III

615 60 3
                                    

Aku dan Viona duduk di hamparan pasir nan luas. Dengan diterpa sinar matahari yang menggelap, aku dan Viona saling diam.

"Kau memang manusia sedikit kata."

Aku menoleh kearahnya yang berada di sebelahku.  Sedang Ia terus menatap hamparan laut luas dengan ombaknya yang tenang.

"Bolehkah aku berbicara?"

Aku hanya mengangguk menanggapi pertanyaannya barusan. Rasanya tiada daya dan kuasa untuk menggerakkan bibirku menjawab pertanyaan itu.

"Kau memang manusia tak kasat rasa. Tiga tahun lamanya, dan kau tidak menyadari itu semua."

"Aku mencintaimu, Tamara."

Tatapan hangat milik Viona menyapu seluruh pandangku. Mataku berkaca menahan tangis yang rasanya bisa pecah kapan saja. Namun seperti terbius oleh tatapannya, dan entah setan apa yang membuatku seberani ini, aku justru mendekatkan wajahku kearah Viona. Dan sebuah kecupan singkat kudaratkan pada bibir Viona yang saat ini bergeming atas sikapku barusan.

"Aku selalu berdoa kepada Tuhan, dan memintaNya untuk mengabulkan permintaanmu. Agar tidak perlu benci kepada matahari terbenam, dan kita bisa terus bersama, selamanya. Namun seolah tertampar oleh realita, nyatanya kita memang tidak bisa bersama, Viona."

"Aku selalu berterimakasih kepada Tuhan, dan memanjatkan harap untuk kamu. Karena telah memberiku percaya untuk merasakan kebahagian bersamamu, dan selalu berharap kamu menemukan kebahagiaanmu juga. Walau aku tahu, aku jelas bukan jawaban dari setiap harapku untuk kamu."

"Sejak pertamakali semesta mempertemukan kita, aku sudah melihat bahwa akan ada kisah menyedihkan diujungnya. Mungkin akhirnya tak akan pernah menjadi satu, namun setiap detik yang kulalui, aku selalu bersorai karena  pernah bertemu dengan kamu."

"Aku juga mencintaimu, Viona."

Bagai desutan anak panah, Viona mengecup bibirku dengan lembut. Disudut matanya mengalir air mata yang pertama kali kulihat sejak aku mengenalnya. Dan bersamaan dengan lembut kecupan itu, seluruh pandanganku gelap. Aku dapat merasakan darah segar mengalir bagai tak ingin berhenti dari hidungku. Juga teriakan sarat kecemasan yang Viona lontarkan dengan permintaan tolong kepada siapapun yang berada disana.

Dan sejak saat itu, cerita tentang kisahku dan Viona, telah menjadi kenangan terindah yang kubawa hingga akhir nafasku berhembus.

SoraiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang