Pahlawan

17 0 0
                                    

xx/xx/20xx

Mark berjalan masuk ke dalam museum yang baru saja dibuka di kota tempat ia tinggal. Untuk sebuah museum, tempat itu dibilang cukup ramai didatangi pengunjung. Bukan karena mereka menjual sesuatu disana, tapi karena itu adalah museum hologram pertama yang dibuka untuk mengenang para pahlawan yang telah wafat demi memperjuangkan kemerdekaan, keamanan, hak asasi, dan yang lainnya.

Terlebih setelah mereka melewati pandemi parah belasan tahun yang lalu.

Banyak anak muda yang berkunjung untuk sekedar mengabadikan hologram yang bisa berbicara, ada juga orang tua yang mengajak anak mereka untuk mengenal pahlawan-pahlawan yang berjasa bagi negara mereka. Tak terkecuali para veteran, yang ingin melihat dan berbicara pada teman-teman mereka yang gugur dalam tugas.

Mark juga memiliki tujuannya sendiri. Ia dengan mantap berjalan menuju sebuah bagian yang dikhususkan untuk para pahlawan yang gugur saat pandemi. Banyak hologram dokter, polisi, pemadam kebakaran, dan orang-orang lain yang sangat berjasa dalam membantu masyarakat melalui keterpurukan yang disebabkan oleh pandemi tersebut.

"Baik, kalian hanya diperbolehkan untuk berbincang dengan hologram selama lima belas menit per orang. Diharapkan untuk mengantri yang rapi," ujar salah satu pengurus museum tersebut.

Mark mengantri di sebuah barisan pendek di depan sebuah hologram seorang dokter. Hologram itu tampak sangat muda, dengan senyuman hangat menyambut orang yang ingin bercengkrama dengannya. Tidak butuh waktu lama untuk Mark menunggu gilirannya dan kemudian ia duduk di kursi yang telah disiapkan, menatap wajah hologram dokter itu, yang masih tersenyum padanya.

"Waktu anda dimulai dari sekarang. Selamat berbincang dengan Dr. Frank," kata pengurus museum yang berdiri disebelahnya. Mark mengangguk kemudian berdehem.

"Selamat siang dokter," kata Mark menyapa Dr. Frank dengan kaku.

"Selamat siang. Namaku Dr. Franklin Harper. Anda bisa memanggil saya Dr. Frank. Apa yang ingin anda tanyakan?"

"Baiklah," Mark mengambil napas dalam, "Jasa apa yang telah anda berikan pada negara ini, dokter?"

Hologram itu tersenyum, "Saya adalah dokter kepala yang menangani para pasien di garda depan saat pandemi berlangsung. Saya telah menangani ratusan pasien di rumah sakit xxxxx."

"Apakah anda bangga, senang karena dapat membantu banyak pasien, dok?"

"Ya, tentu saja," hologram itu masih tersenyum, "meskipun tidak semua bisa saya selamatkan, tetapi setidaknya saya telah berusaha semampu saya, sampai titik darah penghabisan."

Mark terdiam, tangannya terkepal kuat. "Apakah anda tidak merasa menyesal?"

"Tentu saja tidak. Menolong orang adalah tugas dan tanggung jawab saya sebagai seorang dokter."

Mark mulai muak dengan senyuman hologram itu.

"Apakah anda tidak menyesal telah menelantarkan anak anda, tidak ikut ambil bagian dalam kehidupan anak anda, dan tidak pernah berada di sisi anak anda ketika ia sangat membutuhkannya?"

Hologram itu terdiam, namun ia masih tersenyum.

"Tuan," kata sang penjaga museum, "tolong jangan membawa hal pribadi ke sini."

"Apakah anda tidak menyesal lebih memilih orang-orang yang tidak anda kenal daripada keluarga anda sendiri?" Mark berdiri, bertanya dengan emosi sambil menahan air matanya.

"Tuan, saya mohon hentikan dan silahkan tinggalkan tempat ini," tegur penjaga museum itu sambil menarik badan Mark untuk menjauhi hologram, namun ditepis oleh Mark.

"Apakah anda tidak menyesal telah menjadi ayah yang buruk untuk anak anda, Dr. Frank?! Jawab!!"

Hologram itu masih terdiam dan menunjukkan senyum yang sama. Beberapa penjaga museum datang dan menarik badan Mark dari hologram tersebut.

"Lepaskan aku!" Mark menepis tangan-tangan itu, "aku bisa keluar sendiri."

Ia berjalan pergi, menerobos para pengunjung yang berkumpul karena keributan yang ia ciptakan.

"Sebenarnya," jawab hologram tersebut, menghentikan langkah kaki Mark dan mencuri perhatian orang-orang banyak, "saya memiliki seorang anak yang tampan. Namanya Markus Ilyana Harper. Saya memberikan nama ayah saya dan istri yang saya cintai padanya, supaya ia dapat mengingat betapa pentingnya dia dalam kehidupan saya."

"Dia baru beranjak lima bulan ketika pandemi menyerang dunia. Saya tidak punya pilihan lain untuk diam di rumah dan berlaku seolah-olah tidak ada apa-apa. Saya punya tugas dan tanggung jawab sebagai seorang dokter. Saya harus bertarung dengan rekan saya yang lain. Dan saya sangat sadar ada pengorbanan besar yang harus saya lakukan demi memenangkan pertarungan itu; keluarga dan nyawa saya.

"Saya tidak bisa kembali setelah bertugas seperti dahulu. Nyatanya, jam bertugas saya tidak pernah selesai. Saya harus bergantian dengan rekan yang lain untuk mengurus para pasien selama 24 jam tanpa henti. Kadang kami tidak makan dan tidur demi keselamatan para pasien. Namun ada satu hal yang selalu membuat saya kuat dalam menjalani tugas, yaitu foto anak dan istri saya yang saya cintai.

"Saya ingat ketika ia berulang tahun yang pertama. Saya sangat ingin menelepon istri saya dan melihat ia meniup lilin pertamanya. Namun saat itu lonjakan pasien sangat besar, bahkan untuk duduk sekalipun saya tidak sempat.

"Saya harap, setelah wawancara ini, pandemi akan segera berakhir, dan saya bisa pulang kepada keluarga saya yang telah menunggu saya di rumah. Saya rindu anak saya. Saya rindu istri saya. Saya rindu untuk kembali ke rumah."

Hologram itu kembali terdiam dan tersenyum. Para pengunjung terdiam, begitupun Mark. Beberapa ada yang menangis, ada pula yang melihat Mark dengan tatapan iba. Mark tertunduk, terisak. Air mata yang telah sekuat tenaga ia tahan akhirnya mengalir deras.

"Terimakasih, Dr. Frank," ucapnya lirih. "Terimakasih."

"Senang bisa membantu. Saya berharap anda dapat belajar sesuatu dari pengalaman saya."

"Tentu, ayah. Tentu."

................................................................................................................

Mark berjalan keluar sambil menyeka air matanya. Tiba-tiba ada getaran dari saku kirinya. Ia mengambil ponselnya dan mengangkat panggilannya dengan sigap.

"Mark, apakah kau siap untuk shift hari ini?" tanya Ivanka dari seberang.

"Yeah, tentu saja."

"Kau baik-baik saja?"

Mark terdiam sejenak, kemudian tersenyum, "Yeah, aku tidak apa-apa. Hanya mengunjungi ayahku tadi."

"Ah, baiklah. Dr. Tony akan datang jam 3 siang nanti. Pastikan kau sudah harus hadir sebelum ia datang. Kau tau tabiatnya bukan?"

"Baik baik, aku paham. Aku akan segera ke ER dan mempersiapkan para dokter magang itu untuk menemuinya. Sampai jumpa," ia mematikan panggilan itu dan menghela napas.

Pandemi telah selesai. Semua orang dapat hidup tenang dan keluar tanpa rasa takut. Semua ini terwujud berkat orang-orang yang telah berkorban seperti ayahnya. Sekarang waktunya ia mengemban tugas dan tanggung jawab ayahnya dengan menyelamatkan para pasien yang membutuhkan pertolongannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 23, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kumpulan Kisah SedihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang