1. Grizelle

25 3 1
                                    

Seorang gadis dengan muka pucat duduk mengamati ombak yang menyapa pesisir, angin malam yang dingin tak ia pedulikan. Tak akan ada yang peduli pada dirinya malam ini ataupun malam selanjutnya. Berbeda dengan malam sebelumnya, biasanya sang Ibu yang akan memanggil dan merecokinya jika berada di pantai malam-malam begini. Sekarang tidak akan ada lagi.

Grizelle Anjani, gadis yang memakai sweater itu, perhatiannya hanya tertuju pada Ombak tepi pantai. Raut kesedihan terlihat jelas diwajahnya, rambut hitam panjang yang berantakan tidak ia hiraukan, bibir pucat serta mata sembab yang menandakan ia habis menangis. Entah sudah berapa lama Ele berdiam diri memikirkan kejadian yang ia alami beberapa hari belakangan.

"Ele, ibu kau"

"Kenapa ibu ku?" Ele yang baru saja menginjakkan kaki di depan rumah sehabis pulang dari latihan Taekwondo itu bingung ketika Mutia, tetangganya tiba-tiba menghampirinya dan menyebut tentang Ibunya.

"Ibu kau kritisi, dia ada di rumah sakit" Mutia berucap sambil melangkah maju untuk menggenggam tangan Ele yang terdiam akibat kabar yang ia sampaikan.

"Mut jangan bercanda dong, ini bukan April mop. ini juga aku bawa pesanan yang Ibu minta agar aku membelinya sehabis latihan." Ele berucap dengan nada yang tidak santai, ia masi mencoba mencerna perkataan Mutia tadi sambil mengangkat kantong kresek yang berisi Bakso pesanan Ibunya.

"El aku tidak bercanda, Ibumu ditabrak mobil. Saat itu ibumu sedang menelepon dan Ibumu tidak sadar bahwa ada mobil dengan kecepatan diatas rata-rata dari arah sampingnya." Jelas Mutia panjang lebar

Mutia merupakan salah satu saksi mata yang melihat kejadian yang dialami Ibu Ele. Mutia melihat kejadian itu saat ia sedang bekerja di salah satu toko yang letaknya tidak jauh dari tempat kejadian.

Ele menghentikan ingatnya, bersamaan dengan air mata yang turun membasahi pipinya. Ele tidak menyangka hal seperti ini akan terjadi pada dirinya.

Ele menunduk, tangannya memeluk erat kedua kaki yang ia tekuk sampai ke dada. Ia tidak sanggup menghadapi ini. Hanya Ibu yang Ele punya, tidak ada yang lain. Ayah? Bahkan wajah ayahnya pun Ele tidak tahu jika tidak melihat foto yang disimpan Ibunya.

Entah lah, Ele hanya mengetahui bahwa Ayahnya pergi mencari kerja di Ibukota saat ia masi di dalam kandungan dan hilang kabar beberapa bulan setelah nya, selebihnya Ele tidak tahu.

Kehilangan sosok Ibu membuat Ele terpukul dan itu akan membuat kehidupan Ele berubah.

"Maafkan kami, sodara Andini tidak terselamatkan. Dan sesuai keinginannya kami akan melakukan pemindahan ginjal secepatnya" Ucap Dokter yang menangani Andini, Ibu Ele.

Ele yang mendengar ucapan Dokter hanya diam membisu. Ele berharap, ini hanya sebuah mimpi buruk yang ia alami. Namun harapan hanya harapan.

Ele tidak tahu kenyataan apa yang sedang menghampirinya. Dadanya terasa sesak saat mengingat ucapan sang dokter beberapa menit yang lalu, bahu Ele mulai bergetar, ia tidak sanggup, ia tidak kuat.

Tangis Ele pecah saat melihat jasad Ibunya didorong menggunakan brankar. Tubuhnya merosot menyentuh lantai rumah sakit yang dingin. Hancur sudah hidup Ele.

"Ele"

Ele mengangkat kepalanya menghadap sesorang yang sedang berjongkok sambil memegang bahu Ele.

Ratih, orang yang berada di depan Ele adalah sahabat Ibunya. Dulu saat ia masi tinggal di daerah sini, Ratih sering mengunjungi mereka jadi tak heran jika Ele kenal dengannya.

"Ele kamu jangan sedih ya, kasihan sama Ibumu. Kamu tidak perlu merasa sendiri, sekarang ada tante yang akan ngejagain kamu. Sesuai dengan perjanjian, Tante yang akan menanggung hidup kamu karena Ibumu sudah mendonorkan ginjalnya kepada kakak Tante." Jelas Ratih sambil mengusap air mata di pipi Ele.

Sebelum kejadian ini memang Andini ingin mendonorkan Ginjalnya untuk Aditya, kakak Ratih. Saat itu Ratih memberitahu keadaan Aditya saat mereka berkomunikasi.

Karena mengetahui ginjal Andini cocok dengan Aditya, Andini bersedia mendonorkan ginjalnya dengan syarat, Andini meminta Ratih membiayai sekolah Ele sampai ia lulus perguruan tinggi.

Ingatan itu begitu menyakitkan. Air matanya turun semakin deras, isak tangisnya tak bisa ia tahan.
Tuhan lebih menyayangi Ibunya.

Ingatan itu begitu menyakitkan. Air matanya turun semakin deras, isak tangisnya tak bisa ia tahan.
Ele semakin menenggelamkan wajahnya diantara kedua lutut.

Hampir satu jam Ele meredakan tangisnya, Ia mengelap sisa-sisa air mata yang masi berada di pipinya.

Ini semua sudah menjadi ketentuan Yang Maha Kuasa, ia harus kuat, ia harus ikhlas atas cobaan yang diberikan kepadanya.

Perlahan Ele bangkit, ia menarik napas dan menghembuskan nya beberapa kali sampai ia mengatakan

"Ele, kamu kuat. Kamu bisa. Kamu harus capai impian kamu agar Ibumu disana bangga sama kamu"

Setelah itu Ele mulai melangkah kan kaki menuju rumahnya yang tidak jauh dari pantai.

"El dari mana saja kau?" Tanya Aina, perempuan berhijab

Ele yang baru saja tiba di depan rumah, kaget saat melihat tiga sahabatnya berada di teras rumahnya.

"El kau baik-baik saja?" Ucap keyla dengan tatapan khawatir

"Dia tidak baik-baik saja, lihat penampilannya key" celetuk Reni sambil menarik pelan tangan Ele, mengiringnya untuk duduk di teras rumah.

Ele yang mendengar pertanyaan sahabat-sahabatnya itu hanya tersenyum tipis. Ia melupakan sahabatnya itu saat mengatakan bahwa ia hanya sendiri ketika Ibunya pergi. Padahal Mereka selalu ada untuk Ele.

"El kalau kau butuh bantuan, jangan segan minta sama kita. Ingat kita ini sudah lama kenal, bukan sehari dua hari" kata Keyla disetujui yang lain

"Makasih ya, kalian baik banget. Aku oke kok. Lagi pula besok aku bakal ke Jakarta jadi kalian tidak perlu khawatir" Ele yang sedari tadi diam, membuka suaranya.

Sontak saja ketiga sahabatnya itu kaget mendengar ucapan Ela yang mengatakan bahwa ia akan pindah.

"El, kenapa pindah?" Tanya Aina yang penasaran begitu juga dengan Keyla dan Reni

"Sesuai permintaan Ibu, Ibu minta supaya sahabatnya yang ngurus aku. Karena sahabat Ibu tinggal di Jakarta, jadi aku harus ikut kesana" jelas Ele

"Masi bisa ketemu kan?" Ucap Keyla dengan suara yang parau.

Ele hanya menjawab dengan senyuman, seraya merentangkan tangan mengisyaratkan mereka untuk memeluknya. Pelukan perpisahan, karena besok, Ele akan pergi pagi-pagi dan tidak akan bertemu dengan sahabat nya itu karena mereka sekolah. Lagi pula jika mereka melihat kepergian Ele besok, langkah Ele akan semakin berat untuk meninggalkan tempat ini.

Beruntung Ele mempunyai mereka yang selalu ada untuknya. Smoga saja suatu saat nanti ia bisa kembali ke tempat ini.

-Grizelle-

Ele membungkuk menghadap batu nisan yang bertuliskan nama Ibunya. Hampir satu jam ia berada di sana tanpa mengucapkan sepatah katapun.

Air mata yang biasanya turun membasahi pipi tidak ada lagi, mungkin sudah habis.

Saat ini adalah saat-saat terakhir Ele berada di sini. Ele tidak tahu kapan ia akan kembali ke tempat ini, karena sebentar lagi ia akan pergi meninggalkan tempat kelahirannya itu.

"El ayo, kita harus pergi"

Ele hanya mengangguk saat Tante Ratih berbicara kepadanya.

Ele menatap nisan itu sekali lagi sebelum melangkah menjauhi makam itu.

Ditinggalkan orang yang kita sayangi memang menyakitkan, tapi kita sebagai manusia hanya bisa mengikhlaskan. Itu lah yang Ele lakukan sekarang, mengikhlaskan kepergian Ibunya.

-Grizelle-

~ 24 April 2020

GrizelleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang