Satu Rumah

278 52 50
                                    

2011 . Jombor, Daerah Istimewa Yogyakarta. Di bawah langit malam yang terang namun sunyi di bulan Juni.

"Guna duduk pan sirna
Sakehing lara pan samya bali
Sakeh ngama pan sami miruda
Welas asih pandulune
Sakehing braja luput
Kadi kapuk tibaning wesi
Sakehing wisa tawa
Sato galak tutut
Kayu aeng lemah sangar
Songing landhak guwaning wong lemah miring
Myang pakiponing merak
Pagupakaning warak sakalir
Nadyan arca myang segara asat
Temahan rahayu kabeh"

Kidung Rumekso Ing Wengi warisan Sunan Kali Jaga itu dinyanyikan oleh Darmawan sambil merapihkan beberapa berkas, surat-surat dan sertifikat. Lusa ia harus membawa semua itu ke Jakarta.

Selepas kepergian istirnya ke pangkuan Tuhan, ia sulit sekali untuk tidur. Matanya masih menangkap jelas bagaimana istrinya tersenyum, memanjakan dia, menyajikan makanan di meja, menyambutnya pulang kerja, hingga menguatkan dirinya setiap kali ada masalah. Darmawan tidak sanggup lagi tinggal di rumah ini dengan bayang-bayang semua itu.

"Ayah udah bener-bener yakin untuk pindah?" Tegur Sila, anak gadis semata wayangnya yang sedari tadi mengintip dari ruang makan. Darmawan langsung melangkah ke arah anaknya itu.

"Kamu tenang saja. Semua sudah ayah urus." Jawab Darmawan sambil menuangkan air ke dalam gelas.

"Memang selalu ayah yang urus kan?"

"Halah, kalau gak ada ayah, kamu bisa apa?" Mendengar jawaban ayahnya itu, membuat Sila akhirnya terdiam menunduk, mengepalkan tanyannya.

"Iya, Sila gak tau apa jadinya tanpa ayah." Balas Sila sambil beranjak dari kursi lalu melangkah kembali ke kamarnya lalu menutup pintu dengan keras.

( BRUKKKKKK )

"Sila, jangan belagu, kamu!" Ucap Darmawan dengan nada tinggi. Matanya terbuka lebar, wajahnya memerah, dan tubuhnya gemetar. Pada saat itu Darmawan menyadari satu hal. Apakah yang membuat anaknya seperti ini karena didikannya?

******

Keesokan pagi harinya, matahari bersinar amat terang. Seterang rumah Darmawan saat ini. Tidak ada pajangan lagi yang menempel di dinding, tidak ada lagi buku-buku berantakan di bawah meja tamu, koran-koran yang menumpuk dari lima tahun lalu juga tidak ada, peralatan makann dan perabotan masak di dapur juga sudah tidak ada. Dan sebagian perabotan ditutup kain putih agar tidak berdebu.

Sementara itu, Sila sibuk me-reject panggilan telfon sambil menata koleksi novelnya ke dalam kardus-kardus. Sila sengaja tidak mengangkat telfon dari pacarnya itu yang terus berdering dari sejam yang lalu lantaran sibuk menilah-milah novelnya berdasarkan penulis dan genre. Hanya novel-novel kesayangannya itu yang akan ia bawa pindah ke Jakarta besok.

"Sila! Itu telefon kamu angkat dulu deh, siapa tahu penting. Bersisik nih." Teriak Ayah Sila dari teras rumah sambil menunggu Samin dan mobil pickupnya datang.

"Biar aja Yah, si Haldy itu. Abis aku beres-beres buku, aku mau ngajak dia putus!" Jawab Sila dengan enteng. Darmawan langsung melangkah ke kamar Sila.

"Sini, biar ayah yang angkat." Ucap Darmawan sambil mengambil ponsel anaknya itu lalu membawanya ke depan rumah. Sila cukup bingung dengan tindakan ayahnya itu. Dan Sila pasrah begitu saja. Sila sadar ia tidak pernah ada
'power' untuk melalukan apa yang ia harus lakukan.

Tidak lama kemudian Samin bersama mobil pickupnya itu datang. Ayah Sila bergegas mengumpulkan barang-barang yang siap dibawa untuk dinaikan ke mobil.

"Sampun lami ngentosi nggih pak?" Tegur Samin.

"Mboten kok santai mawon, dek."

"Mriki kulo rencangi barangipun teng mobil."

Very Ordinary Friendzone 2012Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang