Suara alarm handphone yang ketiga kalinya gue denger pagi ini menyeruak. Suara merdu Adam Levine yang menyanyikan Payphone memenuhi kamar gue. Tanpa daya, tangan gue berusaha menekan kata "dismiss" di layarnya.
Wait....
Gue baru sadar hari ini kan hari pertama gue pindah sekolah?
Dengan enggan gue berusaha bangun dari tempat tidur.
Telat dikit gapapa lah ya, gue kan anak baru.
Telat dikit yang gue maksud pagi itu ternyata berujung jadi telat banget. Pukul 09.17 yang mana udah hampir jam istirahat pertama--kata satpam--gue baru aja sampe di sekolah. Sepanjang jalan dari rumah bahkan sampe hampir masuk ruang guru, setiap langkah gue selalu beriringan sama omelan Mama.
Setelah banyak babibu antara Mama dan Wali Kelas baru gue, akhirnya gue dianter ke kelas. Berhubung masih ada guru yang mengajar, jadi gue harus tunggu sebentar sebelum akhirnya masuk ke kelas.
Suasana kelas cukup ricuh, ya kaya kelas pada umumnya sih. Tanpa gue sadari ternyata sedari tadi gue nunduk. Padahal sebelum berangkat gue udah janji sama diri sendiri buat lebih confident.
You got this, Jeara.
"Oke, semua, Ibu minta waktunya sebentar ya sebelum kalian istirahat. Jadi, ini anak baru yang tempo hari, Ibu bilang."
Sorak sorai rame dari para penghuni di kelas itu pecah. Yang paling mendominasi sih dari anak-anak cowo yang duduk di bangku tengah agak belakang, di sekitar sepupu gue, Rehan. Gue yakin itu pasti geng dia yang sering dia ceritain ke gue. Gatau kenapa bikin gue agak ga nyaman disorak-sorakin gitu.
"Gila ga sekalian aja berangkatnya tar sore biar langsung jam pulang!" teriak Rehan dari bangkunya.
Ibu Wali Kelas sibuk menyuruh anak muridnya pada diem. Gue pun memanfaatkan kesempatan itu buat mengirim death glare ke Rehan yang langsung diketawain temen-temen gengnya.
"Udah ya anak-anak. Sekarang kita dengerin perkenalan dari teman baru kita dulu. Silakan," ujar si Bu Guru, mempersilakan gue.
Gue langsung gelagapan.
"Emm.... Hai? Hai semua. Gue...gue Jeara. Panggil aja, Jeje. Udah Bu," ucap gue secepat mungkin saking malunya. Mungkin sampe mereka ngira gue lagi kumur-kumur.
"Loh? Masa segitu doang, sih? Belum pada kenal itu temennya," jawab Bu Guru itu dengan sok asiknya. "Iya, silakan ada apa Sarah?"
Gue mengikuti arah mata Bu Guru yang ternyata mengarah ke salah satu perempuan di bangku belakang yang duduk sendirian. Si Sarah Sarah itu ternyata tunjuk tangan.
"Cuma mau tanya aja, alasan pindahnya kenapa? Soalnya kan masih awal semester juga," tanya dia, dingin.
Buat gue, pertanyaan itu rasanya kaya pukulan. Bahkan otak gue yang katanya encer ini seketika jadi beku. Karena jawaban dari pertanyaan itu adalah sesuatu yang mati-matian gue pendam, terkunci rapat di ruangan yang paling dalam dan paling gelap dalam hidup gue yang bahkan gue sendiri berjanji ga akan pernah buka pintunya lagi.
"Mau dijawab, Jeara?" Ibu Guru itu sedikit menyenggol gue yang ketauan ngelamun.
"Oh, iya, gue pindah karena tuntutan pekerjaan orang tua, eh, Mama."
Bel istirahat berdering dan kericuhan kembali terjadi di kelas itu. Akhirnya si Ibu Guru membiarkan anak-anaknya bubar keluar kelas.
"Jeara, saya harap kamu bisa segera menyesuaikan ya disini. Silakan kamu pilih sendiri tempat duduknya, itu ada dua bangku yang kosong."

KAMU SEDANG MEMBACA
Hiraeth
FanficH i r a e t h ; (n) a home sickness for a home you can't return to, or never was. gladiolust, 2020.