SATU

36 2 0
                                    

Cordova, 2017

Untuk ukuran pertama kalinya orang kampung ke luar negeri, gue rasa gue bisa banget bersombong ke segenap temen gue yang dulu selalu menganggap remeh. Dulu temen gue kalo main dikit ke Singapura aja sombongnya selangit. Tapi sayangnya di satu waktu gue juga ngerasa hal itu nggak perlu, gue nggak perlu membalas kesombongan mereka.

Emang di dunia ini banyak banget hal yang nggak kita sangka-sangka bisa terjadi sama kita. Dari gue kelas 2 SMA, cuma sebiji yang sampe sekarang tetep jadi temen gue. Fita namanya. Satu-satunya orang yang kalo gue ngomong dia mudeng. Gue juga nggak tau kenapa temen-temen gue yang lain se-illfeel itu ke gue sampe semua yang gue omongin—bahkan yang penting sekalipun, nggak digubris.

Gue bener-bener merasa dirundung. Tapi semenjak Sisy yang waktu itu memang anak baru pindah juga nggak punya temen di kelas gue, akhirnya gue temenan baik sama dia. Kami sepemikiran, menganggap semua yang ada di lingkungan kami saat itu toxic.

Sampe akhirnya gue lulus dengan baik dan masuk perguruan tinggi favorit tanpa tes. Apakah mereka berubah? Oh, ya tidak. Malah makin menjadi-jadi segala kebencian itu. Gue bahkan hampir bisa merasakan tekanan seorang selebgram yang dihujat habis-habisan di akunnya.

Orang tua lo nyogok sekolah kan biar lulus bisa dapet predikat? Nyogok universitas kan biar lo diterima? Bayangin kalo yang kaya gitu muncul di tiap postingan Instagram seorang gue, yang cuma orang biasa, yang nggak tau letak salah gue dimana.

Tapi sudahlah, ini perkara lawas. Gue hanya tiba-tiba teringat mereka. Dan yang perlu gue lakukan sekarang adalah pesen taksi. Serius, gue sama sekali nggak merasakan jet lag atau apapun. Mendarat di Bandara Kordoba pukul 8 pagi dengan mulus, berarti perjalanan selanjutnya juga harus mulus. Buat yang bertanya-tanya gue ngapain kesini, karena gue nekat pengen belajar sesuatu yang nggak ada di Malang, tempat gue tinggal. Nanti akan tau.

Gue memilih duduk di sebuah sudut bandara yang kebetulan sepi. Lumayan lah, bisa enjoy dikit sambil nunggu taksi. Tapi setelah hampir 10 menit mencoba reservasi malah nggak ada yang ambil sama sekali. Ada apa nih? Akhirnya karena nggak sabar gue menghampiri salah satu petugas bandara yang kayanya lagi nganggur.

"Uhm, sorry. Can you help me to reserve a taxi? No one pick my reservation since 10 minutes ago." Kata gue sambil menunjukkan layar ponsel yang bertuliskan "SORRY, WE'RE ON DUTY" besar dan merah.

Petugas itu mengernyitkan dahi. Kemudian menatap layar gue. Mas-mas itu kembali mengernyitkan dahi. Ngomong kali, Mas, biar gue nggak nambah bingung.

Nggak lama kemudian dia berucap.

"Sorry, the pickup location that you set is wrong." Katanya kemudian menutup bilah tulisan itu dan ngasih tau gue kalo taksi disini ada tempat penjemputan sendiri, dan gue salah nulisnya.

Akhirnya dia juga ngasih tau tempat yang dibolehin buat jemput di bagian mana. Setelah dapet, gue berterima kasih ke petugas itu lalu keluar bandara. Reservasi selesai, gue tunggu di luar aja deh.

BUGG!

Separuh badan gue tersambar oleh seseorang dari belakang. Semua yang ada di genggaman tangan kanan gue lepas dan jatuh termasuk HP gue. Badan gue terjengkal ke depan dan ambruk. Gila, sekeras itu orang tersebut nabrak gue dari belakang.

"Allahu Akbar!" Teriakan gue kayanya kenceng banget sampe semua orang di sekitar situ noleh ke arah gue. Buru-buru gue beresin barang gue yang jatuh dan cepet-cepet berdiri.

"Oh my god! I'm so sorry! Are you okay?" Orang yang nabrak gue berdiri di hadapan gue dengan raut wajah yang sedikit panik dan gestur yang nggak tenang. Dia pegang HP ditempelin di telinganya. Laki-laki.

A Reason To LiveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang