemuda yang telah membuatnya tertarik tapi sebuah tarikan membuat langkahnya terhenti.

"Apa kau menyukainya?" tanya pria yang sejak tadi duduk diam sambil membaca bukunya.

"Siapa? apakah maksudmu panglima Xiau? ya ... aku menyukainya tapi tidak lebih dari sahabat." Gadis itu berhasil melepaskan pegangan pria itu dan melanjutkan langkahnya.

"Maaf jika membuat Tuan putri menunggu terlalu lama," ujar Ro Tien membungkukkan tubuhnya.

"Jangan sungkan begitu, kau sudah seperti kakak bagiku. Jadi anggap saja aku sebagai saudarimu dan berhenti bersikap sopan," kata Yun Xi sambil menarik tangan pemuda itu lalu mendudukkannya tepat di hadapan pria yang asing baginya.

Ro Tien menatap pria itu tak berkedip, sesaat kemudian ia tersentak ketika mengingat siapa pria yang kini duduk tenang di hadapannya walau ia yakin pria itu tahu jika sedari tadi dirinya tengah diperhatikan. Lantas pemuda itu segera berdiri dan memberi hormat hingga ia harus bersujud karena merasa telah berbuat yang tidak sopan.

"Maafkan kelancangan hamba, Yang Mulia Pangeran Ke Tujuh!" serunya sambil berulang kali menundukkan kepalanya membuat Yun Xi terkikik geli melihat tingkahnya.

"Apa yang kau tertawakan, Tuan putri? tanya pria itu sembari menutup bukunya.

"Tidak ada apa-apa, pangeran." Sang putri menutup mulutnya lantas turut memberi hormat sambil menahan tawanya.

"Berdirilah, Panglima Xiau."

"Pangeran, hamba pamit undur diri. Hamba baru ingat memiliki beberapa pelajaran yang harus diselesaikan," ujar Yun Xi. Ia segera pergi begitu saja meninggalkan Ro Tien dan pangeran ke tujuh.

Ro Tien duduk dalam ketidaknyamanan, ini pertama kali baginya duduk bersitatap langsung dengan pangeran ke tujuh. Karena dikehidupannya sebelumnya ia hanya sekali bertemu dengan beliau, yaitu di saat ia harus membunuhnya di medan pertempuran dan wajah sang pangeran saat itu tidak terlihat jelas. Tidak seperti saat ini, wajah tampan itu tampak berwibawa dengan rahang yang tegas.

"Sampai kapan kau akan terus memandangiku?" tanya pangeran ke tujuh, lama-lama ia merasa risih karena sejak tadi ia tahu jika diperhatikan.

"M-maaf ka-karena membuat pangeran tidak nyaman, h-hamba hanya sedang menunggu apa yang ingin pangeran sampaikan pada hamba hingga mengundang untuk bertemu."

"Sepertinya adikku telah mengerjaimu, panglima Xiau. Untuk itu aku minta maaf," kata pangeran ke tujuh. Ia menatap langsung bola mata jernih sang panglima membuat suatu getaran aneh dalam dirinya muncul, ia berdeham guna menghilangkan efek tak nyaman yang ia rasakan.

"Seharusnya hamba tahu itu, baiklah ... hamba pamit undur diri." Ro Tien beranjak dan berbalik, tapi sebuah suara menghentikan langkahnya.

"Terima kasih karena kau telah menyelamatkan nyawa adikku, kuharap kau bersedia untuk menjadi temanku."

( End )   Hidup kembali hanya untuk balas dendam Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang