3 | namjoon dan jungkook

497 65 5
                                    

[long chapter!]

Di malam lainnya seperti yang sudah-sudah, Namjoon duduk pada beton tertinggi gedung tempatnya bernaung guna jadi lebih dekat pada cahaya bulan.

Barangkali tempatnya bernaung sesungguhnya bukanlah di bawah beton ini, melainkan di bawah bentang langit gelap penuh kerlip mimpi-mimpi.

Ia rogoh saku mantelnya, tarik keluar segenggam pemantik dan nyalakan batang lain di antara belah bibirnya. Dua kaleng soda di sebelahnya belum dibuka sama sekali, selagi ia cekik paru-parunya sendiri lambat-lambat.

Jungkook belum kembali. Ia berpikir, di mana kira-kira?

Namun agaknya semesta berikan ia jawabannya sedetik seusai membaca isi kepalanya.

"Hyung."

Namjoon menoleh cepat-cepat, temukan figur ringkih yang penuhi kepalanya seminggu terakhir. Itu Jeon Jungkook, adiknya. Anak itu datang seolah badai besar telah menimpanya. Ia datang, dengan kacau.

Jungkook memang datang. Tapi Namjoon benci.

Namjoon benci sorot kosong pada kedua matanya yang harusnya selalu dipenuhi kerlip bintang-bintang. Namjoon benci muka pucatnya dengan lingkaran mengerikan di bawah netranya yang harusnya terlihat berseri-seri. Namjoon benci bibir pucatnya yang kering kerontang kala seharusnya cemerlang. Namjoon benci tubuhnya yang jauh semakin kurus di saat ia memang sudah kurus sebelumnya.

Namjoon benci melihat Jungkook jadi seperti ini. Ia terlihat mati.

"Hyung," Jungkook panggil lagi dengan lirih. Ia tatap Namjoon tanpa rasa selagi tangan hangat pemuda itu tuntun tubuhnya lembut sekali, dudukkan ia di tempatnya.

Di tempat biasanya mereka berbagi tentang dunia yang bajingan dan mereka yang sekarat, disaksikan para penghuni langit malam yang turut hadir menemani.

Namun sekarang berbeda. Sekarang Jungkook yang sekarat, dan Namjoon tak ragu untuk injak kuat-kuat putung rokoknya yang masih panjang. Persetan tentang harga racun itu yang semakin meroket hanya untuk membunuh pelanggannya.

"Jungkook, kau ke mana saja?"

Mereka kembali duduk bersisian sebagaimana mestinya. Namjoon layangkan tatap penuh cemas pada sebelah, sementara ia tatap kosong bulan yang terlihat begitu terang malam ini.

Karena malam ini, Jungkook yang redup perlahan-lahan.

Dongeng-dongeng anak itu menjadi benar. Malam memang seharusnya gelap dan dingin dan mencekam. Kemudian mencekik dan menikam.

Untuk beberapa alasan tidak masuk akal, Jungkook ingin masuk ke dunia dongeng. Ia ingin jadi seperti Peterpan. Bocah laki-laki yang tak pernah gentar dan bebas menjalani hidupnya dalam dunia penuh angan dan mimpi-mimpi yang hidup.

Barangkali ia hanya ingin terbang dan pasrahkan tubuhnya pada ke mana hembusan angin membawanya, atau tertawa selepas mungkin sampai ke ujung paru-parunya dan bahagia sebagai anak-anak.

Jungkook ingin jadi seperti Peterpan.

"Aku ingin jadi seperti Peterpan, Hyung."

Kali ini Namjoon beri tatap bertanya-tanya. Ia mengernyit, berusaha memahami perkataan tiba-tiba yang Jungkook ucapkan setelah berhari-hari ditelan bumi.

"Kau ingin tinggal di Neverland?" Namjoon menebak memastikan. Apa mungkin Jungkook selama ini menghilang dan berkutat dengan dongeng anak-anak?

Hanya saja, jeda panjang merangkap mereka. Buat ramainya jalanan dan lalu-lalang di bawah sana terdengar semakin jelas pada rungu mereka yang membiru.

Jungkook menoleh, ciptakan garis lurus di antara pasang jelaga kelam keduanya yang bertemu.

"Aku... ingin berhenti bertumbuh."

Jungkook melirih, membisik sedu dalam perih yang mengudara dibawa angin. Ciptakan senyap lain yang mencekat dan hadir di tengah-tengah sementara ia makin sekarat.

Berhari-hari Jungkook kurung dirinya sendiri dalam kosong yang membelenggu. Hancurkan apa saja di hadapan—dan hancurkan dirinya sendiri lebih parah lagi. Unit apartemennya telah jadi medan berantakan bekas perang luar biasa. Dan ia adalah setiap kubu yang dirinya ciptakan sendiri. Menghajar habis-habisan dirinya sendiri.

"Tidak, Jungkook, apa maksudmu?" Namjoon raih lembut tangan Jungkook, ciptakan desisan perih yang tiba-tiba keluar di balik rintihan gigi-giginya.

Kerutan di dahinya menekuk semakin dalam, Namjoon ikuti instingnya dan tarik kain mantel panjang yang tutupi lengan Jungkook sekali hentak—

Dan temukan puluhan gores melintang yang berteriak pilukan tangis derita. Merahnya siratkan perih yang lebih dalam dari luka-luka kasar nan kasat itu sendiri.

"Astaga... Jung—"

"Kau tidak perlu khawatir lagi, Hyung. Aku tidak akan merokok atau minum alkohol atau hal apa saja yang kau lakukan."

Namjoon menggeleng, pelan, semakin lama semakin ribut.

"Hentikan, Jungkook."

"Aku tidak akan merecokimu tentang menunggu menjadi cukup dewasa; aku tidak perlu menunggu dua tahun lagi atau sepuluh tahun lagi atau selamanya, Hyung."

"Sudah... sudah, hentikan."

Jungkook tersenyum tipis guratkan pedih. Rasakan hatinya yang tadinya mati menjadi perih. "Karena aku tidak mau bertumbuh dewasa, Namjoon Hyung. Aku tidak mau bertumbuh lagi."

"Kubilang hentikan!" Namjoon tersulut, ia berapi selagi runtuh sekeping demi sekeping. Dadanya terasa diremas-remas dan sepasang matanya panas.

Jungkook tidak seharusnya begini. Ia tidak seharusnya berhenti bertumbuh dan berakhir, ia seharusnya tidak begitu. Ia seharusnya terus tumbuh dan mereka akan dewasa bersama-sama. Namjoon mungkin tidak akan membolehkan ia salah jalan sepertinya, tapi seharusnya Jungkook tumbuh dewasa.

Jungkook harus tumbuh dewasa.

"Kau tidak boleh berhenti bertumbuh... kau tidak boleh."

"Aku lelah."

"Aku tahu. Aku tahu kau lelah dan tertekan oleh dunia dan orang-orang dan semuanya dan kau hanya ingin semua berakhir dan menyerah—aku tahu."

Terdiam, Jungkook menegak air mulutnya sekali, tatapannya meremuk kemudian lebur. "Tidak. kau tidak tahu..."

"Sekalipun aku tidak tahu pasti bagaimana rasanya saat ini, tapi aku mohon padamu untuk bertahan lebih lama lagi." Namjoon eratkan genggamannya pada jemari Jungkook, mengaitkan kelimanya dan salurkan hangat yang menjalar pada seluruh tubuh sang adik.

"Aku, kan, sudah pernah bilang, Jungkook. Hidupmu berharga."

Jungkook masih bungkam, dan dalam diam ia jatuhkan pertahanannya sedikit demi sedikit. Menjelma berupa air mata yang mengalir lalu menetes melewati kulit beku pipinya.

"Jika kau tidak bisa bertahan untuk dirimu sendiri... maka bertahanlah untukku."

"Kita lewati ini bersama, ya?"

"Kau tahu aku selalu di sini untukmu dan kau bukan lagi orang asing untukku. Kau adikku, Jungkook."

Jungkook pecah, dan Namjoon runtuh. Ia menarik lembut sang adik pada pelukan erat yang hangat. Dan Jungkook—ia temukan rumah dan tempatnya pulang pada bahu Namjoon. Kakaknya.

"Maaf, Hyung."

Terisak, ia tercekat oleh kata-katanya sendiri selagi Namjoon usap-usap punggungnya guna tenangkan ia.

Namun ia terlanjur habis. Dan tak sanggup ucap kata lain lagi yang ditelannya kembali pada ujung kerongkongan.

Jungkook mengeratkan pelukannya pada Namjoon, berucap dan merintih dalam hatinya yang tak pernah sampai di ujung lidah atau didengar oleh angin;

"Maaf, aku tidak bisa."

▬▬▬

1000 words. pas.

peterpan | nk ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang