Selesai.

30 6 2
                                    

*revisi*

          Bel istirahat baru saja berbunyi lima menit yang lalu pada salah satu sekolah menengah pertama yang ada di kota itu. Para murid berhamburan keluar kelas untuk menuju destinasi utama mereka saat istirahat—sebut saja kantin, yang tentunya untuk mengisi perut mereka yang sedari tadi mengoceh kelaparan.

            Hal itu juga berlaku pada sebagian besar penghuni kelas VIII-C. Banyak dari mereka yang memilih menghabiskan waktu istirahat di kantin, ataupun hanya duduk pada bangku yang ada di depan kelas, sekadar untuk menghabiskan bekal bersama.

            Namun, kedua hal itu tidak berlaku pada dua gadis sebaya yang ada di kelas itu. Karena, dua gadis berumur tiga belas tahunan itu lebih memilih sudut kelas yang nyaman untuk berbincang ringan dan mengerjakan tugas, sembari untuk menghabiskan waktu istirahat mereka kali ini.

             “Ah... lelah ya Ra, masih sekolah menengah sudah banyak tugas begini, belum lagi kerja kelompok dan kegiatan lain di luar,” ujar salah satu gadis pada gadis lain di hadapannya yang diketahui bernama Maira.

             “Iya ya Liz, rasanya tugas itu ga ada habisnya.” Jawab Maira.

             “Bener banget. Apalagi kalau ingat kerja kelompok bawaannya sedih, soalnya ngga dibolehin keluar-keluar. Huft, kalau sedih gitu bawaannya jadi kangen bunda.” Sambung gadis bernama Eliza, yang berujar disertai helaan napas panjang.
           
          Maira mengernyit bingung, “Loh, memangnya bundamu kenapa?”.

        Mata Eliza berkaca-kaca, namun sebisa mungkin ia mencoba tersenyum. Sambil menahan kesedihan yang tiba-tiba menyergap dirinya, gadis itu tetap berusaha bercerita, "Aku harus berpisah dengan bundaku di usia yang masih belia, atau lebih tepatnya saat aku masih berusia 4 tahun. Saat itu, keadaan keluarga kami benar-benar kacau. Aku bahkan masih ingat bagaimana kemarahan ayahku pada bundaku. Aku mengerti, bundaku memang bersalah, tapi aku tidak ingin keluargaku berakhir menjadi seperti ini."

          Maira yang mendengarkan itu tersentak, ia baru mengetahui fakta dibalik keceriaan gadis di hadapannya selama ini. Ia tersenyum memahami, sembari memberi semangat untuk menguatkan Eliza, yang kini merangkap sebagai teman dekatnya.
         
        "Kamu pasti telah melalui banyak hari-hari yang berat ya Liz. Tapi, aku harap kamu tetap menjadi Eliza yang biasanya yah! Aku juga yakin, bahwa kamu adalah gadis yang kuat! Buktinya, selama aku menjadi temanmu, aku bisa melihat senyuman jahil terlukis di wajahmu itu setiap saat," Maira mengelus pundak Eliza sesaat, kemudian bertanya, "Hmm lalu, bagaimana keadaan keluargamu sekarang?"

           Eliza menyunggingkan senyum kecil untuk menanggapi pernyataan dari Maira. Ia mendesah pelan, lalu kembali buka suara melanjutkan ceritanya tadi.

"Setelah perceraian kedua orang tuaku yang benar-benar nyata, kehidupan masa kecilku yang sempurna berubah 180 derajat kearah yang tak pernah kubayangkan. Terlebih saat itu, aku memiliki adik perempuan yang masih balita. Sementara di sisi lain, hak asuh kami berdua jatuh ke tangan ayah kami. Aku dan adikku tentunya kehilangan berbagai momen yang harusnya bisa kami lalui dengan genggaman erat dari tangan seorang ibu. Kami kehilangan banyak hal yang harusnya bisa terlewati dengan dukungan dan kekuatan dari seorang ibu. Terkadang aku tidak mengerti, mengapa dari sekian banyak takdir, takdir seperti ini yang harus kujalani?"

            Maira hanya terdiam sembari tetap mendengarkan gadis di hadapannya, yang kini mulai meneteskan air mata. Sebenarnya  ia ingin buka suara, atau lebih tepatnya juga ingin bertukar kisah. Akan tetapi, melihat teman dekatnya yang mulai berlinangan air mata itu membuat ia urung melakukan apa yang diinginkannya. Terlebih, saat teman dekatnya itu belum tuntas mengeluarkan seluruh beban yang terpendam di sudut hatinya. Gadis dihadapannya—Eliza, mulai membuka suara lagi untuk melanjutkan ceritanya tadi,

About AcceptanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang