Jevano sudah menjalani aktivitas sebagai mahasiswa teladan dengan jadwal yang padat, setelah lima hari penuh berbaring di atas kasur karena demam. Selama sakit, dia tidak bisa melakukan apa pun. Bahkan menopang tubuhnya saja tidak kuat.
Kepadatan jadwalnya yang bisa dibilang ekstrim itu jelas saja memancing kekhawatiran orang-orang sekitarnya. Terutama Aileen. Gadis itu bahkan selalu mencak-mencak kalau pacarnya melewatkan jam makan, terutama jam sarapan.
Sekarang Jevano berada di ruang sekretariat, netranya fokus pada layar laptop. Membaca dan memahami ulang materi yang akan dia presentasikan untuk rapat hari ini. Tidak jauh darinya ada Marcel dan Hendri yang sedang berdiskusi. Entah diskusi apa dia tidak peduli. Kepalanya sudah pening dengan urusan himpunan yang tidak ada habisnya.
"Jev, rencana perubahan jadwal rapat jadi?"
Jevano mengalihkan pandangan. Ada Junanda yang baru saja masuk, berjalan mendekatinya. "Nggak usah dirubah. Jadwalnya tetep sesuai rencana awal. Kan gue udah ngomong kemaren di grup."
"Tapi, lo baru sembuh, Jev. Rapat pasti gak cukup sejam doang."
"Gue udah sehat. Gak apa-apa," imbuhnya. "Anak-anak ingetin lagi di grup, rapat sejam lagi."
"Iye, Pak. Siap!" respon Juna sembari menyalakan ponsel yang digenggam.
"Yang mimpin rapat mending elo aja, Jun," sahut Marcel yang sekarang sudah rebahan di lantai beralas karpet. "Jevan masih recover, jangan dibiarin buat mimpin rapat dulu."
"Gue cuma demam, anjir. Udah sembuh juga. Kenapa gue diperlakuin kayak orang sakit keras, sih?" balas Jevan tidak terima.
"Lo demam seminggu. Ngampus lagi juga baru kemaren. Nggak usah sok keras, tenaga lo jangan dikorsir habis-habisan."
"Enggak ada. Pokoknya gue yang mimpin rapat. Itu udah jadi tanggung jawab gue. Gue udah baik-baik aja, Cel."
"Kalo pacar lo tau, apa gak marah dia?"
"Urusan hima nggak usah bawa-bawa Aileen."
"Udah, nggak usah ribut," sela Juna, ia kemudian menatap Jevano. "Tetep lo kok yang pimpin rapat."
"Kok lo‒"
"Gue percaya dia bisa. Kalo ada apa-apa nanti gue ambil alih. Lagian elo kayak nggak tau karakter Jevan aja, batu."
Marcel menghela napas panjang, dia meraih tas yang tidak jauh darinya untuk dijadikan bantal.
Sementara Juna menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi yang ia duduki. Dia sedikit melirik Jevano yang sudah kembali menatap layar laptop. Sebenarnya Juna agak kasihan melihat kondisi ketua himpunannya, tapi mau gimana lagi? Anaknya sendiri yang memaksakan diri. Juna tahu betul bagaimana perangai Jevan, dia enggan berdebat.
Rapat tengah tahun sudah dimulai. Juna duduk sejajar dengan Jevano. Memperhatikan presentasi tentang progres masing-masing departemen. Tentang program kerja yang sudah dan belum terlaksana, hambatan, dan sebagainya. Juna berkali-kali mencuri pandang ke arah ketuanya, berkali-kali pula bertanya, "Lo gapapa?" yang langsung dijawab anggukan oleh Jevan.
Rapat berjalan lumayan lancar, walau ada beberapa perdebatan yang cukup membuat Jevano pusing. Tapi, dia berhasil mengambil alih dan memberi jalan tengahnya. Kepalanya sedikit pening saat mempresentasikan berbagai macam hal selama setengah periode kemarin. Juna membantunya, menambahkan beberapa hal yang sempat terlewat olehnya.
Setelah kurang lebih empat jam mendengar dan memperhatikan penjabaran anak buahnya, Jevano akhirnya bisa sedikit bernapas lega. Dia menyandarkan tubuhnya pada sandaran bangku yang diduduki. Memijat batang hidungnya yang terbilang mancung itu pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
[NEW VERSION] Last Sojourn
Romance[SEDANG PROSES REVISI] "Kamu itu rumah aku, Ai. Tempat aku pulang. Aku cuma mau sama kamu, sampe Tuhan ngambil nyawaku." Aileen mau percaya, tapi belakangan pacarnya itu bertingkah aneh. Jevano berusaha membuktikannya. Bahkan dia benar-benar membukt...