Sudah hampir pukul delapan malam ketika anggota ekstrakurikuler dance menyudahi latihan mereka. Latihan intensif ini dilakukan mengingat tanggal perlombaan yang sudah dekat.
Muthe menyeka keringat di dahi dan lehernya sambil duduk di sudut ruangan bersama Ara, temannya dari kelas sebelah.
"Ara, nanti nebeng, ya. Turunin aja di depan gang kaya biasa. Ya? Yaa?" Muthe memohon. "Rumah kita kan searah."
Ara yang sedang minum hanya mendelik. Ia mengusap bibirnya yang basah kemudian menoleh. "Gak bisa. Gue bareng Jessi."
"Dih, kok gitu? Emang Jessi ngapain di sekolah malem-malem begini? Mau bener nungguin lo." Muthe berdecak kecewa lalu membereskan barang-barangnya. Ia berhenti sebentar sambil mengingat sesuatu, kemudian menatap Ara yang sudah akan beranjak. "Eh, bentar deh. Jadi lo itu sama Fiony atau sama Jessi?"
"Apaan, sih?" Ara menoleh panik, wajahnya memerah. Gadis itu segera meninggalkan Muthe dan berjalan bersungut-sungut. Muthe tertawa tengil, merasa berhasil mengusili Ara.
"Bareng dong!" seru Muthe sambil berlari menyusul.
"Udah dibilang gue sama Jessi. Dia lagi latihan basket buat turnamen minggu depan, tuh. Kasihan kalo pulang sendiri." gerutu Ara.
"Lo nggak kasihan sama gue?"
"Telpon nyokap bisa kan?"
"Jahat banget, sih." Muthe membuang napas putus asa lalu memilih untuk memberi pesan pada ibunya minta dijemput. Muthe menyimpan ponselnya kemudian menoleh pada Ara. "Berarti sekarang lo mau ke GOR nonton anak basket?"
Ara menunduk memperhatikan jam tangan sekilas. "Iya, kayanya mereka belum kelar."
"Wih, ikut dong. Siapa tahu ketemu yang cakep."
Ara hanya mengerucutkan bibir dan membiarkan Muthe mengekorinya dengan bahagia. Gedung olahraga mereka masih terang dan ramai, itu artinya latihan basket memang belum selesai. Ara dan Muthe lalu mengambil tempat di tribun sambil mengawasi lapangan dengan antusias.
Muthe mencondongkan tubuhnya ke pembatas untuk melihat dengan lebih jelas, gadis itu berdecak kagum melihat beberapa pemain di lapangan. "Zee keren, sih. Sekarang gue ngerti kenapa kakak kelas macam Kak Lala mau sama bocah tengil itu."
"Kak Eve juga keren." Ara ikut mencondongkan tubuhnya ke pembatas sambil mengawasi Eve. Tidak bisa dipungkiri, meski kakak kelasnya itu bertampang bad girl dia tetap baik meski tengil juga macam Zee.
Muthe menoleh pada Ara. "Bukannya di semester dua kelas dua belas udah nggak boleh ikut kegiatan ekskul, ya? Kaya Kak Zara sama temen-temennya itu."
Ara mengendik. "Mungkin Kak Eve sama yang lain pingin banggain sekolah buat yang terakhir kali. Guru-guru sih nggak masalah asal akademik mereka aman."
"Susah, ya." Muthe menompang dagu. "Tahun depan kita udah kelas dua belas terus keluar dari ekskul dance."
"Ya, makanya lomba bulan depan itu kita harus menang."
Muthe mengangguk. Ia mengawasi lapangan lagi dan meringis melihat Jessi baru saja bertabrakan dengan Zee saat berebut bola. "Mampus Azizi. Itu Jessi mantep juga tenaganya sampai Zee jatuh."
Ara tersenyum masam. Tahu begini saja Muthe sudah kaget, apalagi kalau nanti dia tahu Jessi ikut taekwondo dan membalikkan tubuh musuh-musuhnya di arena.
Muthe mengerutkan kening melihat pelatih menggantikan Zee dengan murid lain yang wajahnya tampak asing. "Siapa tuh?"
Ara menoleh tidak percaya. "Gue pikir lo tahu. Dia murid baru, pindahan dari Jepang. Udah seminggu padahal dia di sini. Denger-denger sih dia atlet basket dari SD di Jepang sana."
"Hah?" Muthe menoleh tidak percaya kemudian berdecak. "Ih, tahu gitu tiap istirahat harusnya gue di kelas dulu ikut anak-anak yang lain gosip."
Ara tertawa. Muthe memang selalu bersemangat di ekskul dance setelah ia terpilih untuk mengikuti kompetisi bulan depan. Karena lomba tahun ini menuntut kreatifitas siswa tanpa bantuhan pelatih, jadi di setiap istirahat ekskul dance selalu menyempatkan diri untuk berkumpul dan membuat gerakan. Muthe selalu datang paling awal selama itu, jadi dia melewatkan berita-berita hangat yang beredar di sekolah.
"Siapa namanya?"
"Christy."
Muthe mengerutkan kening. "Nggak ada unsur Jepangnya tuh nama."
"Nama doang kenapa, sih?" Ara melirik malas.
"Ya, gimana ya? Biasanya orang Jepang kan namanya kaya Sakura, Hitomi, Nako-"
"Kesukaan lo aja itu mah."
Muthe mengerucutkan bibir kesal dan kembali menatap lapangan, lebih tepatnya memperhatikan gadis bernama Christy itu. Muthe menerjap beberapa kali saat memperhatikannya. Rasanya ada yang berbeda dari Christy. Caranya menatap orang lain membuat Muthe kagum. Sorot mata itu terasa hangat, dia juga memilik aura bersahabat yang kental. Tapi, bagaimana bisa?
Begini, anak-anak basket di sekolah itu identik dengan aura keren yang menggoda, tapi Christy terlihat seperti anak kecil polos menggemaskan yang terjebak tengah kharisma kuat mereka. Semacam setitik emas di tengah kelabu.
Muthe menerjap dan menggeleng cepat. Ia segera mendekati Ara. "Ara, menurut lo, bisa nggak gue deketin Christy?"
"Nggak."
"Kok gituu? Bikin gue percaya diri dong." Muthe merengut sedih.
"Lo pasti cuma mau modus ke adik kelas kan?" tebak Ara.
"Oh, dia kelas sepuluh? Kirain seangkatan." Muthe menatap Christy sebentar. Ia kembali menatap Ara. "Nggak papa. Gue penasaran sih, masa lo nggak ngerasa ada yang beda gitu dari dia?"
"Jangan dibuat mainan ah, kasihan masih bocah itu."
"Ya, nanti kalau cocok diseriusin lah. Tenang aja. Kalo dia bales gue, berarti lampu ijo."
Ara mengibaskan tangannya. "Terserah, deh."
Bersambung
Hei, heheheh. Gatau mau ngomong apa. Semoga cerita ini lancar, deh. Jadi kayanya setiap part isinya bakal pendek-pendek, mungkin aku sanggup update tiap hari karena ini lagi lancar banget idenya, hehew.Sampai berjumpa besok ❤️.
Oiyaaa, hari ini sahur pertama, ya? Semangat kalian. Aku hanya bisa mendoakan karena kita beda server :")
❤️❤️❤️❤️