Perfect Senior 1

11 2 0
                                    

Kisah cinta di masa putih-abu memang mengesankan. Dan akulah yang menjadi peran utama dalam kisah percintaan yang rumit itu. Sekolah bukan hanya soal belajar dan berteman. Akan tetapi, pasti ada sekelumit cinta yang terselip di dalamnya.

Happy graduation, Kak! Selamat, ya! Kamu lulus dan akan meninggalkan sekolah ini. Kemungkinan, kita tidak akan pernah bertemu lagi. Hari ini, hari yang paling berharga untuk angkatan kelas XII. Acara perpisahan yang akan mengundang tawa dan air mata.

Kesempatan terakhirku untuk bisa bertemu. Maaf, selama ini aku menghindar dan sok gak peduli. Padahal sebenarnya, aku menyembunyikan rasa yang sama.

Namanya Revan, kakak senior yang berjuang mendapatkanku selama ini. Jujur, aku menyukainya. Suaranya yang lembut, tatapannya yang meneduhkan, dan aroma tubuhnya yang memabukkan. Aku menahan godaan yang sangat berat. Di balik rasa ingin memiliki, ada satu kenyataan yang menghalangi.

Di tengah keramaian, dia memberiku sebukat bunga. Kami saling berhadapan, beradu pandang, hingga ia mendekatkan bibirnya. Kak Revan berbisik, “Aku sayang sama kamu.”

Deg!

Mungkin, orang-orang yang menengok dari samping kanan, akan menganggap dia menciumku. Padahal tidak, hanya berbisik beberapa patah kata yang membuatku luluh.

Ah, akhirnya ... dia mengucapkannya.

Aku risi dengan tatapan orang-orang di sekitar. Guru-guru yang tampak memperhatikan, tersenyum seolah-olah berisyarat, “Ibu juga pernah muda.”

Posisi kami sangat dekat. Meski berada di keramaian, tapi dia tak memedulikannya. Seakan bumi hanya milik kami berdua. Akhirnya aku membuka mulut, “Kak, jangan di sini.” Begitu ucapku.

Aku membawanya ke lantai dua, di depan deretan kelas-kelas. Agak sepi di sini. Dan itu sebuah kesempatan baginya merapatkan tubuhku ke tembok. Kedua tangannya mengurungku agar tak lepas. Aku terlalu polos untuk posisi seposesif ini.

Aku mendorong dadanya pelan. “Kak, maaf ...,” lirihku.

“Lyla, aku benar-benar sayang sama kamu,” ucapnya dengan suara berat yang khas.

“Tapi, Kak ... aku punya pacar.”

“Iya, aku tahu. Aku cinta dan sayang sama kamu dengan tulus. Aku mau kok jadi yang kedua.”

Hatiku terenyuh. Sebegitu besar rasa cintanya hingga rela menjadi yang kedua. Padahal, aku hanya gadis biasa yang jauh dari kata sempurna.

“Aku gak mau ngecewain dia, Kak.” Aku tertunduk. Begitu berat mengucapkannya. Ya, dia yang menjadi kekasihku sampai sekarang. Tapi, aku sama sekali tak menyukainya.

“Gak apa-apa, aku mau jadi yang kedua.” Ucapannya terulang lagi.

Pikiranku berkecamuk. Masih ragu untuk menentukan pilihan. “Kak, masih banyak cewek lain yang lebih baik, lebih cantik dari aku. Lihat, mereka berbaris, berebut ingin dapatin Kakak.”

Manik matanya menatap lekat mataku. “Kalau aku maunya kamu bagaimana?”

Aku terbungkam. Tak dapat berkata apa-apa untuk saat ini.

“Ya sudah, aku gak memaksakan kamu menjawab sekarang. Kalau begitu, kamu mau gak jalan-jalan sama aku?”

Aku ragu. Tapi, aku tahu jelas bahwa dia orang yang baik. Selama beberapa bulan ini, dia selalu berusaha mengenalku lebih dekat, meski aku selalu menghindar.

“Boleh.” Aku mengangguk. “ke mana, Kak?” tanyaku.

“Makan es krim, mau?”

Akhirnya, kami benar-benar jalan berdua. Bagaikan mimpi, masih tak menyangka bahwa dia akan memperlakukanku seperti ini. Kak Revan tahu, aku cewek pemalu dan pendiam. Karena itu, aku malu mengungkapkan rasa yang sama.

Dia mengajakku menuju sebuah taman kecil dengan mengendarai motor. Masih terasa canggung, tapi aku memberanikan diri untuk lebih akrab.

Di perjalanan, kami banyak mengobrol. Tak terasa obrolan itu semakin hangat dan menghipnotisku hingga duduk lebih dekat dengannya. Tidak ada lagi jarak yang tersisa. Dia menarik tanganku pelan agar melingkar di pinggangnya.

“Aku suka kamu bersender di bahuku,” ucapnya.

Tadi, tak sengaja aku menempelkan dagu di bahunya saat mengobrol. Dan dengan mudahnya aku menurut. Posisiku dan Kak Revan, seperti Dilan dan Milea.

Sampailah kami di sebuah taman kecil dengan hiasan bunga dan ayunan. Aku masih belum banyak bicara, sampai di tempat yang lumayan sepi itu, dia menghadapku lagi.

“Aku boleh peluk kamu, gak?” tanyanya.

Hati itu tidak bisa dibohongi. Aku juga sayang sama Kak Revan. Dengan respons cepat, aku menjawab, “Iya.”

Dia memelukku erat, erat sekali seperti enggan kehilangan. Lagi-lagi, aku dibuat luruh dengan hangat dan aroma tubuhnya.

Aku benar-benar merasakan cinta yang sebenarnya. Kenyamanan dan sebuah ketulusan kasih yang tiada tara. Sampai dia melepas pelukannya, dengan posisi kami yang masih dekat. Dapat kurasakan desiran napasnya mengenai wajah. Begitu halus dan lembut.

“Aku boleh cium kamu?”

Tapi, kali ini aku menolak. Tak mungkin aku serendah itu dengan mudah menerima permintaan cowok.

“Aku belum pernah rasain—“

“Enggak, Kak!” Aku mendorong dadanya yang bidang dengan sedikit tenaga. Dia terus saja berusaha mengecup bibirku, tapi akhirnya dia menyerah dan meminta maaf. Aku tahu, dia khilaf dan berusaha melawan gejolak dalam dada.

“Ya udah, yuk, mau beli es krim, ‘kan?” tanyanya.

Aku pun mengangguk. Kami berjalan ke sebuah cafe yang dekat dari sini. Dia menggenggam tanganku, berjalan berdua sambil sesekali tersenyum. Ah, betapa bahagianya.

Sampai di cafe, dia memesan es krim lengkap dengan topping yang menarik di atasnya. Suasana di cafe begitu hangat. Alunan musik romantis, dan lampu-lampu kecil yang kerlap-kerlip. Terlebih, sosok cowok di depanku ini, begitu memesona. Terang lampu yang menyorotnya, membuat semakin tampan dan karismatik.

“Lho, Kakak pesan es krimnya satu?” tanyaku heran.

Dia mengangguk dengan senyum manis. “Iya, buat kamu aja. Aku gak suka es krim. Lihat cewek di depanku aja udah manis,” balasnya.

Aku tersipu malu sambil mengemut es krim rasa vanila. Iya, senyum Kakak juga manis. Aku sampai kemanisan makan es krimnya kalau sambil lihatin Kakak.

“Kamu makannya berlepotan gitu, sih.” Jari telunjuknya mengusap pinggir bibirku.

Aku hanya diam mematung dengan wajah polos.

“Lyla?” panggilnya.

Aku menoleh. “Iya, Kak?”

Will you marry me?”

What? Kak Revan lamar aku?

“Ah, Kakak bercanda, ya? Aku masih kelas sepuluh, lho! Haha,” balasku.

“Aku serius.”

“Ta-tapi ... hm, gimana, ya? Aku masih ragu, apalagi kita belum lama deket, Kak.”

“Jangan ragu. Aku serius mau nikah sama kamu. Aku juga udah punya pekerjaan di tempat kerja kakakku. Kamu mau gak ikut aku ke Sukabumi? Aku mau kenalin kamu ke mama.”

Aku jadi bimbang. Iya, dia udah lulus, tapi aku?

“Kakak tunggu aja sampai aku lulus,” jawabku.

Dia tersenyum. Kalau boleh jujur, aku ingin jawab ‘iya’. Tapi, mau bagaimana pun, aku tetaplah seorang wanita yang tidak boleh mudah percaya dengan ucapan lelaki. Bisa saja ucapannya hanya ‘bulshit’. Dan aku gak mau menyesal nantinya.

“Kakak gak mau es krimnya?” Aku membuka pembicaraan lagi.

Kak Revan menggeleng. “Enggak, buat kamu aja,” jawabnya.

“Ayo dong, Kak. Kakak yang beliin, masa aku yang makan semuanya.”

“Ya udah, ya udah, sini.” Aku menyuapinya, dan dia memakan es krim itu dengan senyuman di bibir.

Aku harap, kita selalu seperti ini, Kak.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 17, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Perfect SeniorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang