00 : Prolog

166 11 1
                                    

Seorang gadis tengah memandang dirinya didepan cermin dengan senyum yang mengembang. Midi dress berwarna ungu yang melekat ditubuhnya dipadukan dengan flat shoes berwarna silver, benar-benar anggun untuk dipandang mata. Belum lagi kulitnya yang putih mulus tanpa kudis dan merah pipi yang alami. Dia Lateshia, lebih tepatnya Lateshia Elvaretta, gadis remaja yang masih menduduki bangku SMA kelas 11, lebih kerap disapa Lia.

Hari ini Lia akan menghadiri acara prom night kakak kelasnya untuk mewakili calon kakak kelas nanti. Ditemani beberapa temannya yang akan ikut hadir untuk memeriahkan acara. Sekarang sudah pukul 19.00 WIB, sebentar lagi acara akan mulai. Lia bergegas turun ke lantai satu untuk menemui ayah, ibu dan kakak laki-lakinya.

"Gila, adek gue cantik bener dah." puji Glen--Kakak Lia, gadis itu hanya terkekeh sambil memutar bola mata malas. "Wajarlah gue cantik, namanya juga cewek. Yang gak wajar itu kalo lo cantik," kini beralih Glen yang memutar bola mata malas. Memuji Lia hanya sebuah kesalahan besar yang berakhir penyesalan. "Kamu beneran mau pergi sayang?" tanya Reta--Ibu Lia, jujur saja ada perasaan cemas dalam dirinya. Seakan ada sesuatu yang akan terjadi pada putri kesayangannya. "Iya dong mah. Lagian Lia kan gak sendiri. Lia gak pulang malem kok, bentar doang." ucap Lia. "Yaudah deh." Reta hanya pasrah, tak henti-hentinya ia merapalkan do'a dalam hati untuk keselamatan Lia.

"Hati-hati ya sayang." sahut Varrel--Ayah Lia yang sedari tadi diam. "Iya pah. Kalau gitu Lia pamit, assalamualaikum."

"Waalaikumsalam..."

Lia melangkahkan tungkainya menuju garasi mobil, kemudian menyalakan mesin dan menancapkan gasnya. Malam hari kota Jakarta tak pernah lepas dari yang namanya macet, bahkan sorot lampu dari kendaraan semakin memancarkan keindahan kota Jakarta itu. Lia terpaksa harus melewati jalan pintas agar tidak terlambat sampai ditujuan.

Sendiri, sunyi, udara yang sejuk menusuk kulit-kulit hingga tulang-tulang. Tapi itu semua tak membuat Lia merasa takut, terkadang juga ia bersenandung mengikuti alunan musik dari radio. Namun, kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi kedepannya.

Sampai saat dimana ia akan melewati tikungan, Lia menginjak sedikit pedal remnya, namun tak berfungsi. Ada rasa panik yang tiba-tiba menjalar dalam dirinya, tapi ia mencoba untuk tetap tenang. Belum lagi disebelah tikungan ada jurang yang cukup dangkal tanpa pembatas apapun. "Allahuakbar, Allahuakbar, Allahuakbar..."

Brakk.

Takdir berkata lain. Mobil yang digunakan Lia jatuh menerobos jurang. Lia sendiri sudah terlempar keluar dari mobil sampai terjatuh hingga kepalanya membentur batu karang yang tajam. Penglihatannya kabur, darah memenuhi tubuhnya, ia melirik mobilnya yang memperlihatkan tanda-tanda akan meledak. Dengan sisa tenaganya, Lia menggeser tubuhnya, tapi belum sempat menjauh, mobil sudah meledak duluan.

Duarr.

Lia kembali terlempar hingga kembali membentur batu. Ingin berteriak, suaranya seakan hilang, ingin menangis, air matanya tergantikan oleh darah yang mengucur deras dari pelipisnya, ingin bangkit, tulangnya seakan hilang dari tempatnya. Yang ia bisa, hanyalah berdoa agar ada yang membantunya, atau setidaknya Tuhan masih memberinya izin untuk hidup.



"Apa?" teriak Reta dengan mata yang berkaca-kaca, ponsel yang berada di genggamannya terjatuh ke lantai hingga retak. Jantungnya berdegup tak karuan, bibirnya kelu untuk mengeluarkan kata-kata.

"Pah, Lia pah!" teriak Reta sambil mengguncang tubuh Varrel membuat pria itu mengerinyitkan dahinya bingung, terutama Glen yang tampak khawatir. "Kenapa sama Lia mah?"

"Hiks... hiks... Lia kecelakaan. Hiks... hiks... Mama mau ketemu Lia, mama mau kita kesana! Mama gak percaya, Lia bilang dia mau pergi ke acara sekolah pah!" teriak Reta frustasi dengan air mata yang terus mengucur deras. Wanita berumur 35 tahun itu memegang dadanya yang terasa sesak.

Glen langsung beralih mengambil air mineral untuk ibunya, sedangkan Varrel menenangkan sang istri walaupun hatinya juga sama khawatir seperti Reta.

"Pah. Ayo kita jemput Lia pah! Lia masih disekolahnya. Hiks... hiks... Lia..." tanpa sadar, air mata Varrel juga ikut terjatuh. Hatinya benar-benar sakit, ia merasa gagal menjaga sang anak. Ia gagal menjadi kepala keluarga. "Ayo kita ke Rumah Sakit. Ayo pah, Glen!!" teriak Reta sambil menarik baju Varrel.

Glen, pria itu terdiam mencerna perkataan ibunya. Rumah sakit? Tidak, ia tak bisa membayangkan siapa yang akan ia jenguk. Kenapa Reta menangis seperti itu? Jangan bilang jika itu adalah Lia. Adiknya. Glen langsung berlari mengejar ibunya yang sudah diluar rumah. Ia ikut menaiki mobil, mencoba untuk menahan segala pertanyaan yang sudah ingin ia keluarkan pada Reta. Ia tak tega, ingin menangis tapi ia tahan, ia harus menenangkan keduanya.

Saat sampai di Rumah Sakit, Reta langsung menghampiri ambulans yang baru saja datang sambil menyeret brankar. Reta menutup mulutnya untuk menahan isakannya. Disitu, Lia berbaring dengan darah disekujur tubuhnya. Varrel dan Glen sudah tidak bisa menahan isakannya, wanita kesayangan mereka terbaring dengan keadaan mengenaskan. Varrel beralih menopang tubuh Reta yang tiba-tiba terjatuh ke tanah. Ia menggiring sang istri untuk memasuki lobby di ikuti Glen yang masih bergelut dengan pikirannya.

"Dok, selamatkan anak saya dok! Saya mohon!" ucap Varrel, matanya sudah memerah karena menangis. Sedangkan Reta sedang ditenangkan oleh Glen. "Saya akan berusaha semaksimal mungkin, karena ini adalah kecelakaan yang cukup parah." dokter tersebut langsung masuk ke dalam ruang UGD, Varrel berjalan sempoyongan ke arah istri dan anaknya.

Mulutnya tak berhenti berkomat-kamit untuk merapalkan segala do'a untuk keselamatan anaknya. "Hiks... hiks... Lia..." tangis Reta tak kunjung berhenti, hatinya sakit. Andai saja ia melarang Lia ikut, semua tak akan terjadi. Semua perasaan yang mengganjal dihatinya beberapa jam lalu menjadi kenyataan. "Hiks... hiks... Katanya Lia mau pulang cepat. Tapi kenapa harus seperti ini," Reta menutupi wajahnya, mencoba untuk meredakan tangisnya. Lia adalah putri kesayangannya, ia benar-benar tidak rela jika sesuatu buruk terjadi pada Lia. Bahkan, jika bisa ia ingin mengorbankan nyawa demi putrinya.



"Keadaan pasien kritis. Dan, kemungkinan besar pasien akan mengalami tuli sensorineural karena benturan cukup keras dikepalanya hingga menembus ke arah gendang telinga. Dan akibatnya, pasien juga akan mengalami bisu." ucap sang dokter dengan berat hati membuat Varrel, Reta, dan Glen kembali merasakan sakit hati. Kenapa semua ini terjadi? Kenapa? Kenapa Tuhan memberi cobaan sebesar ini?

"Jangan bohong lo! Gak mungkin adek gue tuli. Lo bohong!" bentak Glen sambil menarik kerah jas dokter tersebut. Ia tidak bisa menerima semuanya, kenyataan ini benar-benar pahit untuk ia terima. Bagaimana reaksi Lia nanti ketika sadar? Ia tak ingin sang adik mengalami depresi. Ia sangat menyayangi Lia. "Hiks... hiks... Gue sayang sama lo dek," gumam Glen disela tangisnya. Ia menatap Lia dari kaca yang menghalangi ruangan.

Gips yang membalut kedua kaki dan tangannya. Perban yang melilit kepalanya dan alat medis lainnya. Benar-benar memprihatinkan.









ASSALAMUALAIKUM. LANJUT GAK? KOMENT SAMA VOTE DULU. HEHE.
BARU AWAL CERITA LOH, NANGIS GAK SIH? PENASARAN AKU TUH.

LateshiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang