BAB 2 : Tak Dianggap

31 2 0
                                    

"gue rasa bersikap acuh untuk selamanya juga biasa aja karna itu udah terbiasa dari kecil"

***

Happy reading

Pagi kali ini sama seperti biasanya, bangun tidur siap-siap sekolah. Kalau aja gue bisa memilih tinggal dimana pasti gue lebih memilih tinggal di rumah ibu, tapi nyatanya itu hanya niat belaka. Pernah dulu waktu SMP gue nekat nggak pulang, yang ada tengah malam Mama datang kerumah ibu memarahi dan mengancam akan memecat ibu.

Sedih tentu saja tapi yang paling mendominasi adalah marah. Memang apa salahnya gue tinggal dengan ibu, dia yang memberi gue tumpangan yang memberi gue kasih sayang ibu juga yang begitu memahami gue. Lalu apa salahnya gue ingin tinggal dengan ibu, toh kalau di rumah gue mana pernah dianggep.

Tapi ya itu tidak akan pernah terjadi, mereka selalu bersikap seolah mereka perhatian kepada gue. Yah, mau bagaimana lagi kalau dari kecil sudah terperangkap dalam rasa kesepian, untuk menuju jalan keluarpun akan sulit.

Setelah tadi malam gue dimarahi habis-habisan oleh Mama dan Papa tanda ada yang bela gue dan tanpa bertanya apa alasan gue pulang larut, gue memutuskan untuk langsung tidur saja tanpa mendengarkan apa lagi yang mereka permasalahkan. Bukannya apa-apa, toh mendengarkan mereka hanya akan gue darah tinggi.

Padahal tadi malam niat gue pulang ingin disambut dengan penuh kehangatan bukan malah dengan kata-kata yang menyulut emosi. Memangnya mereka tahu apa yang terjadi dengan gue? Apa mereka tau apa yang gue rasakan? Jawabannya tentu saja tidak. Kedua orangtua gue itu memuakan, selalu menuntut sempurna tanpa mau tau suatu celah.

Semua orang pasti menginginkan otak yang cerdas, tidak ada didunia ini yang menginginkan bodoh kalau bukan orang gila. Lagian kenapa kalau gue tidak pintar lagian gue juga tidak bodoh-bodoh banget. Otak gue masih bisa mikir kalau dalam keadaan mendesak.

Dari pada mikirin kejadian tadi malam lebih baik segera turun ambil sarapan lalu berangkat sebelum semua orang Perfect itu berkumpul di meja. Kenapa gue nggak mau ikut sarapan dengan semua orang Perfect ya jawabannya karena nantinya gue terkucilkan. Lagian gue juga nggak ada niat buat sarapan bareng mereka.

Dengan santai gue berjalan menuju meja makan paling tidak mengambil dua lembar roti sudah cukup untuk mengganjal perut. Tapi sayangnya apa yang telah dia angankan tidak terjadi. Baru saja gue akan sampai meja makan, tapi ternyata disana semua penghuni rumah ini sudah berkumpul. Ya sudahlah untuk hari ini gue nggak sarapan nggak papa, lagian nggak sarapan juga nggak akan bikin mati.

Dengan buru-buru aku langsung mengambil sepatu di dalam kamar dan memakainya di depan rumah. Nggak mau lagi kejebak hujan, mau nggak mau akhirnya gue memutuskan menaiki sepeda menuju sekolahan, toh hanya 8 km saja. Lagian sekarang juga baru jam 6, masih sempetlah gue buat beli nasi bungkus di dekat sekolahan buat makan siang nanti.

Biasanya sih gue lebih suka bawa bekal, tapi karena tadi gue melewati acara sarapan jadi nggak mungkin juga ibu beres siapin sarapan buat gue. Lagian tadikan gue berangkat juga nggak pamitan, biarlah gue dapet dosa hari ini yang penting sekarang gue harus cepet-cepet sampai warug deket sekolah.

Untung saja warung yang jual nasi deket sekolah kalau pagi belum marai pembeli jadi gue nggak perlu antri dan mempersingkat waktu. Kalau ramai mungkin saja gue bisa telat, apalagi ini hari rabu dan yang piket jagain gerbang adalah pak Agus – guru paling killer – bisa-bisa habis sudah riwayat gue.

Lagi-lagi dewi keburuntungan berpihak di gue, saat tiba di sekolah ternyata baru sebagian anak yang sudah datang. Bukannya malu tapi lebih ke bersyukur sih karna tidak telat, mungkin 10 menit lagi ini sekolah sudah ramai.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 20, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

PerfectWhere stories live. Discover now