2

32 4 0
                                    

DIA AGA

dan

AKU ACA

Terucap terdengar mirip.

Begitulah Aga tanpa Aca terasa seperti musim kemarau yang kering butuh rintik hujan membasahi keduanya.

jatuhnya percikan air, disitulah kita bertemu.

Di bumi yang basah.

awal dari memory kita.










_____&______

"Iya mah. Aca bakal jaga diri disini"
Aku tersenyum mendengarkan omelan mama diseberang ponsel yang terdengar begitu khawatir. Padahal anaknya ini baru 1 hari meninggalkan rumah.

"Ingat jangan lupa minum obat"

"IYAH"

"Jangan mandi terlalu malam"

"IYAAHH"

"Jangan makan-makanan cepat saji yang nggak higenis"

"sudah tidak ada lagi Ratu baginda?", Ucapku Terkekeh.

Mama yang mendengar jawabanku, terdengar mencebikan bibirnya diseberang ponsel.

"Jangan lupa menghubungi mama sama papah setiap hari disini"

"ALWAYS"

"KALAU PULANG BAWA OLEH-OLEH", terdengar suara adikku, Miel berteriak membuat ponsel yang tadinya didepan telinga, ku dorong menjauh.

"Miel kalau bicara jangan berteriak seperti itu de", terdengar nada marah mama karna suaranya begitu sensi. Membuatku terkekeh,

"Iya mah, maafkan Miel"

"Ya sudah mama tutup teleponnya, Wassalamu'alaikum Caca Carica"

"Wa'alaikum salam Ratu Baginda Mentri"

Tut, bunyi telepon mama tertutup.

Aku menghirup udara banyak-banyak. 

kota Semarang sepagi ini sungguh sangat menyejukkan.

Mengerjakan skripsi akhir tahun kuliah sangatlah berat bagi mahasiswa sepertiku.

Meninggalkan kota Jakarta untuk mencari referensi dan menyejukkan pikiran adalah pilihan yang tepat. Pergi ke kota yang begitu asing  yang lebih dikenal dengan kota hujan_Semarang, dan disinilah aku berdiri. Memandang pemandangan yang tampak asing untukku lihat.

Orang-orang berlalu lalang menjajahkan dagangnya dengan cara dipinggul dan beberapa ada yang meletakan sesuatu yang bulat besar seperti nampan diatas kepalanya yang dirakit dari bambu. Aku tidak tau pasti apa namanya. Sepertinya namanya persis seperti bahasa Jakarta. Yang aku lihat diatas nampan tersebut banyak jajanan tradisional yang dibungkus kecil-kecil yang mereka bawa.

Aku mengecek jam diatas layar ponselku. Sudah jam 8, mengapa sedara tadi belum ada jemputan?

Merasa mulai sedikit khawatir aku memutuskan untuk berjalan kesebuah kedai dengan spanduk bertuliskan Garang Asem Bu Patni. Tampak asing untuk dibaca, seperti apa yah rasanya?

Dengan ragu-ragu aku

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 01, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DIA AGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang