"Lihatlah Jeon Jungkook. Anak aneh."
"Jangan dekati dia, kau tidak tahu ya, ayahnya seorang pecandu narkoba?"
"Hei, aku tahu banyak dari kabar yang sering lalu-lalang tentang anak itu. Ibunya bahkan menjajakan diri pada pria-pria berkantong demi uang!"
"Dengar-dengar dia tinggal sendiri? Pfft. Apa ia dibuang oleh ibunya setelah ayahnya dipenjara?"
"Hei, Jeon Jungkook. Ayo main dengan kami."
"Hah. Lihatlah. Dia benar-benar datang, dasar terlalu percaya diri."
"Itu namanya tidak tahu diri."
"Hahaha. Kau benar!"
"Ayo beri dia pelajaran karena telah cari muka dan sok jadi anak rajin di depan guru. Kita perjelas siapa dia sebenarnya."
"Anak sampah. Lebih baik mati saja sana."
Suara tawa, ejekan yang tak henti berputar di kepalanya, kemudian hantaman-hantaman keras pada tubuhnya yang ia peroleh bertubi-tubi. Jungkook merintih dan meminta maaf, namun mereka tidak peduli.
Itu bukan yang terburuk. Tidak sebelum Jungkook membentak gerombolan anak-anak itu dan mereka murka. Menghantam kepalanya pada dinding gudang tanpa ampun.
Pelipisnya berdarah dan ia berteriak putus asa, namun sekali lagi, mereka tidak peduli. Mau dirinya mati saat itu juga, mereka tetap akan tertawa dan mengejek mayatnya.
Begitulah. Lucu.
▬▬▬
Jungkook datang mengunjungi ibunya hari itu untuk—kalau beruntung dan ibunya sedang dalam suasana hati yang baik—berkeluh kesah. Hanya saja ia justru temukan rumah yang sepi, namun penuh suara di lantai atas. Tanpa ragu ia langkahkan kaki-kakinya ke sana, berusaha agar tak tumbang.
Jungkook dengar suara-suara itu dari kamar ibunya.
"Ibu?" panggilnya. Namun suara-suara itu justru tak berhenti. Dan jujur, itu sangat mengganggu, dan membuatnya risih.
Ia jelas tahu suara apa itu. Umurnya enam belas, bukan enam tahun. Dan ketika takut-takut Jungkook buka pintu kamar sang ibu yang ternyata tak terkunci, tubuhnya beku dan mati rasa. Warasnya seolah dibawa pergi entah ke mana dan kepalanya kosong melompong.
Bergetar di posisinya, Jungkook bergerak tergesa-gesa dengan perasaan rusak, hingga tak sengaja menyenggol vas besar yang kemudian pecah.
Suara itu berhenti, namun jantungnya berdetak lebih ribut.
Ia turuni tangga dan berhenti di ujungnya, rasakan nyeri mendera dan menggerogoti kepalanya. Perih. Ia mendesis dan meraung kuat-kuat, memegangi sudut kepalanya yang dibalut kapas dan ditutup plester. Ibunya muncul kemudian, tanpa pria yang tadi menggelutinya di ranjang—ditinggalkan di dalam kamar. Ia hampiri putra tunggalnya dengan pakaian berantakan dan belum terpasang benar.
"Jeon Jungkook, apa yang kau lakukan di sini?" Angkaranya membumbung detik itu juga. Ia tatap nyalang sang putra, siap untuk luapkan emosinya lebih besar lagi.
Jungkook diam, terkejut. Ibunya adalah orang paling lembut yang pernah ia kenal. Orang-orang di sekolahnya tidak mungkin benar. Tapi kenyataan di depan muka.
"A-aku... aku... ingin datang mengunjungimu..."
"Dan kenapa kau tidak bilang dulu, anak bodoh?!" suaranya meninggi, bersamaan dengan Jungkook yang semakin dihantam rasa sakit.
"Maafkan aku, Ibu. A-aku lupa. Aku... aku tidak bermaksud—"
Maka ketika suara tamparan antara kulit telapak tangan sang ibu dengan kulit pipinya menggema, ia memotong kalimatnya sampai di sana. Nyeri di kepalanya datang lagi, namun nyeri yang ini jauh lebih perih.
"Pergi."
Jungkook membuka mulutnya perlahan-lahan, bersuara walau tercekat. "Maaf..."
"Kubilang pergi! Pergi dari hidupku dan jangan berani kembali. Dari awal, kau menghancurkan semuanya. Segalanya."
Benar.
"Pergi, Jeon Jungkook."
Ia memang menghancurkan segalanya.
Dan benar. Mereka semua tidak pernah peduli. Maka tidak bahkan dirinya sendiri.
Saat itu Jeon Jungkook pergi dari rumahnya. Dan ia berharap untuk pergi selamanya.
▬▬▬
why am i making this
so pathetic.
KAMU SEDANG MEMBACA
peterpan | nk ✓
Fanfiction𝐂𝐎𝐌𝐏𝐋𝐄𝐓𝐄𝐃. "Aku ingin jadi seperti Peterpan, Hyung." "Kau ingin tinggal di Neverland?" "Aku... ingin berhenti bertumbuh." © ggukiology, 2020