AKU YANG MEMOTONGNYA

12 3 14
                                    

"Itu Jagil, Itu Jagil!" Suara seorang bocah menunjuk ke arahku dari kejauhan.

Mendengar teriakan bocah itu, semua anak-anak yang berada di sana menghentikan kegiatan, dan berjalan menuju halaman rumahku.

Ah .... Aku salah perhitungan. Sekarang hari minggu. Harusnya tanaman ini kusiram siang tadi, agar tak terlihat siapapun. Orang tua sering menidurkan anaknya di siang hari untuk melindungi kulit dan rambut mereka dari sengatan sinar matahari. Sekarang mereka datang dan mau menyerbuku lagi.

Bisa saja aku pura-pura tidak melihat mereka, dan cepat-cepat masuk ke dalam rumah lalu menutupkan pintu rapat. Tapi anak berbaju biru itu segera berlari kesetanan dan menjerit memanggil namaku.

Suara napas tersengal yang berhembus dari tenggorokannya, menggambarkan bagaimana usahanya saat berhenti sejenak mengatur napas, setelah sampai di pagar bambu halaman rumahku.

"Aahh aahh aahh. Tunggu sebentar, Jagil." Dia menelan ludah untuk membasahi tenggorokan yang sudah bersusah payah mengumpulkan udara. Aku masih terdiam berdiri melihat tubuhnya yang sedang beradaptasi.

"Tidak ada cerita baru. Kalian semua sudah mendengarnya." Kumatikan kran dan menggulung selang bersiap-siap untuk membereskan semuanya.

"Kalau begitu ceritakan saja yang sudah pernah kau ceritakan, Jagil." Seorang anak perempuan dengan kepang dua berdiri di samping anak laki-laki tadi. Aku tak sadar kehadirannya di sana.

Semuanya berubah. Mulai dari nama, cara pandang warga, dan kehidupanku, kecuali yang satu ini. Anak-anak yang suka berkumpul di teras rumah, hanya untuk mendengarkanku berkisah tentang hal-hal menyeramkan.

Jagil, sebutan orang-orang kampung ini untukku. Mungkin itu adalah kepanjangan dari Jaka Gila, entahlah. Bahkan untuk ukuran anak kecil sekalipun, dengan enteng memanggilku Jagil, tanpa embel-embel Pak, Mas, Paman, Om, atau sebutan yang pantas untuk orang yang lebih tua dari mereka.

Tak bisa juga kusalahkan mereka karena sudah memberikan julukan yang aneh, sebab tak ada asap jika tak ada api. Kuakui dulu memang sikapku seperti orang yang sudah tak waras semenjak kepergian dia, Sari kekasihku.

Ah, kupikir semua orang juga akan kehilangan kewarasan jika harus mendapatkan kabar bahwa calon istrinya meninggal tiga hari sebelum acara pernikahan.

Jangankan untuk melanjutkan pekerjaanku di kantor kecamatan, cara berpakaianpun kadang aku lupa. Terkadang warga mendapatiku berjalan kaki berhari-hari tak tentu arah, bahkan kadang mereka mendapatiku sedang duduk lalu berbicara sendiri.

Syukurlah itu hanya cerita lama. Mungkin tak jadi menikah dengan Sari saat dia hidup, adalah rencana Tuhan untukku. Wanita yang menemaniku saat ini adalah bidadari yang terbaik. Dialah istri terbaik yang membuatku bangkit hingga saat ini.

Aku memang tidak lagi bekerja seperti dulu. Lahan tanah yang cukup luas, tak kami sia-siakan begitu saja. Kami mengolah beberapa bahan makanan, sayuran dan peternakan kecil. Untuk sekedar menjaga perut agar tetap kenyang, kami tak kekurangan apapun. Jika ada lebihnya, baru akan kujual ke pasar untuk membeli beberapa kebutuhan.

Walaupun dikucilkan, aku tak merasa kesepian. Terkadang kerabat istriku dari luar desa datang berkunjung ke rumah untuk bercanda gurau atau terkadang membawakan oleh-oleh. Hidupku terasa normal kembali, walau tanpa kasih warga desa ini.

"Ayolah Jagil. Beri tahu kami ceritamu," ucap anak laki-laki berbaju putih, mengelap ingusnya.

Tadi hanya dua orang yang berada di sini. Sekarang sudah tiga orang, eh empat orang, ah lima. Hmmm, terakhir kuhitung, jumlahnya ada tujuh orang.

"Masuklah. Tapi aku tak bertanggung jawab jika orang tua kalian marah, saat kalian berkumpul di rumah Si Jagil." ancamku.

Semuanya nyengir, lalu melepaskan sendal sebelum menginjakkan kaki ke teras. Aku duduk di kursi santai dan mereka duduk di lantai teras yang selalu bersih, berkat istriku.

Creepypasta StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang