Bab 14

23 2 2
                                    

Aku merengut sembari mengetuk-ngetukkan jemari ke tepian jendela mobil. Tidak cuma sekali, tetapi berkali-kali, hingga geraman si predator terdengar nyaring memecah pendengaran.

"Woy ... berisik!" Ia berucap tanpa menoleh sedikit pun.

Aku menatap pemuda tengil berjenis predator penuh kebencian, ia sama sekali tidak merasa bersalah telah pergi tanpa pamit dengan Vira.

"Kita udah pesen sama Bu Salma, pasti ntar disampein, kok! Nggak usah dibikin ruwet, deh." Ia mengambil kesimpulan tanpa memikirkan akibat yang ditimbulkan.

"Kamu tahu hubunganku sama Vira buruk, malah pergi gitu aja. Apa kata dia nanti tentang aku?"

"Nggak usah dipikirin, lagian dia aku kasih uang banyak, pasti ngerti kok."

"Ini bukan soal uang!"

"Aku nggak suka diprotes, oke. Jadi diem!" Ia menunjuk dengan tangan kiri, diikuti tatapan sekilas yang sirat penuh ancaman.

Aku melengos dan membuang pandang keluar jendela, menatap pemukiman yang tidak ada hal indah di sana, tetapi itu lebih baik dari pada menatap muka garang si predator.

Sepanjang perjalanan posisiku masih sama, ditambah suasana hening yang tidak menenangkan, tetapi mencekam penuh aura kebencian yang menguar. Aku akhirnya menurunkan sandaran kursi, lalu bersiap tidur dari pada pusing memikirkan orang yang tidak punya hati.

Entah berapa jam perjalanan, begitu aku membuka mata, aku sendirian dan mobil dalam keadaan berhenti. Si predator sendiri entah ke mana. Aku bergegas, lalu turun dari mobil. Rupanya ini di pom bensin, entah di daerah mana.

Aku berjalan asal mengikuti naluri, dalam penglihatanku ada musala dan minimarket di depan. Bisa jadi si predator di sana. Tega sekali meninggalkanku di mobil sendirian. bagaimana kalau tiba-tiba kehabisan oksigen, terus tidak bisa napas? Seperti berita-berita yang beredar di televisi kebanyakan.

Ada kekhawatiran saat meninggalkan mobil dalam keadaan tidak dikunci, tetapi yang punya mobil saja tidak memikirkan itu, 'kan? Ah, tetapi aku tidak mau jadi sasaran kemarahannya kalau sampai si kuning berbadan besar itu lenyap dari pandangan. Jadi, aku memutuskan kembali ke mobil dan menunggunya, toh AC mobil masih hidup tadi.

Beberapa menit berlalu, dan yang aku tunggu akhirnya kembali. Ia membawa satu kantong kresek dan beberapa botol minuman. Ia langsung memberikan semua itu kepadaku.

"Tidur kek kebo, pas berangkat dulu juga gitu, sekarang pulang gitu lagi."

"Hhh ... jadi inget. Dulu kenapa tiba-tiba aku dah di rumah Bu Salma? Kamu seret pasti." Seketika aku menegakkan duduk.

"Iya, aku seret tetep nggak bangun, itu namanya kebo, 'kan?"

"Dasar predator!" Aku memanyunkan bibir, lalu melengos ke arah lain.

"Dasar kebo!" Ia mengucapkan itu sembari menstarter mobil.

Baru saja mobil melaju, tiba-tiba ada guncangan keras membuatku terantuk ke depan dengan kepala menabrak dasbor mobil. Si predator refleks turun dari mobil, dan aku mengikutinya. Ia memarahi seorang pengendara mobil berwarna silver yang tadi menabrak dan merusak bagian belakang mobil.

Si predator emosi dengan langsung memukul si pengendara yang seorang bapak-bapak. Dari penampilannya, umurnya lebih dari setengah abad, rambutnya sudah memutih. Bapak tua itu meminta maaf dengan membungkukkan badan dalam-dalam. Namun, si predator meminta ganti rugi sebagai biaya perbaikan atau akan dikasuskan. Ia suka sekali mengancam orang, bisa dibilang itu keahlian khusus yang sudah ada sejak ia lahir mungkin.

Melihat keadaan semakin memanas, ditambah kerumuman orang-orang yang semakin membludak, membuatku berinisiatif untuk meminta si predator mengikhlaskan, toh ia bukan orang yang kekurangan. Namun, belum sempat keinginan itu tersampaikan, ia menggaet lenganku seraya mengamati wajahku dari dekat.

MOVE ON (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang