BAGIAN 1

629 20 0
                                    

Ctar!
"Akh...!"
Terdengar suara lecutan cambuk yang menyengat kulit, lalu disusul oleh pekikan menyayat menahan rasa sakit.
"Goblok! Kerja begitu saja tidak becus! Seharusnya kau mampus saja, daripada kembali lagi ke sini...! Dasar otak udang! Hih...!"
Ctar! Ctar...!
"Aaakh...!"
Kembali terdengar lecutan cambuk yang begitu keras, mewarnai pagi yang seharusnya tenang dan damai ini. Itu juga masih disertai bentakan-bentakan keras dan sumpah serapah dari seorang laki-laki berusia setengah baya. Tubuhnya tegap, terbungkus baju warna merah muda dari kain sutera halus, bersulamkan benang-benang emas bergambar bunga mawar kuning pada bagian dadanya. Sedangkan di sekelilingnya, sekitar tiga puluh orang pemuda hanya diam memandangi, tidak berani bertindak apa-apa.
Sementara, seorang pemuda yang terikat di tiang tampak terkulai lemah, menerima cambukan yang membuat kulitnya seperti melepuh itu. Kelihatannya pemuda itu sudah tidak bisa lagi bergerak. Bahkan rintihan kesakitan pun seperti tak terdengar lagi. Sedangkan darah terus mengalir membanjiri tubuhnya yang bertelanjang dada. Guratan-guratan merah mewarnai seluruh bagian belakang tubuhnya. Tapi, laki-laki setengah baya itu terus saja mengayunkan cambuknya sambil memaki dan menyumpah serapah.
"Cukup, Kelabang Geni...!"
Tiba-tiba saja terdengar bentakan keras. Maka laki-laki berbaju merah muda yang dipanggil Kelabang Geni itu seketika menghentikan sengatan cambuknya.
"Phuih...!" Kelabang Geni menyemburkan ludahnya dengan sengit. Sambil memaki, cambuknya dibuang begitu saja.
Sambil menyemburkan ludah kembali, Kelabang Geni memutar tubuhnya. Lalu kakinya melangkah dengan ayunan lebar, menghampiri seorang wanita yang wajahnya tertutup selembar kain agak tipis berwarna hijau muda. Dan itu sudah cukup untuk menyembunyikan raut wajahnya, hingga sukar dikenali. Hanya bagian matanya saja yang dibiarkan terbuka. Sorot matanya begitu tajam, memandang lurus ke arah Kelabang Geni. Dan tubuhnya yang ramping, terbungkus baju warna hijau muda yang sangat ketat. Sehingga, memetakan tubuhnya yang indah dan menggiurkan. Dia dikawal oleh dua orang pemuda yang berdiri di kiri dan kanannya.
"Bawa dia," perintah wanita itu sambil berpaling pada dua orang pemuda pengawalnya.
Tanpa diperintah dua kali, kedua orang anak muda itu bergegas menghampiri pemuda yang sudah terkulai lemas di tiang dengan punggung hancur tercabik cambuk tadi. Mereka segera melepaskan ikatan tangan pemuda itu, lalu menggotongnya meninggalkan halaman yang cukup luas dan sedikit berumput ini. Sementara, Kelabang Geni sudah berdiri tegak di depan wanita cantik ini.
"Aku tidak ingin lagi melihat kegagalan, Kelabang Geni. Dan aku ingin, kau sendirilah yang melakukannya. Pergilah. Dan jangan kembali sebelum berhasil," ucap wanita itu dingin.
"Segala titah Gusti Putri akan hamba laksanakan," sahut Kelabang Geni seraya menjura memberi hormat dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan dada.
"Laksanakan sekarang juga, Kelabang Geni. Ingat! Kalau sampai gagal juga, kepalamu yang akan menjadi gantinya," tegas wanita itu.
Kelabang Geni tidak menjawab sedikit pun juga. Tubuhnya hanya dibungkukkan, memberi hormat. Dan wanita yang tidak bisa dikenali wajahnya itu langsung memutar tubuhnya berbalik. Dengan ayunan kaki ringan wanita itu melangkah masuk ke dalam rumah yang seluruh dindingnya terbuat dari belahan papan. Sebentar saja, bayangan tubuhnya yang ramping sudah lenyap tidak terlihat lagi di balik pintu. Kelabang Geni baru menegakkan tubuhnya kembali setelah wanita yang dipanggilnya Gusti Putri telah benar-benar lenyap. Sebentar ditariknya napas dalam-dalam dan dihembuskannya kuat-kuat.
Perlahan Kelabang Geni memutar tubuhnya berbalik. Pandangan matanya langsung beredar ke sekeliling memandangi sekitar tiga puluh orang pemuda di sekitarnya. Mereka semua terdiam dengan kepala tertunduk menekuri tanah. Kembali Kelabang Geni menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat.
"Siapkan kuda-kuda kalian. Kita berangkat sekarang juga!" perintah Kelabang Geni lantang.
Tanpa diperintah dua kali, pemuda-pemuda itu bergegas meninggalkan halaman rumah yang dikelilingi pagar gelondongan kayu yang cukup tinggi dan kokoh bagai sebuah benteng kecil ini. Sementara, Kelabang Geni sendiri menghampiri seekor kuda hitam yang tertambat di bawah pohon di tengah-tengah halaman ini. Dengan gerakan indah dan ringan sekali, dia melompat naik kepunggung kudanya.
Belum lama Kelabang Geni berada di atas punggung kudanya, dari samping rumah berukuran besar ini berdatangan tiga puluh orang anak muda yang semuanya menunggang kuda. Laki-laki setengah baya itu langsung saja menggebah kencang kudanya. Sementara, dua orang yang berada di pintu gerbang segera membuka lebar-lebar pintu gerbang dari balok kayu itu. Dan pintu itu kembali tertutup, setelah Kelabang Geni bersama tiga puluh orang anak buahnya keluar dari lingkungan benteng kecil ini.
Kepergian Kelabang Geni bersama tiga puluh orang pengikutnya, tak lepas dari pengawasan wanita berbaju hijau muda yang tidak pernah melepaskan kain penutup wajahnya. Dia mengintip dari balik tirai jendela yang sedikit disibakkan. Tirai jendela itu baru ditutup kembali setelah Kelabang Geni tidak terlihat lagi. Perlahan tubuhnya berbalik dan pandangannya langsung tertumbuk pada dua orang pemuda berusia sekitar dua puluh tiga tahun yang duduk bersimpuh di lantai dengan sikap begitu hormat. Secara bersamaan mereka memberikan sembah penghormatan dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung. Dan wanita yang dipanggil Gusti Putri itu duduk dengan angkuhnya di kursi yang beralaskan kain beludru halus berwarna merah menyala.
"Sarapati... Bagaimana keadaan di kotaraja saat ini?" tanya wanita itu agak pelan terdengar suaranya.
"Belum ada perubahan, Gusti Putri Cadar Hijau," sahut salah seorang pemuda berbaju warna biru tua sambil menyembah.
"Maksudmu...?" tanya wanita berpakaian hijau muda yang ternyata julukan lengkapnya Putri Cadar Hijau.
"Keadaan di kotaraja masih tetap tenang. Sedikit pun belum ada tanda-tanda terjadi pergerakan, Gusti Putri. Tapi semuanya sudah siap. Tinggal menunggu perintah saja," jelas Sarapati masih bersikap begitu hormat.
"Baiklah, Sarapati. Laksanakan saja segera."
"Hamba kerjakan, Gusti Putri."
Setelah memberi sembah hormat, Sarapati segera bangkit dan melangkah ke luar. Sementara Putri Cadar Hijau mengalihkan perhatian pada seorang pemuda satunya, yang masih tetap duduk bersimpuh dengan sikap begitu hormat. Perlahan wanita itu bangkit berdiri, lalu melangkah menghampiri pemuda yang kepalanya tetap tertunduk menekuri lantai di depannya. Putri Cadar Hijau berhenti melangkah setelah jaraknya tinggal sekitar tiga tindak lagi di depan pemuda ini. Saat itu, terdengar suara kaki-kaki kuda yang dipacu cepat meninggalkan tempat yang menyerupai benteng pertahanan ini. Dan tidak berapa lama, suara kuda yang dipacu cepat itu menghilang dari pendengaran.
"Kau tetap di sini, Banyuragi. Tugasmu di sini tidak kalah pentingnya," ujar Putri Cadar Hijau.
"Hamba, Gusti Putri."
"Sebaiknya, periksa kesiapan orang-orangmu. Lalu, kembali lagi ke sini secepatnya."
"Hamba laksanakan, Gusti Putri."
"Pergilah."

114. Pendekar Rajawali Sakti : Gerhana Darah BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang