7. Ketika Tangan Saling Bersentuhan

535 97 82
                                    

"Aku tak pandai berpura-pura untuk menarik perhatianmu. Pernahkah sekali saja kau merasakan kehadiranku di tengah kesibukanmu?"

- Langit Anastasia

Entah sudah berapa lembar cerita yang dibaca Langit. Yang terpenting adalah dia masih semangat mencari jawaban tentang hubungannya dan Samudra.

Walaupun dia merasa kesal dengan sikap bodohnya di masa lalu.

****
4 Maret 2020
Bagian terindah dari menutup hari adalah bercerita tentang dirimu dalam buku ini, menceritakan kembali momen-momen kebersamaan bersamamu.

Memang segala hal berkesan bagiku, tapi mungkin tidak untukmu. Seperti hari ini, kebersamaan kita adalah momen terindah dalam hidupku, sangat indah.

Hari ini aku, kamu, Fikri, Laras, Annisa, dan Satya memutuskan untuk keliling Jakarta naik Transjakarta.

Keputusan liburan sejenak di tengah situasi virus Corona yang mulai masuk Jakarta.

"Kapan lagi kita bisa keliling Jakarta sebelum nantinya lockdown kayak Wuhan kan," ujar Fikri beberapa hari lalu.

Memang Fikri yang mempunyai ide tersebut, tapi aku tidak pernah berekspektasi kamu akan mengikuti rencana gilanya.

Liburan singkat itu pun tiba. Kita berenam janjian bertemu di Halte Transjakarta Harmoni, kemudian menuju Halte Kota, dan selanjutnya mengeksplor makanan di kawasan Kota Tua.

Kemudian kita akan naik bus Transjakarta menuju PIK untuk mengunjungi kawasan hutan Mangrove. Rute liburan sederhana, tapi sangat berkesan bagiku.

Aku adalah orang pertama yang tiba di Halte Harmoni, kemudian Fikri, Satya, Laras, dan Annisa.

Sembari menunggu kedatanganmu, aku berusaha mengusir bosan dengan membuka Twitter.

Tiba-tiba dari kejauhan, aku melihat kedatanganmu. Tanpa sadar, aku tersenyum menyambutmu. Aku rindu kamu, Samudra, gumamku dalam hati.

Dua hari tak bertemu denganmu, rindu ini cukup menyiksa. Hari ini, sang Samudra memakai baju berwarna biru lagi, menampilkan sosoknya yang berkharisma.

"Langit, sudah sehat?" kalimat pertama yang kamu ucapkan ketika berdiri tepat di hadapan ku. Aku bahkan bisa mencium aroma parfummu.

Aku bahagia karena kamu masih mengkhawatirkanku. Itu pikiranku, entah benar atau tidak.

"Belum sepenuhnya, masih lemas"

"Kok gak pakai masker kalau memang masih sakit?"

"Gue suka sesak nafas kalau pakai masker terlalu lama"

"Tapi nanti lo makin sakit kalau gak pakai masker"

Aku pun langsung mengambil masker dalam tasku untuk menuruti kata-katamu.

Padahal sebelumnya, Laras dan Annisa juga telah menyuruhku memakai masker, tetapi aku mengabaikannya.

Saat itu, bus Transjakarta menuju kawasan Kota Tua dipenuhi penumpang. Tak ada pilihan lain, kita harus segera sampai ke kawasan Kota Tua untuk menghemat waktu perjalanan.

Momen kebersamaan kita di dalam bus tak akan pernah aku lupakan sampai kapanpun.

Kamu berdiri tepat di hadapanku, jarak antara wajah kita tak lebih dari 50 sentimeter.

Aku bisa mendengar desah nafasmu, menatap wajahmu dalam jarak yang sangat dekat.

Bahkan beberapa kali aku harus mengatur nafas dan mengalihkan pandangan agar kamu tak melihat kegugupanku.

The Unspoken Words of Langit and Samudra [PUBLISHED|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang