Bagian. 3 - Pengakuan Naila

2 1 0
                                    


"Papa?!" Aku mengerutkan dahiku dan terdiam saat Naila mengulang jawabanku. Seperti ada keraguan dari jawaban yang kuberikan. Namun, suara itu benar suara putriku, hanya berbada. Tidak ceria.
***

POV ARDI

Sesampainya aku di rumah langsung kupilih kontak Gea. Gelisa. Itu yang kurasakan saat ini. Dua kali kutelpon tidak diangkat. Aku mulai cemas. Panggilan ketiga.

"Halo. Ini siapa?"

"Halo. Ini Papa, Sayang."

"Papa?!" Aku mengerutkan dahiku dan terdiam saat Naila mengulang jawabanku. Seperti ada keraguan dari jawaban yang kuberikan. Namun, suara itu benar suara putriku, hanya berbeda. Tidak ceria.

Aku coba megalihkan tanyanya. "Nai sayang, uda makan, Nak?" tanyaku.

"Sudah," ucapnya singkat.

"Ada apa, Sayang? Naila sehatkan?"

"Iya, Naia sehat."

"Bunda dimana, Sayang?"

"Bunda di dapur. Lagi masak bubur dede. Ini Papa?" tanyanya sekali lagi.

"Iya, Sayang. Ini Papa. Kamu kenapa, Nai?" Aku mulai bingung Naila putri kecilku tidak seperti biasanya. Setiap aku menghubungi Gea, Naila pasti riang menjawab. Tidak seperti saat ini, dia seperti sedang kebingungan.

Hening. "Nai ... Kamu masih di sana 'kan, Sayang? Naila," panggilku. Sambil berdiam dan menelan saliva aku coba meredam amarahku.

Sepi. Hanya suara hembusan napas. "Nai ... Kamu masih di sana 'kan, Sayang? Naila!" panggilku lagi. Tetap sepi. Aku akhiri panggilan dan kuulangi menelpon nomor Gea kembali.

Tak menunggu lama panggilanku terjawab. "Halo, Papa." Suara ceria itu! Putriku! Aku tersenyum. Akhirnya aku kembali mendengar suara ceria putriku. Tunggu! Kalau ini putriku, lalu yang menjawab tadi siapa?

"Halo, Sayang. Naila baik-baik sajakan, Sayang?"

"Nai, baik. Papa baik juga 'kan?"

"Iya, Papa sehat sayang. Nai, tadi siapa yang pegang hp Bunda?"

Naila terdiam. "Papa. Naia mau maem ya, kata Bunda bentar lagi bunda selesai masak. Jadi Papa omong sama Bunda aja, ya,"

Aku benar-benar menarik berat napasku dan membuang dengan perlahan. Sesak. Niatku pulang semakin bulat. Ada yang tidak beres di sana.

Kumatikan panggilanku. Kutunggu Gea menelpon seperti yang Naila katakan. Lima belas menit kemudian kulihat hpku berkedip-kedip. Dengan cepat kujawab

"Halo, Sayang."

"Halo, Bang. Ada apa, Bang?"

"Bagaimana keadaan Ndis. Sudah baikan 'kan? Abang khawatir disini?" tanyaku.

"Ndis uda mendingan. Sudah gak demam lagi, Bang. Tuh sekarang lagi main sama Naila."

"Syukurlah. Ohya mereka main berdua atau ada teman Nai yang datang," selidikku.

"Duaan aja. Napa, Bang?"

"Gak, gak apa-apa. Ya uda nanti malam lagi ya, abang mau berangkat kerja. Uda mau jam setengah delapan. Takut telat."

"Ya uda. Hati-hati kerjanya," pesannya. Panggilan kuakhiri. Dan bersiap-siap berangkat kerja.

Pikiranku tenang sesaat mendengar kabar putri bungsuku yang sudah sehat. Namun tetap sempat terusik akan sikap Naila saat pertama menjawab telponku. "Ya sudah lah. Toh aku akan pulang dan mencari tahu ada apa sebenarnya," gumanku.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 26, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Naila's Ghost FatherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang