Salah paham

40 1 0
                                    

Lisa dan Alia kini sampai di apartemen. Mereka langsung membuka pintu dengan hati-hati, takut Asti terbangun dari tidurnya. Akan tetapi, isakan tangis begitu jelas terdengar dari kamar Asti.

"Dek, itu mama bukan, sih?"

"Iya, Kak. Kok nangis ya? Apa mama sakit parah?"

"Kita samperin aja, deh. Tapi, jangan ada suara," pungkas Lisa.

Mereka pun berjalan dengan mengendap-endap menuju kamar Asti. Semakin jelas pula suara tangis itu. Lisa dan Alia semakin tidak tega mendengarnya.

"Ma ...." Akhirnya, Lisa memilih untuk memanggil ibunya.

"I--iya ...." Suara Asti begitu serak. Asti membuka pintu kamarnya. Tampaklah mata Asti yang begitu merah dan sembab. Bibirnya yang memucat dengan tubuh sedikit lemas dan tidak bertenaga.

"Mama kenapa?" tanya Lisa dan Alia bersamaan. Mereka begitu panik melihat keadaan ibunya.

"Mama gapapa, Kok." Asti tersenyum kecut. Ia tidak ingin melihat putrinya sedih.

"Mama bohong, apanya yang gapapa? Kalau gapapa, kenapa mama nangis?!" Alia kesal karena ibunya selalu menutupi masalah yang ada. Tidak mau menjelaskan dan memendam sendirian.

"Terbuka dong, Ma. Kami ini putri mama loh," lanjut Lisa.

"Maafin mama." Asti tertunduk dan kembali masuk ke kamar. Ia duduk di tepi ranjang dengan air mata menetes lagi.

Lisa dan Alia pun ikut duduk di samping Asti. Mereka mengusap-usap punggung Asti dengan lembut, juga mengusap air mata Asti dan memeluknya.

"Ma, coba cerita sama kami." Lisa mencoba untuk memenangkan Asti.

Asti menghembuskan napasnya dengan panjang. Terlihat dari mimik wajahnya. Ia berusaha untuk tetap tegar dan kuat. Lisa tahu ibunya sedang terpukul, tetapi tidak tahu ada masalah apa.

***

"Mbak, Mas Ferry sekarang sakit. Ia kangen sama Mbak dan juga anak-anak. Ternyata, dari bukti yang ada. Mas Ferry dinyatakan tidak bersalah, ia hanya difitnah. Mbak percaya sama aku, Mbak." Setyo berusaha untuk meyakinkan Asti--kakak iparnya.

"Emangnya sakit apa?" tanya Asti dengan santai. Toh, palingan sakit demam saja, pikirnya.

Setyo menatap Asti dengan sendu. Tetes demi tetes, air meluncur dari sudut matanya. Asti bingung, ia mengerutkan keningnya. Kenapa menangis?

"Hei! Gak usah lebay deh, tinggal bilang aja pun," celetuk Asti.

"Mas Ferry ... sakit kanker."

Deg!

Bagai dihujam seribu jarum. Asti merasa sakit yang amat dalam di sekujur tubuhnya. Entah apa yang terjadi, tubuhnya melemah dan langsung jatuh terduduk.

Air mata lolos begitu saja di pipi Asti. Bahkan, Asti seperti merasakan apa yang Ferry rasakan sekarang. Sakit! Sangat sakit!

"Mas Ferry, sudah mencari Mbak ke mana saja. Tetapi, tidak satupun usahanya mendapatkan hasil. Ia siang malam selalu menangis, memikirkan Mbak dan anak-anak, bahkan mas Ferry sampai berhalusinasi tentang Mbak."

"Hiks ... hiks ...."

Setyo seakan menguak segalanya tentang Ferry. Hal itu, membuat Asti merasa bersalah dan berhak mendapatkan hukuman apapun. Ia tidak menyangka Ferry akan gila seperti itu, hanya karena dirinya.

"Mbak harusnya percaya dengan mas Ferry waktu itu. Tetapi, ternyata aku salah! Mbak lebih percaya dengan wanita sialan itu!"

"He--hentikan, Yo ...." Suara Asti begitu serak. Asti tidak sanggup mendengar tentang Ferry lagi. Rasanya sakit.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 21, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Cinta Sang Pangeran DinginTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang