Bagian. 1

6 1 0
                                    


"Pa, Kemaren Kakak jalan-jalan sama Papa. Bunda juga ikut!" Aku tersentak saat kembali pernyataan putri sulungku kudengar.
***

POV ARDI

Hujan turun rintik-rintik membasahi tanah kelahianku-Aceh-Serambi Mekah. Tubuh lelahku yang seharian bekerja, kini kurebahkan di atas pembaringan. Namun, pikiranku selalu melayang ke rumah dimana istriku saat ini mungkin juga sedang kedinginan sama sepertiku.

'Titut'. Suara notifikasi whatappku. Cepat kubuka dan kubaca. Gadis itu, menatapnya lelahku hilang, senyumnya menggodaku, dan cara berjalanya seperti sedang menari-nari di hadapanku. Wajah ayu dan suara lembutnya saat menyapaku. Namun, selalu kutepis, ada istri dan anak-anak yang selalu menungguku disana.

Andai saja Gea mau kuajak berjuang bersama di kota kelahiranku, pasti aku tak akan merana dan kedinginan dikala gerimis dan hujan seperti ini. "Gea-gea, apa kamu gak kangen ya sama aku," gumamku.

Mata coba ku pejamkan. Menghayalkan Gea-istri tercinta. Senyumku mengembang saat menggodanya. Namun, gadis kecilku menangkap basah kami. "Bunda-Papa, Kak Naia masih di sini. Gak malu ya genit-genita," ucap gadis kecilku-Naila Sundari Ardiantara.

Tiga bulan sudah aku bekerja jadi kuli membuat jalan tol proyek pemerintah. Semua kulakukan demi istri dan dua putri cantikku. Kerjaan di tempat asal istriku sangat sepi, itu alasanku kembali mengais rejeki di tanah kelahiranku.

Malam yang dingin setelah melihat chat dari gadis sexi tetangga kontrakanku. Kembali tangan ini memilih ke kontak atas nama Gea. Kupanggil dengan vidio call. Tidak butuh waktu lama panggilanku pun tersambung.

"Halo, Sayang," panggilku pada gadis kecil yang baru saja menjawab panggilanku.

"Halo, Papa," ucapnya manja.

"Lagi ngapai, Sayang? Uda makan, Naila papa?"

"Uda donk, Pa. Tadi Bunda masak ikan."

"Enak donk. Kok Papa gak dibagi."

"Igh, Papa 'kan tadi ikut makan. Malah Papa makanya banyak, Papa juga cuapi de Ndis." Jantungku tiba-tiba berdetak kencang. "Aku ikut makan dan aku juga menyupi putri bungsuku. Apa ini? Aku di Aceh, istri dan anakku di Medan." Aku diam sesaat.

"Telponnya kasi Bunda ya, Sayang," pintaku. Gadis kecilku yang baru berusia 5 tahun sudah pintar dan paham setiap kata-kata yang ku ucapkan. Secepat kilat hp yang Naila pegang beralih ke tangan istriku.

"Halo, Papa. Bunda kangen. Kok baru nelpon," ucap Gea dengan suara manja.

"Iya, Tadi hujan di proyek kalau Papa telponkan gak kedengeran juga, makanya sekarang jadinya Papa telpon," ucapku menjelaskan.

"Papa, minggu depan ada tanggal merah lho, Papa balik 'kan?"

"Entar Papa lihat dulu." Aku berdiri dan menatap kalender di dinding. "Sayang, liburnya hanya satu hari. Kalau Papa pulang 'kan sayang ongkosnya. Ntar kalau liburnya agak banyak dikit, ya. Atau pas Naila ulang tahun, Papa ajukan cuti"

"Oh gitu. Ya uda terserah Papa aja," jawabnya sedikit ketus.

"Bun, Papa mau tanya. Boleh?"

"Tanya apa? Jagan dengerin Naila dia lagi latihan main dongeng sama Ndis." Kalimat yang baru Gea sampaikan membuatku urung bertanya padanya.

"Uda ya, Pa. Uda ngantuk." Panggilan langsung Gea matikan. Padahal aku belum puas mendenar suaranya apa lagi saat dia merayu atau aku rayu. "Mungkin istriku sedang cape mengurusi kedua putri kecilku," gumanku.

Kembali aku berbaring dan berusaha menutup mata lelah dan terlelap.

Seminggu berlalu dan saat ini aku kembali menghubungi Gea. Aku sangat sibuk dan baru kali ini aku baru bisa menghubunginya.

Aku langsung memencet kontak Gea kupilih vidio call. Tanpa berlama-lama sambungan telponku pun terjawab. Kembali gadis kecilku yang menjawab panggilanku. Dengan ekspresi penuh rindu kembali kami bercerita.

"Halo, Sayang," panggilku pada gadis kecil yang baru saja menjawab panggilanku.

"Halo, Papa," ucapnya manja.

"Lagi ngapai, Sayang? Uda makan, Naila papa?" Selalu pertanyaan itu yang mengawali cerita kami.

"Uda donk, Pa. Papa-papa Kemaren Kakak jalan-jalan sama Papa. Bunda, Adik Ndis juga ikut!" Aku tersentak saat kembali pernyataan putri sulungku ku dengar. Apa sebenarnya yang terjadi disana. Pikiranku mulai kacau. Gea juga malam ini tak mau bicara padaku. Ia marah karena dua hari lalu aku merijek panggilannya. Jujur saat aku bertelpon aku ingin menjelaskan padanya. Tapi nihil. Setelah aku puas mendengarkan ocehan gadisku telpon langsung dimatikan sepihak. Aku hanya bisa diam dan menghembuskan napas lelah. Aku butuh istirahat.

Kembali aku berbaring dan berusaha menutup mata lelah dan terlelap.

============
Bersambung

Naila's Ghost FatherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang