03. awal pertemuan

800 97 8
                                    

Aye menatap ke langit-langit kamar berwarna putih itu. Ia tidak bisa tidur, mungkin karena terbiasa tidur sangat larut sebagai mahasiswa, ia jadi tidak bisa tidur cepat. Mau bermain ponsel, baterainya sudah habis dan ia sedang mengisinya.

Jam di dinding menunjukkan pukul setengah satu pagi. Aye bangkit dari posisi tidurnya dan mengikat rambut.

Segelas susu hangat mungkin akan membantuku tidur, pikirnya.

Aye kemudian bangkit dari duduknya dan berjalan keluar dari kamar. Udara dingin menyapu permukaan kulitnya, membuatnya sedikit merinding.

Aye berjalan menuju ke ruang makan. Dibuatnya segelas susu coklat hangat dan diberi potongan marshmallow kecil. Diangkatnya cangkir putih itu dan dibawanya kembali ke kamar.

Saat melewati kamar Bibinya, Aye mendengar isakan. Ia terdiam beberapa detik untuk memastikan bahwa itu adalah isakan tangis dari Bibinya. Aye berjalan mendekat dan mengetuk pintu kamar Bibinya.

"Bibi Jan." Panggil Aye.

Isakan itu terhenti. Aye merinding, takut kalau itu bukanlah Bibinya. Lalu pintu kamar pun terbuka. Bibinya muncul dengan senyuman, mencoba menutupi matanya yang bengkak karena menangis. Tapi, Aye bukan anak kecil yang bisa ditipu dengan senyuman. Aye tau, Bibinya baru saja menangis.

"Kenapa Aye?" Tanya Jan.

"Bibi baik-baik saja?" Aye balik bertanya.

Jan menghela nafas panjang sebelum menatap Aye. Rautnya menunjukkan kesedihan yang sangat-sangat menyiksanya. "Tidak, Bibi tidak baik." Jawabnya.

Aye terdiam sesaat. "Apa ini ada hubungannya dengan Bri dan Win, Bi?" Tanya Aye.

Pertanyaan Aye itu sontak membuat Jan terkejut. Bagaimana tidak, di keluarga besarnya hanya nenek, kakek, ayah, ibu, dan ia yang tau mengenai hal itu. Tidak mungkin Baifern, sepupunya juga mengetahuinya hingga ia bercerita pada Aye.

Sebelum Jan bertanya, Aye sudah lebih dulu membuka suara. "Aku tau dari sebuah foto yang ada di atas lemari. Lalu aku bertemu dengan seorang lelaki tua di kedai kopi yang menceritakannya padaku."

Jan menghela nafas, ditatapnya Aye dengan yakin. Ia mencoba untuk memercayai Aye dengan hal ini. "Iya, ini tentang mereka berdua." Jawabnya.

Aye menatap Bibinya. Ia butuh jawaban. Jan menggenggam tangan Aye dan membawanya ke dalam kamarnya. Di dalam ada beberapa foto yang berserakan. Dan juga ada beberapa benda yang Aye tau bukan dari tahun sekarang.

Aye dan Jan duduk di lantai dengan karpet bulu hangat itu. Aye meletakkan cangkirnya di atas meja nakas.

"Ini adalah sebuah kisah Aye." Jan berucap.
Matanya menatap foto-foto itu dengan tatapan yang tidak bisa Aye mengerti.

Ada keheningan disana, cukup lama. Jan mengambil sebuah foto dengan empat orang lelaki dan seorang gadis tertawa bersama. Mereka terlihat sangat bahagia. Jan menyerahkan foto itu pada Aye.

"Kisah yang tidak pernah bisa diterima. Bahkan aku pun masih sulit menerima akhir kisahnya. Tapi aku akan ceritakan segalanya." Ucap Jan.

"Aku mendengarkan Bi." Ucap Aye.

Jan tersenyum. "Semuanya dimulai, 42 tahun yang lalu."

//

September, 1978

Seorang anak lelaki berjalan keluar dari rumahnya dengan buku komik di tangannya. Seragam sekolahnya masih putih dan sangat bagus.

the truth of us | brightwinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang