Saat kesendirian membelenggu, aku terkadang berpikir kenapa membiarkan diri ini terperosok jauh dalam masalah yang seharusnya bisa aku hindari. Sayangnya, aku orang yang mudah terpengaruh, terlalu cepat dalam mengambil keputusan. Mungkin hal itu pula yang membuat Vira membenciku.
Aku mencoba untuk membingkai tawa dalam setiap tangis. Aku ingin menjadi kakak yang baik untuk Vira. Sayangnya, hubungan kami terlanjur jauh. Susah untuk merekatkan kembali kepingan-kepingan yang sudah tidak utuh lagi. Namun, aku akan memungut kepingan itu, dan menyatukan kembali. Ia si gadis nakal yang aku sayang, satu-satunya keluarga yang tersisa.
"Besok kita harus kembali ke Jakarta." Itu kalimat pertama si predator saat masuk kamar, setelah pulang dari restoran.
"Kita?" Aku yang tadinya duduk merenung di ranjang, kini menoleh ke pintu, lalu berdiri menatap seseorang yang entah kuanggap teman atau musuh.
Si predator mendekat, ia langsung duduk di tepi ranjang. "Kita, 'kan suami istri, kamu wajib ikut."
"Vira harus kontrol ke rumah sakit."
"Tuh anak dah gede, bisa ke rumah sakit sendiri. Lagian lusa ada acara ulang tahun tokonya Abi. Jadi, kita harus di sana, nanti biar para karyawan tahu kamu istriku."
"Tujuannya apa mereka tahu? Toh, pernikahan kita bukan yang sesungguhnya."
"Kita nikah beneran, di depan penghulu dan saksi loh." Dia berdiri, memutari ranjang, lalu berhenti tepat di sampingku.
"Kita menikah hanya untuk memancing Arsen keluar dari persembunyian, 'kan? Kalau tujuan itu sudah tercapai, lantas untuk apa melanjutkan drama ini?" Ada amarah yang meluap dari lubuk terdalam, menggetarkan setiap kataku.
"Ingat, ya! Kamu masih punya utang. Dapat potongan atau tidak itu tergantung sikap kamu sama aku. Kerja sama ini masih berlanjut, tujuan utama belum tercapai." Ia berbalik arah, lalu keluar kamar seraya meraih handuk yang tergantung di balik pintu.
Saat mencapai ambang pintu, ia berbalik. "Kepalamu masih pusing?" Perubahan sikap yang drastis sekali.
Aku menggeleng." Sepertinya karena lapar. Soalnya setelah makan, pusingnya ilang sih."
Ia mengangguk-angguk, lalu berbalik tanpa berkata apa-apa lagi. Sepertinya ia tidak bisa tidur kalau belum mandi. Aku sih, asal perut kenyang, tidur di mana saja langsung bablas.
Omong-omong soal kamar mandi, di rumah Bu Salma memang letaknya bersebelahan dengan dapur. Rumah di desa rata-rata seperti itu, jauh berbeda dengan rumah si predator di kota, tetapi ia bisa menyesuaikan tanpa ada kecanggungan. Bahkan jalan di daerah sekitar sini cepat sekali ia hapal, ditambah sikap akrab yang cepat ia bangun kepada warga sekitar. Satu hal yang membuatku heran dengan kelihaian otaknya. Sayang, ia telah memberiku satu pandangan berbeda karena dendam yang ia simpan untuk Arsen.
Andai aku bertemu si predator jauh sebelum ini terjadi, pasti akan terjalin hubungan baik, dan aku kagum dengan pribadinya. Sayang, kekaguman itu tercoreng karena luka yang ia ciptakan melalui kekasih yang tak lagi kumiliki.
Aku mempersiapkan alas tidur di lantai seperti malam sebelumnya. Bantal dan selimut kutata, lalu aku langsung rebahan begitu saja. Baru saja mata terpejam, pintu dibuka seseorang. Siapa lagi kalau bukan si predator yang baru selesai mandi.
"Aku mau ganti baju. Kamu boleh ngintip, kok. Mumpung gratis nih."
"Ogah banget, enakan juga tidur." Aku berucap tanpa membuka mata.
"Nggak usah malu. Kalau mau bilang aja, aku kasih kok. Mumpung baik nih."
"Dasar jomlo, pantes kalau otaknya mesum." Aku masih dengan posisi yang sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
MOVE ON (COMPLETE)
Romancetahu 'kan bagaimana rasanya bisa memaafkan, tetapi tidak bisa melupakan. sayangnya, aku sebodoh itu.