Seperti Bocah - Brisa

7 0 0
                                    

Saat itu hujan hampir turun. Angin menyusup dari celah pepohonan kokoh di sekitar taman.

Kelembutan nan mati itu pun mengalir seolah berkumpul dan berputar di kakiku. Dingin. Aku tidak memakai alas kaki.

Sesaat kemudian kakiku merasakan tanah yang basah. Hujan turun dengan sangat lebat. Satu-satunya gaun milikku, yang sedang kukenakan, menjadi basah.

Rambutku kehilangan dayanya, lemas terguyur hujan yang menyembunyikan tangisanku. Entah berapa lama lagi aku akan bertahan. Aku yakin tidak ada seorang pun yang akan menemukanku di sini, di sisi taman yang bahkan mungkin hanya aku saja yang pernah menyentuhnya.

Tunggu.

Sepertinya aku keliru. Seseorang muncul begitu saja. Ia memegangi gagang payung yang meneduhkan kami berdua.

Lengan kemejanya basah. Di wajahnya pun nampak bulir-bulir air menetes dari rambutnya yang berakhir di ujung dagu dan hidungnya.

"Ayo," ajaknya dengan tatapan tajam nan dingin yang lebih dingin dari serangan cuaca saat ini.

Dia membawaku ke halte bus. Disana ada beberapa orang berteduh sembari menunggu bus datang.

Setelah melipat payungnya, dia melirikku sambil tersenyum. Aku mulai membiasakan diri dengan sikapnya itu. Sikap dingin dengan nuansa gletser diantara gurun es. Dia sengaja tidak banyak bicara.

Beberapa saat kemudian jumlah orang di halte bus pun berkurang. Beberapa kursi telah kosong. Sementara kami masih tetap berdiri di sisi halte seperti sebelumnya. Sesekali kudapati dia memandangi cuaca di luar halte. Walau kelihatannya tenang, seperti dapat kulihat dengan sudut pandang dirinya, dia menunggu kesempatan untuk mengatakan sesuatu.

"Brisa," kudengar dia menyebut namaku. "Kau selalu membuatku khawatir."

Aku menatap kosong, "Apa yang perlu kau khawatirkan?"

Dia mengangkat bahunya. "Kau benar-benar memaksaku memasuki duniamu untuk mengenali dirimu, bahkan menyentuh sisi tergelapmu," katanya lagi.

Kugigit bibirku. Kupeluk tubuhku dengan kedua tangan bekuku. Jari-jari kakiku yang telanjang menggeliat kedinginan.

"Tidakkah kau sadar, aku membawamu pergi untuk menyadarkanmu?" ujarnya.

Kedua bola mataku menyudut padanya. Kulihat dia bagaikan sosok menarik di dalam fotografi dengan sorot mata lembutnya yang benar-benar menyiksaku.

"Kenyataan selalu berjalan dan tidak bisa beriringan dengan khayalan," katanya lagi.

Aku tidak bisa setia dengan kebungkamanku. Suara-suara di otakku mulai beresonansi. "Aku melihat banyak hal dan mengetahui lebih dari yang kau tahu, Aiden," lanjutku, "Aku melihat sisi dunia yang tidak pernah disentuh karena kita belum pernah kesana dan tidak pernah mau mengetahui yang ada di luar sana. Seperti sebuah kamar dengan kaca jendela yang sebenarnya menghalangi seluruh warna tersampaikan ke mata.

"Aku bisa melihat perang dan perebutan hak pada monumen dan tembok runtuh. Lalu orang-orang di keramaian, mereka bersama-sama namun membawa ego masing-masing. Kau telah membukakan mataku untuk memahami bahwa hanya ada kebohongan. Kita berada di sebuah perang ilusif dalam damai yang kekal. Kita akan mati. Aku pun bisa mati kapan saja. Mungkin karena konflik."

"Begitukah menurutmu? Kurasa kau hanya terlalu ekstrim dalam memandang dunia ini dan juga hal-hal kecil lainnya," katanya.

"Apakah aku gila? Aku merasa bahwa banyak sekali impian yang telah mereka renggut atas diriku. Semua ini membuatku malas tumbuh menjadi dewasa dengan bertambahnya pengetahuanku. Andai kata kita tidak pernah bisa dewasa. Mungkin kita semua akan damai-damai saja." Protesku.

"Brisa," dia menyentuh kedua pundakku. Punggungnya sedikit membungkuk agar matanya sejajar denganku. "Apakah kejahatan yang manusia buat itu kekal? Adakah lawan yang sepadan untuk hal itu? Kau selalu lari karena kau cenderung melihat dunia ini dari satu sisi pemikiran ekstrim dirimu saja. Kau terlalu membesar-besarkannya.

"Aku memiliki pandangan yang terbatas oleh pengetahuan tentang kehidupan akhirat, Brisa. Jadi bisa kukatakan, selalu ada cinta sebagai musuh terkuat kedzaliman atas dirimu. Cinta itu kekal dan sejati sejak awal dan sudah ada di dalam dirimu, sementara kejahatan hanya ada selama hidupmu saja."

Sebuah bus yang akan mengantar ke arah barat tiba. Angin dingin bercampur panas mesin agak mencarikan rasa kaku di kakiku.

"Hidup mengajarimu banyak hal dan memiliki satu tujuan yang mungkin belum kau pahami. Katakanlah sekarang kau sedang mempelajarinya.

"Brisa, akan ada seseorang yang menunggumu tumbuh dewasa untuk menua bersamanya."

Begitulah Aiden. Kesederhanaannya dalam memandang dunia telah membuatku jatuh cinta. Dan aku tidak ingin pura-pura tidak melihat keabsolutan cintanya ada di dalam diriku dengan menutup mata.

Tentang BrisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang