CHAPTER 5

8.2K 822 5
                                    

Jimin saat ini sedang kesal bukan main setelah mengetahui jika pekerjaannya semakin banyak dan menumpuk. Dia sedikit stress karena pekerjaan yang ia kerjakan tidak selesai-selesai. Bagaimana caranya agar pekerjaannya ini tidak menghantuinya terus? Setiap hari hampir dari 7 berkas yang ia kerjakan, dia merasa sebentar lagi dirinya akan menjadi pria gila jika mengerjakan pekerjaan ini terus.

"Jiyeon, tolong ke ruangan saya dan selesaikan beberapa pekerjaan saya. Deadline nya hari ini, nanti kamu akan mendapat bonus." ujarnya sambil memijit hidungnya, sungguh dia merasa lelah jika harus menyelesaikan semuanya. Memikirkan pekerjaan dan kehidupannya membuat beban di pundaknya bertambah. Namun, anehnya, saat ini bukan hanya pekerjaan yang ia pikirkan, namun gadis bernama Yoora yang baru ia kenal juga kini ia pikirkan. Saat ini, gadis itu selalu menarik perhatiannya, entah apa saja yang ia lakukan, tetap saja Yoora selalu terlintas di pikirannya. Walau memang baru kemarin mereka bertemu, namun hati dan pikirannya selalu menuju ke gadis SMA tersebut. Dia seperti tertarik untuk bertemu dengan Yoora lagi.

"Apa yang kau pikirkan Park Jimin?" tanyanya terhadap dirinya sendiri, menyadari dirinya yang sudah memikirkan Yoora secara berlebihan membuat dirinya cukup tidak fokus.

Bagaimana ya mengatakannya? Jimin memang sering menyukai seorang perempuan, tapi perasaan itu hanya sekilas saja. Tapi kepada Yoora, perasaan ini bukan hanya sekilas, tapi sampai ia pikirkan juga bagaimana dirinya bertemu dengan gadis itu kembali.

Ini benar-benar menjadi beban untuk Jimin sendiri.

Tok Tok.

"Masuk saja Jiyeon," teriaknya, ia tahu jika yang mengetuk pintu adalah Jiyeon.

"Siapa Jiyeon? Apa dia adalah calon istrimu?" Jimin melihat ke arah suara tersebut, dan kini dia benar-benar terkejut karena melihat kehadiran Ibunya yang mendadak tiba-tiba datang ke perusahaannya, dan sekarang ibunya ini berada di ruangan kerja miliknya. Haduh, perasaan yang ia panggil ke ruangannya adalah Jiyeon, tetapi kenapa malah Ibunya yang datang?

"Ibu? Ibu kenapa datang kemari?" tanyanya, Nyonya Park berdecak kesal mendengar pertanyaan Putranya, bukannya mempersilahkan dirinya untuk duduk, malah menanyakan hal yang tidak penting kepada dirinya.

"Untuk mengunjungi Putra Ibu, untuk apa Ibu datang kemari jika bukan untuk mengunjungimu? Kau bukannya mempersilahkan Ibu untuk duduk, malah bertanya-tanya hal yang tidak penting." Jimin menghela napas nya panjang, sebenarnya dia sama sekali tidak menginginkan kehadiran ibunya. Karena ia tahu, jika ibu mengunjunginya, pasti ada sesuatu yang ia inginkan. Yang ibunya inginkan pasti sudah tidak masuk akal jika sudah sampai mendatanginya.

"Maaf ibu, sekarang ibu duduklah."

Pada akhirnya Nyonya Park duduk di sofa pribadi milik Jimin dan menatap anaknya dari jauh, "Siapa Jiyeon? Apa perempuan itu adalah calonmu?" Ibunya memang sudah sangat menginginkan Jimin untuk menikah, ia sangat ingin mengendong seorang cucu, apalagi Jimin adalah anak satu-satunya. Memang dari dulu Nyonya Park sudah menyuruh Jimin untuk menikah, tapi pria itu selalu mengatakan jika dirinya belum siap dan belum menemukan jodoh.

"Aku belum mendapatkan yang pantas untukku, Bu. Jiyeon adalah sekertarisku, aku menyuruhnya datang ke ruanganku untuk mengerjakan pekerjaanku yang menumpuk, maka dari itu aku mengira jika yang mengetuk pintu adalah Jiyeon." Jimin menjelaskan agar sang ibu tidak berharap banyak padanya.

"Kau masih gila pekerjaan saja seperti Ayahmu." Jimin hanya terkekeh mendengarnya. Memang sih, ia gila pekerjaan. Bahkan saat ibunya tengah berbicara dengannya pun, ia masih fokus untuk bekerja. "Jika kau gila bekerja begini, kapan kau ingin menikah? Kapan kau meluangkan waktumu untuk bekerja dengan seorang gadis? Apa kau menunggu Ibu mati terlebih dahulu kemudian kau baru mencari jodohmu?"

Jimin yang mendengarnya hanya bisa menghela napasnya, inilah sebabnya ia tidak suka jika ibunya datang kepadanya secara langsung, dia selalu mengatakan hal yang tidak-tidak, dan cukup membuat Park Jimin cukup kesal. Saat ini ia sudah pusing dengan pekerjaannya, tolong jangan membuat dia semakin pusing hanya karena perkataan ibunya yang sepertinya mengancam dirinya. "Bu, berbicaralah yang baik, saat ini aku memang tidak ingin mencari pasangan dulu. Aku belum siap untuk berkeluarga. Menikah kan, tidak semudah itu. Jadi nanti saja. Lagi pula, pekerjaan yang aku kerjakan saat ini adalah kekasihku, Bu. Biarkan saat ini aku berdua dengannya." Ibu Jimin hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, dia tidak habis pikir dengan pemikiran anaknya. Jadi, kapan Jimin ingin menikah? Dia sudah tidak sabar memamerkan anaknya ini kepada orang-orang jika putra nya sudah menikah. Bagaimana tidak? Saat arisan, Nyonya Park selalu saja disindir, anaknya sempurna, tapi belum menikah juga, kasihan ya. Itulah mengapa, sang ibu selalu menagih pertanyaan kapan anaknya akan menikah.

Selanjutnya yang dilakukan oleh Nyonya Park adalah mengeluarkan sekotak makanan. Ia memasak untuk anak nya ini. Sudah lama dia tidak bertemu dengan Jimin, dan ia cukup rindu. Jimin pun yang melihat ibunya membawakan dirinya makanan langsung tersenyum puas, dia bahkan melupakan rasa penatnya karena pekerjaan yang ia kerjakan saat ini, pun Jimin juga rindu sekali dengan masakan Ibunya. Masakan ibunya bisa menghilangkan rasa penatnya sekarang. Dia bahagia sekali.

"Sudah lama aku tidak membawakan makanan untukmu. Aku memasakkan makanan kesukaanmu, makanlah." Jimin bertepuk tangan kegirangan setelah mengetahui jika Ibunya memasakkan makanan kesukaannya, Ibunya memang yang paling terbaik—mengetahui apa yang membuatnya senang.

"Terimakasih Bu, Ibu memang yang terbaik." Ibu Jimin hanya mengangguk lalu tersenyum setelah melihat anaknya itu terlihat sangat senang dan bahagia setelah menerima makanan dari dirinya. Bahkan Ibunya sangat memperhatikan Jimin yang tampak sangat lahap memakan makanannya. Bahagia seorang ibu itu mudah sekali, melihat anaknya lahap memakan makanannya sudah membuat hatinya senang. Rasa lelah selama memasak pun kini terganti menjadi rasa bahagia. Bagaimana tidak? Jimin sangat menghormati dan menghargai apa yang ibunya berikan.

Jimin memakan makanannya dengan begitu bahagia karena sudah lama ia tidak merasakan rasa makanan ini, jika bisa, ia selalu ingin datang ke rumah orang tuanya hanya untuk memakan makanan yang dibuat oleh sang ibu. Tapi, sayangnya tidak bisa. Dia harus bekerja, bekerja dan bekerja. Jimin sebelum bekerja, dia memutuskan untuk tinggal sendiri. Jadinya ia membeli rumah untuk dirinya sendiri, cukup luas. Katanya, ia ingin rumah yang ia tempati sekarang, digunakan untuk dirinya dan istrinya nantinya. Jadi tidak perlu sulit mencari rumah lagi ketika sudah menikah.

Ketika sedang makan, Jimin teringat jika dirinya sangat sering mendengar kalimat seperti ini; "Jika seorang anak senang dan bahagia, maka Ibunya akan turut senang." Dan perkataan itu terbukti sekarang.

Jimin bisa melihat kebahagiaan diraut wajah Ibunya, dirinya pun ikut tersenyum lalu kembali memakan makanannya.

09-11-2020

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

09-11-2020

JIMIN AHJUSSI ✓  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang