Hana Shava Anjani

2 0 0
                                    

"Hanaa.. makan dulu nak, ayah sudah menunggu. Kita makan sama sama ya.." ajak ibu saat kini ku tertidur lelap. Suara lembut itu seakan membuatku ingin melanjutkan tidurku lagi. Tapi aku tidak ingin mengecewakan pemilik suara lembut itu.

"Apa bu.. ini Hana sudah bangun.. nih liat" balasku dengan keadaan aku terbangun dari tidurku, duduk di ranjang dengan mata tertutup.

"Sudahlah nak.. bangunlah, mandi kemudian keluar kita makan bareng ya.." ibu selalu begitu, sebelum pergi dari kamar tak lupa mengelus kepalaku, membuatku tak ingin kehilangan moment moment penting dengannya. Seperti saat ini.

Tanpa sadar saat ini aku sudah dimeja makan melihat keromantisan ayah dan ibu, makan berdua dalam satu piring, bagiku itu romantis. Tiba tiba pandanganku kabur, ayah dan ibu perlahan hilang dari pandanganku, hingga mataku terpejam dan kubuka lagi aku sudah berada diingatanku saat aku masih kecil didalam dekapan ibu dengan keadaan darah mengalir didahinya, luka dipipinya terkena pecahan kaca yang saat ini sedang menghinggapi wajah cantik ibuku saat melindungiku.

Dan kulihat disamping, kepala ayah sudah berada di stir mobil dalam keadaan darah berucucuran darah dan kakinya yang beringsut kesamping sudah tidak seperti normalnya seperti terdorong sesuatu. Kulihat di jendela mobil ayah dari dalam truk besar sudah menghantam mobil kami. Sangat tragis melihat ayah dalam keadaan seperti ini dan ibu.

"Ppeerr.. ggii.. laahh Hana, ii..buu tidak apa.. apa.." suara parau itu mengalihkan pandanganku seketika, dan menoleh ke asal suara. Melihat wajah ibu, aku langsung teriak sebisaku, meminta pertolongan orang sekitar. Seketika napas ibu terhenti setelah ia mengucapkan kata yang membuatku berteriak. Ia mengucapkan bahwa dirinya dan ayah sangat beruntung memiliki ku, melihat pertumbuhanku yang diatas rata rata anak seusiaku.

Untuk anak seusia 8 tahun, harus kehilangan orang tua dan menyaksikana bagaimana orang tuanya menghilang.

Bantuan pun datang, tapi bukan dari ambulance atau warga sekitar, tapi dari seseorang yang akupun lupa wajahnya, salah satu yang kuingat, dia punya tato atau tanda tapi berbentuk aksara jawa di pergelangan tangannya, "ca" aku tau bentuk aksara itu saat guru bahasa jawaku memerintahkan kami untuk menghafal dan menulis di buku.

Dan aku sempat melihat huruf jawa lagi di leher belakang bawahnya saat ia mendekapku, menjauhkanku dari jasad kedua orang tuaku, huruf itu terlihat seperti aksara jawa lagi "ra ka"

Akupun didudukan olehnya dan iapun sempat melihatku namun aku tak melihat benar wajahnya karena ia membelakangi sinar matahari. Ia hanya berucap "duduklah yang manis, ibumu sudah berbahagia dengan ayahmu. Kau, ikuti saja alur hidupmu"

Belum sempat aku berucap, bantuan pertolongan datang menghampiriku, melihat keadaanku, menanyakan keadaanku, namun aku tak menggubrisnya.. yang kulihat saat ini adalah orang yang tadi menolongku menjauhkan ku dari ayah dan ibuku.

"Heii.. kau kak, mas, eh pak.. heeii..." pandangan yang tadinya jelas kini berubah menjadi samar siluet dan cahaya putih kemudian berubah menjadi langit langit kamar ku yang kupenuhi dengan stiker aneka bentuk yang ada di angkasa.

Kuterbangun tepat sebelum subuh menjelma. Pukul 03.45, aku bangun dengan malas, sambil berjalan keluar mencari air untuk mengisi tenggorokan yang kering. Sambil duduk di kursi sebelah kulkas. Bayanganku kembali teringat pada sosok yang menolongku waktu itu. Empat belas tahun berlalu tapi aku masih mengingat betul pakaian yang saat itu dia kenakan, jubah kebesaran berwarna maroon dan hitam dipadupadankan dengan celana kain gombrong dan sepatu slop khas orang nikahan.

"Hahh.. sudahlah, pagi begini enaknya mandi. Jarang jarang nih bangun pagi gini. Biasanya masih molor, dan berangkat kerja kadang gak mandi. Gegara takut telat.. eiiuhh" akupun merutuk diri sendiri.

Hana CarakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang