Introduction of Prilly

28.6K 820 8
                                    

(PPOV)

Pagi dan secangkir kopi adalah sesuatu yang pas dan tak terpisahkan bagi kebanyakan orang. Kopi hitam tanpa dan dengan gula, sebagian mencampur sedikit krimer bahkan susu. Orang bilang, kita bisa melihat keperibadian seseorang dari caranya meminum kopinya. Aku harus menemukan siapa yang bisa melakukan itu dan belajar tentang membaca seseorang dari cara minum kopinya. Karena itu terdengar keren.

Waktu menunjukkan pukul sembilan dan aku berjalan menelusuri toko-toko kecil yg terlihat sudah beraktivitas jauh lebih dulu dariku. Orang-orang juga sudah mulai terlihat ramai berjalan kaki. Ada yang terlihat memakai baju kantor sambil sesekali melihat jam, sepertinya terlambat, ada yang hanya memakai baju tidur dan membawa banyak kantong belanjaan, sepertinya dari pasar, dan ada juga yang hanya berdiri diemperan toko dengan pakaian bolong-bolong dan wajah lelah, hidup ini memang tak seindah yang ada dalam novel. Aku berhenti didepan cafe langgananku. Kursi-kursi terlihat sudah penuh dengan mereka yang ingin menikmati coffee-booster mereka. Aku mengernyitkan dahiku dan mencoba menemukan spot yang masih kosong. Terlihat satu meja dengan dua kursi disudut ruangan didekat jendela dan dengan senyum yang lebar aku duduk dan bersiap untuk memesan.

Dika, pelayan cafe yang sudah hafal dengan wajahku yang hampir tiap hari datang ke cafe ini untuk kopi ku.

"Hai prilly.. Pesanan yang biasa?" Tanya dika dengan senyum ramahnya.

Aku mengangguk dan membalas senyumnya.

"Cappucinno panas dengan tambahan madu,kan? Ada tambahan lain?" Tanya dika lagi.

Aku mengangguk dan mengambil notes dan pulpen yang selalu kubawa kemana pun aku pergi dan mulai menuliskan pesanan tambahanku.

'Waffle..' tulisku.

Dika mengangguk dan mengulang pesananku lalu kemudian pergi.

Beberapa orang disekitar cafe melihatku dengan tatapan aneh. Mungkin karena mereka merasa aneh kenapa aku tidak berbicara sedikitpun, atau mereka merasa aneh kenapa aku berkomunikasi dengan notes dan pulpen atau mungkin karena keduanya. Aku memilih tidak menghiraukan tatapan mereka karena memang aku tidak berbicara bukan tidak bisa, hanya saja tidak bicara satu katapun. Dan mereka bebas beranggapan apa tentang itu.

Fix you : Hatiku Inginkan KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang