Enam Hari

43 10 11
                                    

Kehangatan peluk Rajendra masih Sila bawa hingga tiba di sekolah. Meskipun setelah itu tidak ada sepatah katapun keluar dari mulut mereka. Mata pun tak saling menatap, dan langkah juga tidak beriringan. Namun bisa dipastikan keduanya memeliki perasaan yang sama, yaitu malu.

Sila menghentikan langkahnya sejenak ketika melihat Daris, Fito dan Tara melambaikan tangan dengan senyum lebar yang tertuju untuknya dari ujung koridor. Sila menghela nafas, mamantapkan dirinya untuk tetap tegar dan melupakan apa yang telah terjadi.

Setelah itu kakinya kembali melangkah sambil membalas sapaan mereka. Sila dengan matanya yang bersinar, berlari dengan riang menghampiri mereka yang sedang berdiri tepat di depan Mading.

"Heyyy!" Sapa Sila sambil merangkul mereka erat.

"Tumben lo jam segini udah datang?" Ledek Fito sambil membersikan sarang laba-laba di mading.

"Yee, Sila mah kan rajin." Saut Tara sambil memotong kecil-kecil double tip.

"Udah lah buru ini kita urus mading. Bentar lagi masuk." Ucap Daris.

Mereka memulai satu persatu menempelkan beberapa artikel, tulisan, opini, berita utama, gambar hingga hiasan yang mereka buat kemarin dengan serapih-rapihnya berdasarkan sketsa dan tata letak yang telah mereka rancang. Tidak lupa juga mereka menempelkan kotak Pojok Mading untuk menampung kritik dan saran.

Setelah beres mengisi itu semua, kini Mading sekolah tampak menarik dan bernyawa lagi, setidaknya untuk mereka yang kini senyumnya tersimpul manis.

Ada rasa bangga dan puas atas apa yang telah mereka perjuangkan. Lalu mereka membubarkan diri ke kelas dan membiarkan penilaian apa yang akan diberikan atas mading itu.

Detik demi detik, murid-murid berdatangan. Kali ini langkah mereka seolah terpakasa berhenti ketika melewati depan mading. Tidak bisa disangkal, mading itu sangat mencuri perhatian, bahkan hingga tertutup oleh gerombolan murid yang penasaran ingin melihat dan membaca isi mading tersebut.

Senang dan sedih memang datang sepaket. Mading itu mendapatkan apresiasi dari semua pihak, dan kini menjadi perbincangan para guru dan Kepala Sekolah saat jam istirahat.

"Lhoh bukannya sebagian dari merka itu yang pernah dihukum membersikan toilet? Jadi mereka yang mengusulkan diadakan ekskul Jurnalistik?" Tanya Kepala Sekolah kepada Wali kelas 3 IPS 5, Pak Karto.

"Ya memang Pak, lantas apa karena pernah berbuat kesalahan berarti mereka tidak bisa melakukan kebaikan? Anak-anak tuh lucu ya Pak, kalau sudah punya kekarepan, susah buat dihentikan." Bela Pak Karto.

"Yandi pernah meminta saya untuk menjadi pembimbing ekskul Jurnalistik. Tapi saya rasa dengan kualitas mading yang seperti itu, saya hanya perlu mengontrol saja kan, Pak." Ucap Bu Amalia, guru kesenian.

"Iya, Bu Amalia. Biarkan saja keliaran mereka itu tertuang dalam bentuk kreatifitas." Jawab Kepala Sekolah.

Di lain ruangan, tepatnya di kelas 3 IPA 1, Manda, Yandi dan Rajendra yang kebetulan satu kelas dan sama-sama anggota OSIS, membahas sebuah pesan yang baru saja dikirim oleh Bu Amalia.

"Jadi disetujuin gitu aja nih ekskul Jurnalistik?" Ucap Manda pada Yandi dan Rajendra yang hendak keluar kelas untuk istirahat.

"Yaa bagus lah." Jawab Yandi sambil menengok ke arah Rajendra yang tiba-tiba terdiam dengan tatapan mata kosong.

"Oke, gue gak masalah yaa itu ekskul mau disetujuin apa enggak. Cuma masalahnya kenapa ini jadi wajib buat anak OSIS?" Protes Manda.

"Kalau gua sih bakal bangga ya, Nda."Jawaban Yandi semakin membuat Manda kesal. Kemudian Yandi merangkul Rajendra, mengajaknya keluar kelas.

Very Ordinary Friendzone 2012Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang