"Beristirahat dengan tenang, Tamaraku."
Dengan lirih dan getir aku mengucapkan kalimat itu tatkala perlahan gundukan tanah menutupinya, menyadarkan imajiku bahwa kita telah resmi dipisahkan semesta.
Kala seluruh perhatianku telah disita habis hanya padanya, aku sadar betul bahwa hal ini cepat atau lambat pasti akan terjadi.
Di halaman sekolah dengan matahari terik diatas kepala, aku yang saat itu hidup dengan tiada kebahagiaan, seolah merasakan angin sejuk saat melihat Tamara yang berdiri tepat di depanku. Senyum lembutnya, serta tatapan sayu yang ia arahkan kearahku, membuat aku percaya bahwa keajaiban itu nyata. Dan Tamara, adalah keajaiban yang nyata untukku.
Sekelebat memori-memori indah bersama Tamara seolah muncul di benakku bagai potongan-potongan film yang amat kusukai. Masih terasa nyata senyumannya, juga hangat tangannya saat membalas genggaman tanganku, serta tawa kecilnya setiap aku melontarkan lelucon tak lucu. Dan pada kenyataanku kini, aku hanya bisa meratapi gundukan tanah yang didalamnya kini terbaring seseorang yang sangat kucintai.
Seminggu yang lalu, sebelum Ia beristirahat untuk selamanya, aku berhasil mengungkapkan perasaanku yang walau ku yakini Tamara pasti sudah tahu hal itu.
"Aku juga mencintaimu, Viona."
Kalimat itu, jika bisa ingin kuulangi setiap saat.
Kalimat terindah sekaligus terakhir darinya yang sampai kapanpun, tidak akan hilang dari setiap sisi ingatanku.
Pergantian tugas antara matahari dan bulan adalah saksi bisu dua insan yang tak pernah menjadi satu.
"Aku akan segera pergi, Viona."
Kalimat itu, adalah hal yang paling aku benci.
"Kanker yang menyerang tubuhku semakin ganas, aku akan segera pergi."
"Sebaiknya kamu lupakan aku."
Bak dihantam oleh palu yang sangat besar, hatiku terasa sangat sakit setiap kulihat air mata itu jatuh membasahi pipi Tamara. Maka aku menarik tubuhnya untuk berlindung dibahuku, sembari memberinya jeda untuk menghentikan tangisnya.
Dengan pelan, aku berkata, "Tamara, saat aku memutuskan untuk mengizinkanmu menyita seluruh perhatianku, aku sudah paham apa resiko yang harus aku hadapi nantinya. Dan aku tidak peduli dengan itu semua. Aku hanya ingin, menghabiskan seluruh waktuku denganmu, itu saja. Aku tidak peduli apapun, aku hanya mau kamu, itu saja. Dan tolong, jangan memikirkan hal yang bukan kehendakmu, tugasmu saat ini hanya untuk menjadi perempuan paling bahagia, dan aku yang akan mewujudkannya."
Tamara memelukku erat, seolah memberi isyarat bahwa Ia memberikanku otoritas penuh untuk mewujudkannya menjadi perempuan paling bahagia. Walau saat itu aku hanyalah seorang anak SMA kelas dua, namun setiap ucapan yang aku lontarkan pada Tamara tidak pernah main-main.
Karena Tamara adalah keseriusan yang tidak pernah kubercandakan.
Kini giliran air mata yang mengalir membasahi pipiku. Kala gundukan tanah itu ditancapkan diatasnya sebuah papan berbentuk salib dengan nama--
Aku tidak sanggup mengatakannya.
"Ku mohon Tuhan, apa yang kusaksikan saat ini, tolong sadarkan aku bahwa ini adalah mimpi."
Aku terus melontarkan kalimat itu sebagai doa. Berulang kali, bahkan ratusan kali sudah kalimat itu kupanjatkan, tetap saja semua ini adalah realita.
Seperti kehilangan akal sehat, aku rasanya ingin memaki siapapun disini yang memanjatkan doa kesedihan dengan nama Tamara di dalamnya.
"Dia sudah tenang.."
Aku menoleh ke sumber suara dan mendapati Ibu dari perempuan yang paling aku sayangi mengucapkan kalimat tersebut. Sembari tangannya yang hangat mengusap bahuku dengan pelan.
"Tugasmu saat ini, adalah memberikan doa, dan mengikhlaskan... Tamara."
Air mataku semakin bebas membasahi pipiku. Dadaku sesak menelan pahitnya realita yang kuhadapi saat ini.
Dalam hidup, kita memang dihadapkan pada dua pilihan, meninggalkan atau ditinggalkan. Tidak pernah terlintas sedikitpun dibenakku untuk memilih meninggalkan Tamara, namun aku juga tidak berharap menjadi seseorang yang ditinggalkannya dengan perasaan sesakit ini.
Namun, aku juga tidak pernah menyesali dan merutuki detik dimana aku mengunci tatapanku sepenuhnya kepada Tamara. Alih-alih menyesal, aku justru bersyukur karena Tuhan menciptakan momen indah itu dihidupku.
Gerimis hujan kini perlahan membasahi bumi, seolah turut berduka atas kepergian seseorang yang sangat berharga. Aku mengusap papan salib itu dan menatapnya dengan nanar. Imajiku masih bersikeras ini hanyalah mimpi, namun aku mengerti, sudah sepantasnya aku mengikhlaskan diri atas apa yang kuhadapi saat ini.
"Tamara.." Lirihku pelan menatap papan salib itu.
Disekelilingku sudah sepi, hanya tersisa aku dan gundukan tanah merah.
"Mengenal kamu, dan menjadikanmu prioritas dalam keseharianku, adalah hal yang tidak akan pernah kusesali. Bahkan setelah kepergianmu yang meninggalkan sakit sebegitu banyak ini, aku masih dan akan terus menganggap kamu adalah keajaiban terbaik yg pernah kumiliki."
"Kamu tau apa alasan terbesarku membenci matahari terbenam? Matahari terbenam tidak hanya membuat kamu dan aku harus berpisah dan meninggalkan pantai, tapi lebih dari itu. Aku membenci matahari terbenam, karena aku tidak bisa disamping kamu saat kamu merasakan sakit yang teramat saat tubuhmu melawan sel-sel kanker yang semakin ganas. Aku tidak bisa meminjamkan bahuku untuk menyembunyikan wajahmu saat kamu menangis dan merintih kesakitan. Aku tidak bisa menghiburmu dengan lelucon tak lucuku saat kamu membutuhkannya. Aku terbatas dalam waktu dan ruang saat matahari tenggelam, Tamara, dan aku benci keterbatasan itu!"
Dengan nanar, aku menatap gundukan tanah yang diatasnya kini terhampar taburan bunga sengar, yang menurutku justru menambah kesedihan.
"Namun sekarang, kamu telah tenang. Beristirahat dengan damai tanpa perlu merasakan sakit, tanpa perlu berjuang melawan sel-sel kanker sialan itu, dan tanpa perlu menyembunyikan rasa sakitmu dariku."
"Tamara, izinkan aku untuk terus mengemban cinta yang tak pernah terwujud ini, selamanya. Tugasmu hanya perlu beristirahat dengan tenang, dan aku yang akan menanggung segala rasa bahagia dan sakit dari setiap kenangan kita."
"Aku mencintaimu, Tamara."
"Selalu, dan akan terus mencintaimu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sorai
Fanfiction"Kau memang manusia sedikit kata." Aku menoleh kearahnya yang berada di sebelahku. Sedang Ia terus menatap hamparan laut luas dengan ombaknya yang tenang. "Bolehkah aku berbicara?" Aku hanya mengangguk menanggapi pertanyaannya barusan. Rasanya tiad...