Itu adalah penggalan sajak tua, lebih tua dari pada desa dan danau, mungkin sedikit lebih muda dari hutan dan gunung. Seluruh penduduk desa di kaki gunung ini hafal sajak itu. Dibacakan pada gadis-gadis sejak masih dalam kandungan, dibacakan pada para pemuda yang kelak akan memiliki anak gadis yang harus mereka jaga dari sang roh hutan yang nakal, yang menculik gadis-gadis dan memakan mereka-atau lebih buruk lagi, mengisi tubuh dan pikiran mereka.
Apa tepatnya yang dimaksud dengan 'mengisi tubuh dan pikiran' itu, aku pun tak paham. Seperti semua penduduk desa, aku tumbuh dengan mempercayai sajak itu dan berpegang kuat padanya. Sajak itu membuatku menutup semua pintu dan jendela ketika matahari mulai menggelincir ke arah barat, ke balik gunung yang perkasa. Atau setidaknya begitulah, hingga nenekku akhirnya pergi setelah perjuangan panjangnya, meninggalkan aku sebatang kara.
Sejak itu, pondok yang sepi membuatku diam-diam membuka sedikit celah di jendelaku tiap malam. Apa ruginya? Batinku. Dengan begini, setidaknya sinar bulan akan masuk menemaniku. Lebih baik lagi jika Waldgeist yang datang untuk memakanku.
Di setiap desa, pasti ada satu yang tidak bisa diterima oleh warga desa. Dicap aneh dan gila karena keinginannya melihat dunia luar, melihat langit di balik gunung, mengecap asin genangan air raksasa yang disebut samudra, menari-nari di bawah sinar bulan purnama. Dan di desa ini, si gila itu adalah aku. Hanya nenek yang menerimaku, dengan sedikit terpaksa karena aku cucunya, dan omelan setiap malam untuk membuatku menyimpan sendiri 'ide-ide gila'ku. Tapi walau demikian, dia menerimaku. Dan sekarang ia telah pergi. Pergi, dan tak akan kembali.
Mungkin... mungkin mati dimakan Waldgeist akan jauh lebih baik dari pada hidup terkurung kesepian seperti ini.
Malam ini, bulan terlihat lebih besar dan terang dari malam-malam kemarin. Sebuah purnama. Tanpa sadar, aku mendorong jendelaku terbuka lebih lebar, sementara aku duduk bertopang dagu di ambangnya. Kubiarkan saja angin malam yang dingin menampar mukaku saat mereka berhembus di antara dedaunan, membuat daun-daun dan ranting saling bergesekan.
Bagaikan musik.
Lama kelamaan gesekan dan desahan angin membentuk dentingan yang lebih jelas, berpadu menjadi alunan melodi.
Kemudian, seolah-olah sudah selalu berada di sana, seorang pemuda muncul di ambang jendela. Dia mengenakan poncho hijau dengan aksen kuning yang dililitkan sembarangan saja di leher dan bahunya, anting-anting bulu yang sewarna dengan rambut cokelatnya menggantung di sebelah kupingnya, dan harpa kecil dari kayu berada di genggamannya. Dia duduk di ambang jendela, matanya terpejam menikmati alunan melodi syahdu dari petikan harpanya.
Aku terlalu terpana untuk menjerit ataupun berteriak. Lagi pula, semakin kudengarkan musiknya, semakin terasa akrab melodinya. Seolah-olah lagu itu adalah laguku. Lagu ciptaanku, dan ia hanya memainkannya saja. Terbuai oleh melodi itu, tanpa sadar bibirku bersenandung dan musiknya berhenti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Waldgeist
FantasyKetika hitam warna langit Dan angin berhembus menggigit Itu lah waktu bagi sang dedemit Roh hutan bernama Waldgeist Ketika sang gadis bertemu dengan roh hutan yang nakal, akankah dia membiarkan dirinya dimakan?