1 - Ketahuan

14 0 0
                                    

MATAHARI telah menampakkan dirinya diatas. Suara alarm dari sebuah ponsel berbunyi lantang. Namun, hal itu tidak berhasil membangunkan si pemilik. Ia justru malah mematikan alarm itu dan kembali menutup selimutnya.

Cklek!

"Eh, kebo, bangun kale!" seru seseorang bersuara berat.

Perempuan yang sedang tidur itu malah mengomel. "Mmph ... Apa, sih, Mas! Dira ngantuk tau," omelnya. Tetap tidak beranjak dari tempat tidur bermotif garis-garis itu.

"Hmm ... pasti abis begadang. Liat, jam berapa sekarang? Hari ini hari pertama lo sekolah setelah sekian lama libur! Buru ah, cepet, mandi!" Laki-laki bernama Dhika itu menggoyang-goyangkan tubuh Dira. Perempuan itu pun langsung membuka selimutnya dan duduk di tepi kasur sambil memegang kepalanya.

"Ya ampun, pusing banget! Mas Dhika, izinin Dira, ya ...," pinta Dira sambil berpura-pura memasang puppy eyes.

Dhika berdecak melihat perlakuan sang adik. "Eeh, gak ada izin-izinan! Hari pertama juga, ayo, gue udah panasin motor, tuh!"

Dengan langkah gontai, Dira berjalan menuju lemari dan mengeluarkan baju seragam SMA-nya.

"Nah, cakep, selesai juga lo mandi. Yuk, berangkat!" seru Dhika ketika ia melihat adiknya turun dengan keadaan rapi. Lelaki itu mengambil tasnya lalu pamit. "Mah, berangkat dulu, ya!" Ia menyalami seorang paruh baya yang sedang menggoreng kentang itu.

Dira melakukan hal yang sama, dan mencium pipi paruh baya itu. "Mah, Dira berangkat ya, bye!"

Perempuan paruh baya bernama Rina itu menciumi balik pipi anaknya. "Hati-hati dijalan, ya, kalian! Mas Dhika! Jangan ngebut-ngebut, bahaya!"

Dhika tertawa cengengesan. "Mas Dhika juga tau kalo ngebut-ngebut bahaya, tenang, kan ada ini, nih." Ia melirik kearah Dira sambil mengangkat satu alisnya dengan maksud menunjuknya.

"Iya, Mah, nanti Dira cubit, tenang aja."

Mereka semua yang ada di rumah minimalis berwarna putih itu tertawa. Mengingat telah banyak waktu yang sudah dihabiskan, Dhika langsung menyuruh Dira untuk naik ke motor tingginya itu dan bergegas untuk melajukan motornya keluar pekarangan rumah ke sebuah sekolah berstatus negeri di daerah rumahnya itu.

Perlu diketahui, Dira merupakan siswi pindahan di sekolah tersebut. Ia memutuskan untuk pindah dari sekolah lamanya karena lokasinya yang begitu jauh membuat Dira kerap kelelahan setelah pulang sekolah. Di sekolah negeri ini lah, sekolah yang ditempatkan kakaknya, Dhika.

Tak berselang lama, kedua kakak-adik tersebut telah sampai di parkiran motor sekolah. Dira menatapi sekelilingnya dengan mata berbinar.

"Mas, bagus banget pemandangan disini! Gedung-gedungnya keliatan dari sini," timpal Dira layaknya anak kecil. Dhika tertawa mendengar perkataan adiknya itu.

"Yeu! Tadi aja, gak mau sekolah, Mas Dhika, izinin Dira, dong, pus- ..." Belum saja lelaki tinggi berbadan lumayan besar itu melanjutkan omongannya, ia sudah mendapatkan cubitan yang keras di lengannya.

"Udah ngeledek akunya?" Dira melipat kedua tangannya di dada.

"Belom," cibir Mas Dhika sambil berlari kecil yang otomatis membuat Dira mengejarnya.

"Mas Dhika, nyebelin!"

Memasuki bagian halaman sekolah, Dira tidak berhenti mengagumi pemandangan yang ada didepannya. Ternyata gedung-gedung tinggi itu terpampang jelas dari halaman sekolah. Lapangan luas di tengah-tengah gedung sekolah tersebut membawa kesan lega.

Dhika melambaikan tangannya ke depan wajah Dira. "Heh, lo tunggu sini, ya, nanti wali kelas lo nyamperin. Gue kekelas ya, dah!" Dhika pergi meninggalkan Dira sendirian di depan ruang guru.

Benci untuk MencintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang