Bagian. 2

1 1 0
                                    

"Papa. Tadi Papa datang, trus cium dede Ndis. Dede tawa-tawa sekarang." Mendengar ucapan Naila aku yang tadinya panik saat ini malah menjadi lebih panik bercampur marah.
***

POV ARDI

Aku Ardiantara hanya pria sederhana yang tak punya harta dunia. Namun, punya sejuta cinta untuk keluarga.

Hampir 20 tahun sudah aku merantau ke kota tetangga. Kota Medan. Keberangkatan terpaksa kami-Aku bersama saudariku Vanya-lakukan karena kerusuhan yang sempat terjadi di Aceh yang dilakukan sekelompok orang mengatas namakan GAM*. Dan bersyukur saat ini kota kelahiranku sudah aman dan damai.

*Gerakan Aceh Merdeka, atau GAM adalah sebuah organisasi separatis yang memiliki tujuan supaya Aceh lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Konflik antara pemerintah RI dan GAM yang diakibatkan perbedaan keinginan ini telah berlangsung sejak tahun 1976 dan menyebabkan jatuhnya hampir sekitar 15.000 jiwa.

Pekerjaan di poyek saat ini benar-benar berat. Bukan aku orang yang suka mengeluh tapi mungkin karena hari-hariku sudah tak fokus. Pikiranku selalu melayang pada setiap cerita gadis kecilku. Bila ini hanya sebuah dongeng dengan adiknya, tapi mengapa serasa seperti nyata.

'Hussfff' kuhembuskan nafas lelahku. Malam ini aku bahkan tidak melakukan pekerjaan apapun. Namun, lelah itu lebih terasa membuatku hampir melemah. Aku lelah dalam pikirku.

Seperti malam sebelumnya, aku tetap rajin menghubungi Gea. Saat berbincang lama aku berusaha bertanya soal cerita Naila namun lagi-lagi Gea marah dan mengganti topik cerita. "Gea, apakah ada pria lain disaat aku tidak disana?" Pertanyaan itu selalu muncul saat dia mengalihkan cerita atau lebih buruk. Gea akan marah dan sangat marah.

Dua minggu sudah berlalu Naila tak lagi bercerita soal keberadaan pria yang ia katakan sebagai 'Papa'. Aku tahu dari cara Naila bercerita ia mengetahui bahwa lelaki itu bukan aku tapi entahlah, memikirkannya membuat pekerjaanku jadi berantakan.

Cuaca di bulan januari seharusnya tak seperti bulan berakhiran 'ber' tapi nyatanya aku harus selalu sedia ember untuk menampung bocor yang masuk di bagian sudut kamar. Hal sepele tapi tetap menyita tenaga yang tinggal sedikit, sebelum tidur dan mengisi dayaku kembali.

'Kringgg' suara ponsel berbunyi. Haaa ... suara khas telpon rumah tapi ini sangat bagus. Kulihat panggilan masuk dari Gea. Secepat kilat kutekan tolak dan mengganti degan panggil.

"Halo, Bunda."

"Halo, Pa-pa," ucapnya terbata. Suara Gea seperti sedang kalut.

"Ada apa, Sayang. Kamu nangis, ya?" tanyaku cepat.

"Ade Ndis sakit, Pa!" Kudengar suara Naila sedikit berteriak menjawabku.

"Sayang, jawab. Glendis sakit apa? Kamu jangan panik ya ...," bujukku.

"Ndis panas dari kemarin sore. Sudah kubawa berobat tadi siang tapi gak juga turun panasnya. Aku harus gimana?"

"Sabar ya, Sayang. Dikompres aja terus. Obatnya tetap rutin dikasih, ya. Jangan berhenti kasih minum air putih," perintahku.

"Gini yang Gea gak suka kalau Abang kerja jauh-jauh. Pas anak sakit aku jadi bingung sendiri gak tau harus gimana," omelnya.

"Sayang Abang kerja demi kita. Demi masa depan keluarga kita. Jangan mengeluh terus, ya. Fokus ke Ndis, ya, Sayang."

"Papa. Tadi Papa datang, trus cium dede Ndis. Dede tawa-tawa sekarang." Mendengar ucapan Naila aku yang tadinya panik saat ini malah menjadi lebih panik bercampur marah. Saat aku bertelepon lelaki itu tak takut menemui istri dan anakku. Apa ini! "Cihh." Aku berdecak penuh amarah.

Naila's Ghost FatherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang